Selasa, Oktober 14, 2025

Bahasa Primitif yang Gagal Berevolusi di Era Modern

Fahad Adzriel
Fahad Adzriel
Atau dikenal dengan nama asli Abdullah Hasanudin; Penulis, sekaligus seorang mahasiswa Islamic Studies of Islamic Open University, Gambia Afrika
- Advertisement -

Kemarahan adalah Bahasa Primordial si “Bodoh”

Istilah “bodoh” di sini bukanlah celaan, melainkan sebuah kondisi keterbatasan kognitif dan wawasan. Seperti yang dijelaskan dalam psikologi evolusi, kemarahan adalah mekanisme pertahanan primitif yang diwarisi dari nenek moyang kita. Saat menghadapi ancaman, respons “lawan atau lari” (fight or flight) langsung aktif. Bagi individu dengan perbendaharaan pengetahuan dan kosakata yang terbatas, sebuah fakta yang menantang keyakinannya bukanlah undangan berdiskusi, melainkan sebuah ancaman eksistensial.

Ketidakmampuan untuk melawan dengan argumen yang runut dan logis membuat sistem limbik (pusat emosi otak) mengambil alih. Kata-kata kasar dan amarah menjadi senjata andalan, persis seperti nenek moyang kita yang menggeram dan memukul untuk mengusir ancaman. Dalam konteks modern, kemarahan ini adalah bentuk “gagap komunikasi” tingkat tinggi ketidakmampuan menyampaikan penolakan dengan bahasa yang civilized, sehingga ia kembali pada bahasa yang paling primal: teriakan dan umpatan.

Mengurai Benang Kusut Gagap Komunikasi

“Gagap komunikasi” adalah metafora yang tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Kegagapan ini bersifat dua arah: reseptif dan ekspresif.

Pertama, Gagap Reseptif: Ini adalah ketidakmampuan dalam menangkap dan memproses informasi secara utuh. Otak yang tidak terlatih mengalami “overload” ketika dihadapkan pada informasi yang kompleks atau bertentangan dengan keyakinannya. Alih-alih menganalisis, ia langsung menyimpulkan dan bereaksi. Informasi di internet yang serba potongan dan tidak lengkap diperlakukan sebagai kebenaran mutlak, karena ia tidak memiliki alat kognitif untuk menyusunnya menjadi puzzle yang utuh.

Kedua, Gagap Ekspresif: Ini adalah ujung dari gagap reseptif. Ketika pikaran dipenuhi dengan gejolak emosi dan informasi yang kacau, sementara kosakata untuk menyampaikannya terbatas, muncullah frustrasi. Frustrasi ini lalu meledak menjadi kata-kata kasar. Kata-kata itu adalah pelampiasan dari kebuntuan komunikasi; bukti bahwa ia memiliki sesuatu di kepalanya tetapi gagal total dalam mentranskripsikannya menjadi kalimat yang argumentatif dan runut.

“Sikap Spontan adalah Cermin Perilaku Asli”

Sebuah narasi kebijaksanaan tua yang sangat relevan dengan pembahasan kita. Dalam khazanah Islam, ulama besar Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, sering menyoroti pentingnya sirri (rahasia hati) dan bagaimana ujian akan membongkar isinya. Bahwa sikap seseorang dalam keadaan spontan, saat tidak ada waktu untuk berpose, adalah cermin dari khuluq-nya (akhlak atau karakter bawaannya).

Seorang perawi hadis juga meriwayatkan pesan Nabi Muhammad SAW tentang ketulusan iman, yang intinya menyatakan bahwa kesabaran yang ditunjukkan saat marah adalah indikator kekuatan iman seseorang. Ini menggarisbawahi bahwa reaksi spontan seperti defensif dan marah saat mendengar fakta yang tidak menyenangkan adalah pameran sesungguhnya dari kondisi jiwa dan kedalaman intelektual seseorang.

Dalam konteks kita, reaksi defensif itu bukan sekadar marah. Ia adalah sebuah pengakuan tanpa sadar. Saat seseorang langsung menyerang balik dengan kata-kata kotor, ia sedang membuka kartunya sendiri: ia menunjukkan bahwa pondasi pengetahuannya rapuh, alat komunikasinya terbatas, dan egonya lebih berharga daripada kebenaran. Kemarahan spontannya adalah bukti nyata dari “gagap komunikasi” yang telah menjadi karakter aslinya.

Pentingnya Kesadaran ini dalam Kehidupan Bermedia Sosial

Mengapa pemahaman psikologis dan spiritual ini sangat krusial hari ini? Karena media sosial adalah panggung utama di mana drama “gagap komunikasi” ini dipentaskan setiap detiknya.

Platform digital dengan algoritmanya justru memelihara siklus ini. Ia memberi kita potongan puzzle informasi yang sesuai dengan bias kita, dan ketika potongan puzzle yang bertentangan muncul, reaksi primitif kita langsung terpicu. Komentar section berubah menjadi medan tempur antara orang-orang yang mengalami “gagap” yang sama, saling melempar kata-kata kasar sebagai pengganti argumen, tanpa pernah berusaha menyusun puzzle yang sebenarnya lebih besar.

- Advertisement -

Dengan memahami bahwa kemarahan impulsif dan ujaran kebencian seringkali berakar pada “gagap kognitif”, kita diajak untuk:

1. Bersikap Lebih Empati: Melihat kemarahan di internet bukan semata-mata sebagai keburukan, tetapi juga sebagai tanda ketidakmampuan dan penderitaan kognitif.

2. Menjadi Pengguna yang Lebih Bijak: Ini adalah alarm untuk diri sendiri. Sebelum memposting komentar marah, tanyalah: “Apakah saya benar-benar paham konteks utuhnya? Ataukah ini hanya reaksi gagap saya?”

3. Menjaga Khittah Percakapan: Dengan tidak terpancing untuk membalas kasar, kita memutus mata rantai komunikasi primitif dan memilih untuk tidak menjadi bagian dari “gagap” massal.

Kesimpulannya, melatih kesabaran dan kerunutan berpikir di media sosial bukan hanya soal etiket, melainkan sebuah perlawanan terhadap naluri primitif kita. Ia adalah bukti kedewasaan kita sebagai manusia modern yang berhasil menggunakan akal budinya untuk menundukkan amarah, sebuah bentuk kecerdasan tertinggi yang justru sangat dibutuhkan di zaman yang penuh kebisingan ini.

Fahad Adzriel
Fahad Adzriel
Atau dikenal dengan nama asli Abdullah Hasanudin; Penulis, sekaligus seorang mahasiswa Islamic Studies of Islamic Open University, Gambia Afrika
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.