Jumat, April 26, 2024

ATLAS, Tools untuk Mengatasi “Manuver” KAP Big Four

rifki Okta
rifki Okta
Nama : Rifki Okta Mulyawan Domisili : Jakarta Timur Pekerjaan : Menjadi seorang pengamat

Jasa audit dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta menyampaikan hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.

Jasa audit  hanya bisa dilakukan oleh akuntan publik (AP) yang bekerja pada kantor akuntan publik (KAP). Tentunya, para akuntan publik adalah seseorang yang sudah memiliki sertifikat CPA (Certified Public Accountant).

Sudah umum kita ketahui, terdapat brand-brand Kantor Akuntan Publik (KAP) yang melekat pada para industri jasa audit terkenal, seperti The Big Four. Brand tersebut sebenarnya sudah banyak dikenal, tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia ini. The Big Four misalnya, terdiri dari Kantor Akuntan Publik Deloitte, PricewaterhouseCooper atau biasa disebut PWC, Ernst & Young (EY), dan KPMG.

Brand tersebut biasa terdengar di kalangan mahasiswa akuntansi, calon akuntan, perusahaan, dan lembaga keuangan. Selain itu, kebanyakan stakeholder sudah memiliki pandangan tersendiri dengan adanya branding tersebut. Di Indonesia, industri jasa audit seperti The Big Four dianggap paling terpercaya.

Sebenarnya, Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator serta IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia) sebagai pembina, tidak pernah mengelompokkan para profesi Jasa Audit dan audit. Justru mereka mendorong agar terjadi keseimbangan dan lingkungan yang kondusif. Akan tetapi, brand tersebut terlanjur melekat erat pada mindset para stakeholder.

Brand-brand terkenal ini biasa dijadikan acuan oleh perusahaan untuk mencari calon pemberi Jasa Audit. Contohnya perbankan, yang mempertimbangkan brand tersebut ketika akan memberikan kredit, sebagai acuan tingkat kepercayaan laporan keuangan audit calon debitur.

Mindset yang demikian menyebabkan pemilihan calon pemberi jasa audit hanya berkutat pada brand-brand tersebut. Ditambah lagi, entah apakah itu instruksi atau bukan, banyak perusahaan “plat merah” diaudit oleh KAP “Big Four”.

Dikutip dari Tribunnews.com bahwa Kementerian BUMN diduga mendorong BUMN menggunakan kantor akuntan publik (KAP) asing untuk mengaudit laporan keuangan. Hal itu terlihat dari proses pengadaan yang dilakukan BUMN tertentu yang mensyaratkan kompetensi profesional KAP ‘big four’ dalam proses pengadaan.

Hal tersebut menyebabkan penyebaran pendapatan di industri audit sebanyak 60-65% dikuasai oleh keempat KAP “big four” dilansir dari Tribunnews.com saat mewawancarai Tarkosunaryo, Ketua Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI).

“Mungkin ada yang menganggap seperti itu. Data-data yang saya dapat dari pemerintah, tren market revenue-nya memang 60-65% dikuasai empat besar dan itu sudah sejak 5-6 tahun lalu. Apakah dengan market seperti itu, oligopoli atau tidak, tergantung definisi oligopolinya,” ujarnya.

Namun, apabila dilihat dari four-firm concentration ratio (Rasio Konsentrasi) CR4, yaitu persentase dari output industri yang dimiliki oleh 4 perusahaan terbesar, pasar dengan market revenue yang seperti ini bisa disebut pasar Oligopoli. Hal ini merupakan salah satu bentuk pasar persaingan tidak sempurna, dimana hanya terdapat beberapa produsen atau penjual yang menguasai pasar. Tentunya, ini tidak sejalan dengan program Nawacita.

Permasalahan tersebut menyebabkan semakin sulitnya para pelaku profesi pada kelas menengah dan new entry untuk mencari klien baru. Ibarat ketika memberi makan kepada ikan di dalam satu kolam yang sama, ikan yang lebih besar akan lebih mudah mendapatkan makanan daripada ikan yang berukuran kecil. Akibatnya, ikan kecil kekurangan makanan dan nutrisi bahkan bisa mati kelaparan. Terlebih lagi, kanibalisme juga mungkin terjadi.

KAP Besar, juga Pernah Bermasalah 

Di sisi lain, brand-brand tersebut belum tentu menunjukkan kualitas dari jasa yang mereka berikan. Terbukti, akhir-akhir ini berita “tak sedap” bertiup menghempas para pemberi jasa audit brand Big four. Seperti kasus kebohongan laporan keuangan SNP Finance yang berujung pada sanksi administratif kepada sang auditor akibat kurangnya sikap skeptisisme (kehat-hatian dan kewaspadaan) dalam melakukan pemeriksaan.

Tak luput juga, sanksi diberikan kepada kantor akuntan publiknya (KAP-nya) karena kurangnya penerapan Standar Pengendalian Mutu (SPM) pada KAP tersebut.

Lalu, yang setahun sebelumnya, kasus yang disebabkan ketergesa-gesaan auditor dalam menerbitkan laporan audit PT Indosat tahun buku 2011 oleh salah satu pemberi jasa audit yang memiliki brand tersebut. Akibatnya, pengenaan sanksi denda sebesar satu juta dolar Amerika Serikat diberikan oleh Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB) pada tahun 2017 atas kelalaian ini.

Sebenarnya, standar audit yang diterapkan oleh para auditor dan perusahaan itu sama. Mulai dari Standar Kerangka untuk perikatan audit sampai Standar Audit (SA) 810 tentang Perikatan untuk Melaporkan Ikhtisar Laporan Keuangan. Saat ini, Ada 37 standar audit di Indonesia yang mana itu menjadi satu-satunya patokan untuk memberikan jasa profesional di bidang audit. Selain itu, terdapat kode etik serta UU tentang Akuntan publik yang perlakuannya tidak membeda-bedakan mana yang kecil dan mana yang besar.

Oleh karena itu, sudah seharusnya Kementerian Keuangan melalui Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) selaku pembina profesi tersebut ingin profesi yang diampu, memiliki iklim yang kondusif. Tentunya hal tersebut membutuhkan proses yang panjang dan perlu kerja keras serta sinergi dengan para pihak yang terkait. Sikap mental untuk memajukan industri jasa audit di Indonesia harus tertanam kuat. Terlebih lagi, sikap integritas dan profesionalisme dalam bekerja harus selalu ditanamkan dalam hati agar hal tersebut dapat terwujud.

ATLAS 

Baru-baru ini telah mengembangkan aplikasi audit bernama ATLAS (Audit Tool and Linked Archive System) yang merupakan hasil kerja sama Kementerian Keuangan dengan IAPI (Ikatan Akuntan Publik Indonesia). Aplikasi tersebut terutama ditujukan pada AP/KAP sebagai acuan dalam memberikan jasa audit.

Dikutip dari laman Pusat Pembinaan Profesi Keuangan, aplikasi ATLAS ini menjadi langkah yang bagus dan dapat digunakan sebagai panduan bagi KAP-KAP yang ada di Indonesia, terutama yang belum menyelenggarakan kertas kerja dengan baik. Hal tersebut diharapkan dapat menjadi suatu alat bagi kalangan kecil dan menengah untuk meningkatkan kualitas jasa yang mereka berikan.

Selain itu, tools dapat digunakan untuk mempermudah proses pengawasan bagi regulator dalam hal ini PPPK, kementerian keuangan. Pasalnya, AP dapat langsung mendapatkan laporan audit ketika impor laporan keuangan ke dalam ATLAS. Sehingga penerapan tools tersebut tanpa disertai dengan adjustment auditor akan terlihat pada saat pemberian opini pada laporan keuangan.

Maka dari itu, sudah seharusnya bagi akuntan publik untuk tidak bergantung pada tools. Akuntan publik dituntut tetap menerapkan adjustment-adjustment dalam memberikan jasanya untuk memperkuat pendapatnya. Terlebih lagi, isu robotisasi yang tengah dihembuskan oleh pemerintah dapat mengambil alih pekerjaan manusia, salah satunya pekerjaan akuntan publik.

oleh: Rifki Okta M ( Pengamat Keuangan )

rifki Okta
rifki Okta
Nama : Rifki Okta Mulyawan Domisili : Jakarta Timur Pekerjaan : Menjadi seorang pengamat
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.