Rabu, November 19, 2025

Bagaimana Sikap Seorang Marhaenis Progresif?

Diaspora yang Rewel

Storytelling Versus Vibe

Mengapa Drama China Digemari?

Vansianus Masir
Vansianus Masir
Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) 'APMD' Yogyakarta. Saat ini menjabat Ketua Dewan Pimpinan Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPK-GMNI) dan Pimpinan Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa TEROPONG di kampusnya.
- Advertisement -

Kami di Dewan Pimpinan Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPK-GMNI) Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) ‘APMD’ Yogyakarta telah menyelenggarakan Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB) pada 1 November.

Tema yang kami angkat dalam kegiatan tersebut yaitu “Mewujudkan Transformasi Sosial dengan Membentuk Marhaenis yang Berkesadaran, Bersolidaritas, Berpikir Kritis dan Bermental Pejuang.”

Tentu tema ini terdengar ideal. Tetapi, saya punya suatu optimisme, bahwa perubahan sosial hanya mungkin terjadi, pertama-tama jika setiap orang muda terutama mahasiswa punya kesadaran terhadap realitas yang menindas, timpang dan hidup dalam sistem yang tidak adil.

Selanjutnya bergerak dari situ, perlu ada empati, solidaritas dan kemauan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Terutama membela mereka yang rentan dan tidak berdaya.

Tidak perlu muluk-muluk. Cukup dimulai dari kehidupan di sekitar kita, dari hal-hal kecil yang mungkin bisa kita lakukan.

Dalam perjuangan mewujudkan keadilan, kebebasan dan kesejahteraan, perlu juga membekali diri dengan ilmu pengetahuan yang cukup bagi terbentuknya kemampuan berpikir kritis.

Itu sebagai ‘pisau analisis’ untuk membaca realitas secara komprehensif. Langkah ini bisa dimulai dengan berkomunikasi, bersosialisasi dengan kehidupan sosial-kemasyarakatan, mengenal lingkungan, membaca, menulis dan berdiskusi.

Tidak dapat dimungkiri, sikap progresif untuk berjuang dan membela kebenaran itu, sering kali dihadapkan pada penolakan, dibenci, mendapat represi dan intimidasi atau bahkan tidak sedikit yang berujung pembunuhan. Tidak saja dari sesama masyarakat sipil, tetapi juga dari negara melalui para aparat bersenjata.

Begitulah keadaannya. Pilihan sikap selalu punya konsekuensi. Ada risiko dan harga yang harus dibayar.

Namun, menyerah bukanlah pilihan yang tepat untuk seorang yang punya mentalitas pejuang. Ia harus berbuat sesuatu dan berusaha mewujudkannya, daripada tidak melakukan sama sekali.

- Advertisement -

Tidak semua berhasil. Kadang kuota gagalnya lebih banyak. Tetapi yang paling penting, seperti yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia (1980), “Kita telah berjuang Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Seruan ini adalah imperatif moral agar terus berjuang dan melawan meski keadaan tampak mustahil.

Inilah yang secara pribadi saya harapkan bagi tiga belas kawan seperjuangan yang kemarin secara resmi menyatakan tekad dan komitmen untuk menjadi bagian dari keluarga besar DPK-GMNI STPMD ‘APMD.’

Saya tidak sedang berniat menggurui, tetapi sekadar mengingatkan bahwa orang muda selalu punya peran penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini dari era kebangkitan nasional, sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan, reformasi 1998, bahkan masih ada sampai hari ini.

Lahirnya organisasi Budi Oetomo pada 20 Mei 1908 yang menandai simbol Kebangkitan Nasional melawan penjajah digagas orang muda berusia di bawah 30 tahun.

Mereka adalah Dr. Soetomo (20 tahun), Tjipto Mangunkusumo (22 tahun), Tirto Adhi Surjo (28 Tahun), dan Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal Ki Hadjar Dewantara (19 tahun).

Selain itu, Mohammad Hatta menulis buku Indonesia Merdeka pada usia 26 tahun; Soekarno mendirikan PNI di usia 26 tahun dan menulis pidato terkenal Indonesia Menggugat saat berusia 29 tahun; begitu pula dengan Tan Malaka yang menulis buku Menuju Indonesia Merdeka ketika berusia 28 tahun.

Mereka adalah cerminan orang muda yang progresif dan revolusioner yang terbebas dari belenggu pragmatisme melainkan memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Mereka berani, pantang tunduk pada status quo, dan enggan diam dalam zona nyaman.

Sebaliknya mereka berani berbeda dari kebanyakan orang, lantang menyuarakan kritik terhadap segala bentuk penindasan. Pertanyaannya, mampukah kita merawat semangat yang sama?

Menghidupkan Nilai

Jawaban saya adalah ‘iya’, asalkan seorang marhaenis menanamkan beberapa nilai penting yang menjadi dasar dari setiap tindakan organisatoris.

Pertama, bertanggung jawab sebagai bukti kesadaran. Anggota organisasi yang sadar tidak akan menunggu diperintah.

Itu dilakukannya bukan untuk mencari pengakuan tetapi jalan membuktikan komitmen. Karena ia tahu, bahwa perjuangan adalah miliknya sendiri. Ia berdaulat, percaya pada kekuatan dirinya sendiri dan menjadi manusia merdeka.

Kesadaran untuk bertanggung jawab dalam tiap-tiap anggota melahirkan kerja sama atau yang Soekarno sebut sebagai gotong royong. Artinya, tindakan kolektif sebetulnya adalah implikasi dari kesadaran individu.

Dalam organisasi, gotong royong berarti kesediaan untuk berbagi beban, saling melengkapi dan menolak egoisme.

Tidak semua anggota harus aktif dalam kapasitas yang sama, tetapi setiap orang perlu hadir, sekecil apapun perannya.

Menjadi anggota organisasi lebih dari pada sekadar status, tetapi yang paling utama adalah keberanian serta kemauan memperbaiki cara berpikir.

Organisasi yang besar tidak diukur dari kuantitas anggota, tetapi kualitas kesadaran ideologis yang kuat orang di dalamnya.

Kedua, refleksi diri. Refleksi diri sangat penting agar ketika terjadi persoalan dalam tubuh organisasi, tidak perlu mencari kambing hitam, tetapi mengedepankan komunikasi yang deliberatif untuk memahi akar masalah.

Tindakan semacam ini bertujuan agar organisasi tidak jatuh ke dalam siklus saling menyalahkan.

Ketiga, siap menghadapi kesulitan dan punya daya tahan di tengah keterbatasan sumber daya. Seorang teman suatu ketika menyampaikan demikian: “GMNI tidak mengajarkan anggotanya untuk manja tetapi menjadi petarung. Petarung yang berani mengambil risiko, menghadapi perbedaan, dan tetap teguh memperjuangkan cita-cita bersama, meski dalam keterbatasan.”

Memang benar. Selama ini, kegiatan banyak dilakukan di kampus STPMD ‘APMD’ karena kami tidak lagi punya sekretariat.

Karena keterbatasan finansial sekretariat sebelumnya tidak bisa diperpanjang atau untuk menyewa sekretariat baru.

Selain itu, sebagai pelengkap diskusi kami biasa membeli makanan dan minuman ringan. Modalnya dari hasil patungan peserta yang hadir, berapapun nominalnya.

Dalam mendukung kegiatan rutin seperti PPAB, Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD) serta Musyawarah Anggota Komisariat (MAK) kami melakukan usaha dana baik itu menjual kaos/korsa, membuat kripik, kolak dan lain-lain.

Kami tidak terikat dan tergantung dengan pemberian pihak luar apalagi dari politisi atau partai politik tertentu untuk menjaga terus menjaga independensi, kecuali dari alumni atau dari siapa saja yang memberikan donasi secara sukarela.

Inilah wujud arti perjuangan sejati, yaitu perjuangan yang tidak mengharapkan kemudahan, popularitas, kemewahan, mencari penghargaan,  tapi mengabdi pada cita-cita besar kemanusiaan.

GMNI akan terus ada dan berlipat ganda selama anggotanya atau kaum marhaenis berjuang dan berkorban bukan demi nama, melainkan demi terwujudnya bonum commune (kebaikan bersama).

Menutup tulisan ini, saya mengutip kalimat terkenal yang pernah disampaikan Soekarno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Perjuangan kita belum selesai selama kekayaan alam hanya menguntungkan segelintir orang, korupsi, pelanggaran HAM dianggap sebagai sesuatu yang banal, perampasan tanah dan penghancuran ruang hidup masyarakat adat masih terjadi dan sebagainya.

Mari kita awali dengan berjuang  melawan diri kita sendiri dengan menghindari sikap apatis, pragmatis dan oportunis.

Vansianus Masir
Vansianus Masir
Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) 'APMD' Yogyakarta. Saat ini menjabat Ketua Dewan Pimpinan Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPK-GMNI) dan Pimpinan Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa TEROPONG di kampusnya.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.