Minggu, November 2, 2025

Bagaimana Rasulullah SAW Mengelola Duka

Fahad Adzriel
Fahad Adzriel
Atau dikenal dengan nama asli Abdullah Hasanudin; Penulis, sekaligus seorang mahasiswa Islamic Studies of Islamic Open University, Gambia Afrika
- Advertisement -

Melihat Duka melalui Kacamata Barat

Dalam dunia psikologi modern, konsep “Ball in the Box” menjadi populer untuk menjelaskan mekanisme berduka. Analoginya sederhana: ada kotak dengan tombol di dalamnya, dan sebuah bola yang bergerak acak. Setiap kali bola menyentuh tombol, reaksi duka muncul. Solusi yang ditawarkan? Mengecilkan tombol atau memperbesar kotak. Teori ini terdengar elegan, tapi benarkah ia mampu menangkap kompleksitas pengelolaan duka secara utuh?

Merawat Duka atau Terbelenggu Masa Lalu?

Jika kita konsisten dengan teori ini, maka merawat duka berarti membiarkannya datang kapan saja ia mau. Setiap kali bola menyentuh tombol baik di tengah rapat penting, saat mengambil keputusan krusial, atau di momen-memen genting lainnya kita harus “meladeninya”. Apakah ini praktis? Atau justru menjebak kita dalam siklus kesedihan tanpa ujung?

Antara Teori dan Implementasi

Yang menarik, psikolog dan psikiater dalam praktiknya justru mengajarkan hal berbeda. Mereka berbicara tentang “mengelola emosi”, “emotional regulation”, dan memilih waktu yang tepat untuk mengekspresikan kesedihan. Di sini muncul ketidakkonsistenan: teori membiarkan bola bergerak acak, sementara praktik mengajarkan kita untuk mengendalikan kapan bola itu boleh “disentuh”.

Tabrakan Konsep: Kontradiksi dalam Psikologi Barat

Inilah titik kritisnya. Teori “Ball in the Box” menjadikan manusia sebagai penonton pasif yang hanya bisa mengecilkan tombol atau memperbesar kotak, tanpa kemampuan untuk mengatur pergerakan bola. Sementara dalam kehidupan nyata, manusia justru diajarkan untuk memiliki agency kemampuan untuk mengatur respons emosional. Kontradiksi ini menunjukkan kelemahan fundamental teori Barat dalam memahami hakikat manusia.

Rasulullah ﷺ: Master dalam Mengelola Duka

Lihatlah bagaimana Rasulullah ﷺ menghadapi duka kematian putra tercintanya, Ibrahim. Beliau menangis, mengakui rasa sakit sebagai manusia, namun tidak larut dalam kesedihan. Sabdanya: “Sesungguhnya mata ini menangis, hati ini bersedih, tapi kami tidak mengucapkan kecuali yang diridhai Rabb kami.” Inilah keseimbangan sempurna: mengakui emosi tanpa diperbudaknya.

Rasulullah tidak “merawat duka” dalam arti memelihara rasa sakit. Beliau “mengelola duka” dengan:

1. Mengakui kesedihan sebagai fitrah manusiawi

2. Menerima ketentuan Allah dengan ridha

3. Bergerak melanjutkan tanggung jawab kehidupan

4. Menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Kuasa

- Advertisement -

Integrasi yang Lebih Bermakna

Dari sini kita belajar bahwa teori Barat tentang duka seringkali reduktif. Islam menawarkan perspektif holistik: duka bukan untuk “dirawat” tapi untuk “dikelola” dengan bijak. Bukan untuk dipelihara, tapi untuk dimaknai dalam bingkai iman.

Seperti bekas luka yang sudah sembuh ia mengingatkan kita pada pengalaman, tapi tidak lagi menyakiti. Inilah kebijaksanaan Rasulullah dalam mengelola duka: seimbang antara manusiawi dan ilahi, antara rasa sakit dan penerimaan, antara mengakui dan melanjutkan perjalanan.

Wallahu a’lam bissawab.

Fahad Adzriel
Fahad Adzriel
Atau dikenal dengan nama asli Abdullah Hasanudin; Penulis, sekaligus seorang mahasiswa Islamic Studies of Islamic Open University, Gambia Afrika
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.