Islam akan kaffah jika diyakini dengan daya aqali. Sebuah energi untuk mencurahkan potensi membangun kesadaran penuh dalam pijakan maknawi. Keyakinan tanpa proses daur rasionalisasi akan mudah lepas dan tercerabut dari ikatan teologis.
Paham seorang muslim tentang Islam haruslah bermula dari seluruh pertanyaan yang memungkinkan jawaban tidak bisa ditemukan padanya. Sebuah pengujian atas keimanan yang kokoh. Keyakinan yang tidak pernah dirundungi oleh keraguan akan membentuk sikap keimanan yang isolir.
Pernyataan atas kebenaran dari keyakinan, diuji dengan pertanyaan-pertanyaan otokritik. Pengujian atas rasionalisasi dari keyakinan lewat argumen teks atau nash-nash Qur’an serta Hadist. Proses rasionalisasi tersebut merupakan pencarian dasari dari keyakinan kepada Islam agar berdasar argumentasi bukan dogmatisasi.
Proses inilah, dimana keyakinan berwujud pada satu pemahaman ontologis. Meminjam istilah dari Newberg dan Waldman, Credo Ergo Sum, “Aku percaya maka Aku ada”. Ialah sebuah konsep hasil elaborasi dari semboyan seorang Bapak Rasionalisme, Descartes lewat gagasannya tentang “Aku berfikir maka Aku ada” atau dikenal dengan Cogito Ergo Sum.
Mempelitir istilah Descartes dengan memasukan ungkapan baru yang bernada transenden, sebagai upaya untuk memberikan penempatan arti yang lebih berdimensi meta-rasional–diluar alam pikir rasional–dalam proses pencarian memahami Tuhan. Dalam konteks memahami Islam, Credo Ergo Sum dipahami sebagai keyakinan yang luas. Dalam tanda kutip, keyakinan tersebut merupakan usaha yang dibarengi oleh proses berfikir (tafakkur) dan perenungan meditatif (tadabbur).
Seyogyanya ber-Islam adalah komitmen tanpa henti untuk mengenali Allah SWT. Lewat tanda-tanda-Nya yang tersebar dalam bentuk kosmopolit (ayat-ayat kauniyah) maupun tanda mukjizat-i (ayat-ayat qauliyah). Tanda-tanda tersebut merupakan cara Allah dalam Mengeksistensikan diri-Nya dalam lapisan yang mampu dijangkau oleh akal dan intuisi hamba-Nya.
Proses penemuan jati diri Islam yang mampu ditransformasikan sebagai kuasi eksistensial perjumpaan seorang hamba dengan Tuhannya. Sebagaimana disinggung oleh pemikir eksistensialis, Karl Jasper dalam mengembangkan paham eksistensinya sebagai proses menggapai The Chifer (Yang Transenden).
Paham eksistensi yang materialistik hanya akan bertumpu pada pemujaan ego dan sikap individualistik. Tetapi, eksistensi yang berpaham idealistik, mempunyai orientasi pada proses peng-insyafan diri sebagai makhluk yang meng-Ada. Eksistensi manusia adalah proses pengenalan dirinya kepada Yang Transenden.
Semakin dekatnya hamba pada kesadaran eksistensialnya yang paripurna, maka pikiran dan tindakannya akan senantiasa berorientasi pada yang Transenden atau Allah. Pemahaman seorang muslim, yang telah menapaki proses ini akan masuk pada wujud ber-Iman, ber-Islam untuk ber-Ihsan.
Jika Iman dan Islam sebagai perangkat ortodoksi maka Ihsan merupakan aspek ortopraksi. Kesadaran yang hidup dalam pengawasan-Nya merupakan ciri dari keber-Islaman yang kaffah. Memuat pemahaman yang mewujud dalam bentuk amal shalih. Ortopraksis amat didasari oleh keyakinan yang ontologis—pemahaman asali.
Dalam hadist yang populer diriwayatkan oleh Umar bin Khatab, bahwa saat Nabi didatangi oleh Malaikat Jibril yang berwujud seorang pria. Pria tersebut kemudian menanyakan tiga pertanyaan fundamental tentang Iman, Islam dan Ihsan.
. . . . Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”Aku menjawab, ”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.”
Paham Iman dan Islam merupakan ortodoksi yang dipahami serta diyakini oleh seseorang. Keyakinan akan konsep teologis serta hal-hal berkenaan penciptaannya merupakan landasan onto—dasar. pemahaman akan amal soleh dan perbuatan fujur, merupakan onto perihal aktivitas-aktivitas keagamaan.
Adapun komitmen selanjutnya ialah menyatalaksanakan keyakinan-keyakinan tadi pada tataran praksis. Bahwa perasaan diawasi olehnya memberikan implikasi atas keharusan berkomitmen menegakkan keislaman yang aplikatif. Melembagakan paham Islam dalam praksis-praksis aktual dan objektifikasi nilai dari Islam itu sendiri.
Begitulah kiranya Islam kaffah yang eksistensial. Sebagaimana Iqbal menyinggungnya dalam ajaran khudi atau egonya. Bahwa eksistensi menyatakan diri sebagai eksistensi yang mandiri bukan sesuatu yang berada dalam keseluruhan atau menuju kesirnaan, melainkan optimisme pada penegasan diri sebagai eksistensi yang mampu menghadap Sang Maha Eksistensi.