Islam merupakan ajaran agama, bukan Ilmu Pengetahuan, agar dapat mempercayai ajaran ini, faktor utama terletak pada Hidayah yang diberikan Allah kepada mereka yang dikhendakinya.
Hidayah tidak dapat dijangkau oleh panca indera maupun akal sekalipun, yang dapat dikembangkan dari Islam agar menjadi Ilmu Pengetahuan adalah fenomena dan pengalaman keagamaan (religous exprinces) bagi umat Islam. Fenomena keagamaan terbentuk dari pengalaman keagamaan, baik secara personal maupun kolektif.
Pengalaman yang dimaksud adalah pola perubahan mereka terkait Islam, perubahan sifat dan perubahan perilaku mereka. Pengalaman keagamaan serupa juga dialami oleh Imam Al-Ghazali yang mengembankan tasawuf dari sebagai praktik keagamaan menjadi Ilmu Pengetahuan. Dalam kitab al-Munqidz min Al Dlalal (penyelamat dari kesesataan) menceritakan tentang pengalamannya secara dramatis dalam menemukan metode al-Dzauq (intuitif).
Pengalaman Imam al-Ghazali setidaknya memberikan kita pengalaman berharga. Keraguan merupakan dorongan utama untuk mengembangkan sains, al-Ghazali mulai ragu dengan kebenaran rasional yang dihasilkan oleh para filsuf, ahli kalam dan para saintis. Keraguannya masih berpijak pada wahyu dan iman membuatnya menemukan skeptisme yang ditemukan oleh filsafat modern. Selain itu al-Ghazali juga mempelajari pemikiran tasawuf tetapi belum mengimplementasikan, setelah menemukan banyak teori kemudia dituangkan kedalam kitabnya Ihya ‘Ulum al-Din (menghidupkan ilmu-ilmu Agama).
Kitab tersebut kemudian menjadi rujukan pengembangan ilmu tasawuf berikutnya, bukan hanya itu saja ilmu hadist pun akhirnya lahir dari keraguannya atas kebenaran transmisi suatu hadist, bukan hadistnya.
Selain itu ilmu fikih juga muncul karena al-Ghazali meragukan pendapat ulama karena diragukan relevansinya dengan realitas sosial yang berkembang, keraguan atau sikap skeptis ini juga dialami oleh mereka para ilmuan barat sebelum mereka menciptakan sebuah teori baru. Ketika akan mengadakan penelitian maka bersikap skeptis atau meragukan teori yang digunakan merupakan sebuah pijakan, karena tanpa keraguan kita tidak akan bergairah untuk mengembangkan sains.
Problematika sains muncul dari realitas, fakta, ataupun praktik, bukan ide, gagasan ataupun teks, namun realitas atau praktik bukan sesuatu yang kosong dari ide, fakta alam maupun sosial kita uji berdasarkan asumsi kita, inilah dialetika fakta dan asumsi.
Hasil temuan penelitian harus siap di uji kembali berkali-kali oleh generasi setelahnya, hasil itu harus ditulis dan dipublikasikan, tulisan yang terpublikasi akan semakin bernilai ketika banyak orang menjadikannya sebagai wacana.
Dibandingkan dengan kitab-kitab karya al-Ghazali yang lainnya Ihya ‘Ulum al-din merupkan kitab yang sering dijadikan rujukan dalam berbagai disiplin ilmu seperti Psikologi, Tasawuf, Fikih, Filsafat, Kedokteran, Fisika, Sosiologi, dan sebagainya.
Karena sering menuliskan pengalamannya dalam beberapa kitab, al-Ghazali lebih dikenal sebagai ilmuan Tasawuf daripada sebagai ilmuan Fisuf, ahli Fikih atau ahli teologi.
Pada zaman sekarang kita akan sangat kesulitan mendapatkan pemikiran para ulama, seperti halnya pemikiran Imam Syafi’i kita mendaptkannya melalui tulisan bukan ceramahnya, ceramah Imam Syafi’i tidak akan diketahui publik atau diuji publik jika tidak ditulis dan dipublikasikan oleh murid-muridnya yaitu al-Juwaini, al-Buwaithi, dan ar-Rabi’ bin sulaiman, menjadi kita al-Umm. Publikasi ilmiah juga merupakan keungulan sains Barat hingga saat ini.
Tidak sedikit pula para praktisi Barat yang mempublikasikan pengalamannya. Para akademisi pun lebih didorong untuk melakukan penelitian lapanagn daripada penelitian kepustakaan.
Temuan-temuan yang menarik dipublikasikan melalui ragam media seperti buku, jurnal, majalah, surat kabar, internet bahkan televisi atau Youtube yang sedang popular di era saat ini. Ini adalah salah satu faktor hegemoni barat atas sains, apa yang dikatakan ilmiah tetapi tidak melalui prosedur metedologi barat yang saat ini menghegemoni bisa tidak diakui sebagai pengetahuan Ilmiah.
Pengalaman al-Ghazali memberikan gambaran bahwa studi Islam meletakan kebenaran wahyu diatas kebenaran akal, ini yang membedakan dengan studi sains yang berkembang di Barat. Namun demikian, terdapat wilayah studi Islam yang dapat dikaji secara empiris dan rasional, yakni wilayah fenomena agama dan pengalaman keagamaan, tetapi terdapat persoalan yang mendasar, apakah wilayah yang dapat dikaji tersebut dapat dikatakan sebagai sains dalam prespektif Barat?
Untuk memecahkan persoalan ini, terlebih dahulu perlu dipaparkan apa yang dimaksud dengan sains dan persyaratannya bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai sains.