Sejak tahun 80-an Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta dikenal “angker” oleh sebagian masyarakat, pasalnya mereka menduga IAIN Jakarta adalah sarangnya orang-orang Islam liberal, bahkan ada anekdot IAIN adalah Ingkar Allah Ingkar Nabi.
Imbasnya, banyak orang tua berpikir berkali-kali memasukkan anaknya ke kampus ini, namun terkadang orang tua pun tidak punya pilhan karena hanya IAIN kampus yang biayanya murah. Dahulu sempat dijuluki kampus rakyat, tapi sekarang tidak setelah penerapan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Pelabelan liberal bukan tanpa alasan, penulis mendengar cerita ini dari dosen-dosen yang mengajar di kelas atau saat mengisi kuliah umum. Label liberal bermula saat Harun Nasution menjadi rektor IAIN Jakarta tahun 1973-1984, dan Ia mengenalkan kebebasan berpikir kepada para mahasiswanya. Sosok Harun Nasution kemudian dikenal sebagai pembaharu pemikiran Islam.
Pembaharuan pemikiran Islam yang dilakukan Harun Nasution dilanjutkan oleh para mahasiswanya, kita mengenal tokoh-tokoh besar sekelas Nurcholish Madjid, Bahtiar Effendy, Fachry Ali, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Mulyadhi Kartanegara, dan beberapa nama yang mencuat belakangan, Oman Faturrahman, Saiful Mujani, dan Burhanudin Muhtadi.
Dengan adanya pembaharuan pemikiran Islam yang menekankan pada kebebasan berpikir dan keterbukaan, serta tokoh-tokoh yang terus mewacanakannya, IAIN Jakarta sempat dijuluki sebagai dapurnya intelektual Islam Indonesia. Selain label liberal yang diberikan masyarakat awam kepad kampus ini.
Tidak hanya itu, pemikiran berupa esai dari tokoh-tokoh tersebut dikumpulkan dan dijadikan buku yang diberi judul Islam Mazhab Ciputat. Dari sanalah hemat penulis Islam Mazhab Ciputat mulai terdengar di masyarakat. Kebebasan berpikir dan keterbukaan menjadi dasar untuk bersikap lebih mementingkan titik temu (kalimatun sawa) atau sikap moderat. Kelompok ini kemudian lebih terbuka terhadap kemajuan zaman dan kelompok-kelompok yang berbeda pemikiran.
Pembaharuan Islam untuk Kelas Menengah
Pemikiran yang dikembangkan sejak era Harun Nasution nampaknya memang dikemas untuk masyarakat kelas menengah kota. Terlihat dari peredarannya yang melalui kuliah, buku, seminar, dan lain sebagainya. Di Ciputat sendiri pemikiran pembaharuan Islam diajarkan dan diskusikan di kelompok diskusi, dan organisasi eksternal kampus (HMI, PMII, dan IMM). Sehingga belakangan mahasiswa yang kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) tidak akrab dengan pemikiran ini.
Kebebasan berpikir, keterbukaan, toleransi, dan moderasi beragama yang sekarang berkembang di Indonesia, sedikit-banyak adalah pengaruh dari Islam Mazhab Ciputat. Namun, setelah kurang lebih empat dekade pemikiran itu dikembangkan eksistensi di tanah kelahirannya kerap dipertanyakan.
Sejak tahun 2000-an, sejauh pengamatan penulis belum ada lagi tokoh muda yang pemikiran serta namanya berkibar di kancah nasional. Media massa masih dihiasi wajah-wajah lama seperti Azyumardi Azra, yang umurnya sudah lebih dari setengah abad. Belakangan ada nama Adi Prayitno, namun Ia lebih dikenal sebagai pengamat politik.
Bagaimana Masa Depan Islam Mazhab Ciputat?
Di tanah kelahirannya, Islam Mazhab Ciputat perlahan memudar seiring perubahan zaman yang ditanggapi dengan gagap oleh para mahasiswa UIN Jakarta sebagai pewaris sahnya. Gelombang koservatisme Islam masuk pelan-pelan melalui banyak saluran, terutama adalah saluran organisasi mahasiswa.
“Konservatif adalah perilaku dan gerakan yang bertumpu pada norma-norma lama Islam yang pada dasarnya bukan bagian dari doktrin dasar Islam, atau setidaknya tidak ada konsensus di antara ahli Islam itu sendiri. Lebih banyak berkaitan dengan furu’ atau cabang, bukan dengan ushul atau dasar agama. Perilaku konservatif bertumpu pada norma Islam lama yang dinilai tak mencerminkan perubahan zaman,” jelas Saiful Mujani Webinar dan Orasi Kebangsaa Rangkaian Milad UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ke-63, Selasa, 18 Agustus 2020.
Dengan strategi yang dilakukan oleh kelompok konservatif Islam, mahasiswa lebih tertarik mengikuti kegiatannya ketimbang kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi eksternal yang sudah lebih lama ada yaitu, HMI, PMII, dan IMM. Gerakan dari ketiga organisasi mahasiswa eksternal itu semakin sempit saat pihak kampus tidak mengizinkan atribut dan kegiatannya di dalam kampus. Beberapa waktu yang lalu Azyumardi Azra pun memberikan saran agar tiga organisasi itu dikembalikan ke dalam kampus, namun tak kunjung teralisasi.
Kondisi terkini yang harusnya menjadi alarm untuk tokoh-tokoh Ciputat, pihak kampus, dan mahasiswa adalah mencuatnya nama Nicko Pandawa sebagai Sutradara Film Jejak Khilafah Di Nusantara (JKDN) yang mengundang kontroversi. Nicko tak lain adalah alumni UIN Jakarta yang baru saja lulus.
Tentu saja dia bukan satu-satunya mahasiswa pengusung ideologi khilafah, ada organisasi mahasiswa bernama Gema Pembebasan yang sekarang bergerak cukup bebas di UIN Jakarta yang menjadi tempat naungan para mahasiswa pengusung khilafah.
Gerakan mereka tidak perlu dimatikan, cukup berikan tandingan wacana yang sebenarnya sudah ada yaitu Islam Mazhab Ciputat dengan mengembalikan tiga organisasi besar HMI, PMII, dan IMM ke dalam kampus. Kalau kita tidak segera mengambil sikap yang jelas, mungkin kelak wajah Ciputat tidak dikenal lagi sebagai garda terdepan Islam moderat dengan Keislaman dan Keindonesiaan sebagai moto utama kampusnya.