Rabu, April 24, 2024

Asimilasi Napi, Kesalahan Terbesar Yasona

Raihan Akbar
Raihan Akbar
Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga, Kader PK IMM Syarkum

Pada Tanggal 1 April 2020 kemarin, Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan Permenkumham No. 10/2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-19 PK.01.04.04 Tahun 2020, mengenai Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak, melalui Asmilasi dan Integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.

Jauh sebelum keluarnya aturan tersebut, Menkumham Yasona Laoly juga berencana akan merevisi PP No. 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemsyarakatan. Hal inilah yang menimbulkan kontroversi. Apabila, PP tersebut direvisi, maka napi narkotika, terorisme dan korupsi bisa bebas mendapatkan asimilasi yang sebelumnya dikecualikan dalam PP ini. Usut punya usut ternyata ide ini usulan dari DPR dalam rapat virtual dengan Menkumham Yasona Laoly.

Namun, pada akhirnya usulan revisi inipun tidak jadi dilaksanakan setelah mendapatkan kecaman serta adanya teguran dari Presiden Jokowi yang mengatakan tidak akan memberikan asimilasi kepada napi koruptor, dan hanya akan memberikan asimilasi kepada napi umum. Adapun, setelah kebijakan ini berjalan, nyatanya menuai banyak persoalaan.

Asimilasi Napi Tak Menyalahi Regulasi

Berbicara mengenai asimilasi, secara definisi diartikan sebagai proses pembinaan Narapidana dan Anak yang dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana dalam kehidupan masyarakat, atau bahasa hukumnya pembebasan bersyarat. Dasar hukum dari asimilasi ini sendiri diatur dalam Pasal 15 KUHP dan UU No.32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Hak Warga Binaan. Dimana, dalam aturan tersebut, narapidana yang mendapatkan asmilasi sekurang-kurangnya telah menjalani dua pertiga dari masa hukuman.

Kemudian dalam Pasal 16 KUHP juga diatur tentang pihak yang berwenang untuk menetapkan pemberian pembebasan bersyarat, yaitu Menteri Hukum dan HAM. Hal ini juga diperjelas dengan dikeluarkannya Permenkumham No. 10/2020 dan Keputusan Menkumham No. M.HH-19 PK.01.04.04 Tahun 2020, yang menyatakan bahwa urgensi dari pengeluaran kebijakan tersebut karena alasan kesehatan dan kedaruratan.

Meskipun secara regulasi asimilasi tidak menyalahi, serta dengan dalih adanya over kapasitas lapas yang ditakutkan adanya penularan Covid-19. Alasan Seperti ini bisa dibenarkan. Akan tetapi, ada dua catatan penting yang harus dicermati oleh Menkumham.

Pertama,menggaris bawahi mengenai over kapasitas lapas, hal ini merupakan permasalahan klasik yang dari tahun ketahun tak pernah ter-selesaikan. Mengutip pernyataan koordinator Kontras Hariz Azhar, bahwasannya “Lapas mau dibangun 17 lantai pun tak akan cukup untuk menampung para narapidana, karena permasalahan utama over kapasitas lapas bersumber dari kebijakan pemidanaan di Indonesia yang masih buruk”, katanya dalam wawancara bersama opini.id, Pada Senin (27/04/20).

Kedua, dalam mengeluarkan kebijakan asimilasi ini, apakah Kemenkumham telah siap dan mampu dalam mengawasi narapidana yang telah diberikan pembebasan?. Mengingat, akan ada 38.822 lebih narapidana yang akan dibebaskan. Nyatanya, setelah kebijakan ini berjalan, kemenkumham pun tidak mampu memberikan pengawasan. Alhasil, permasalahan baru pun timbul di masyarakat.

Meningkatnya Angka Kriminalitas Sejak Asimilasi Napi Dikeluarkan

Kekhawatiran akan adanya permasalahan baru, akhirnya datang juga. Dengan maraknya perampokan, penjarahan dan perampasan yang terjadi di lingkungan masyarakat saat ini yang sebagian besar kejadian ini dilakukan oleh Napi yang mendapatkan asimilasi. Kementerian Hukum dan HAM pun tak menampik terkait persoalan ini, mereka membenarkan adanya napi yang bebas mendapatkan asimilasi kembali melakukan tindakan kejahatan.

Publik menjadi cemas ditengah situasi seperti ini selain harus berjuang melawan pandemi, mereka juga dihadapkan dengan kejahatan yang mengintai setiap saat. Menurut Sosiolog Imam Prasodjo saat di wawancarai salah satu stasiun televisi swasta, ia mengatakan bahwa “Faktor ekonomi lah yang memancing para napi asimilasi untuk melakukan kejahatan kembali. Terlebih dimasa sulit seperti ini, mereka yang kembali ke keluarganya, belum tentu memiliki keadaan finasial yang baik”.

Seharusnya, selain adanya pengawasan terhadap mereka, Kemenkumham juga harus memastikan bahwa kebutuhan mereka, minimal bisa dipenuhi untuk makan sehari-hari, pungkasnya.

Dengan maraknya angka kriminalitas saat ini, membuat kinerja aparat menjadi meningkat. Selain harus memastikan masyarakat mematuhi physical distancing, mereka juga dihadapkan untuk menjaga situasi di masyarakat agar tetap aman. Terlebih dengan ditiadakannya ronda malam, aparat kepolisian harus lebih ekstra melakukan giat patroli hingga ke perkampungan.

Salah Langkah Mengambil Kebijakan

Jika melihat keadaan saat ini, agaknya kita bisa menilai bahwa kebijakan ini memang buah dari kepanikan Kemenkumham. Seharusnya kemenkumham bisa memperhitungkan secara matang, dampak dan efek yang ditimbulkan setelah adanya pengeluaran kebijakan. Sebenarnya ada beberapa opsi pilihan selain menempatkan asimilasi pada poin utama.

Salah satunya dengan melakukan karantina pada lembaga pemasyarakatan. Jika kita melihat dalam Pasal 1 ayat 7 UU. No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, disana disebutkan adanya karantina rumah. Jika dikaitkan dengan penerapan pada rutan atau lembaga pemasyarakatan hal ini bisa dilakukan dengan mekanisme membatasi gerak kunjungan dari orang luar untuk masuk ke dalam, khususnya kunjungan keluarga dari narapidana.

Dengan membatasi ataupun melarang kunjungan orang luar masuk ke dalam lapas, serta memberlakukan sterilisasi ketat terhadap petugas sipir yang melakukan mobilitas diluar lapas, bukan tak mungkin penularan Covid-19 di dalam lapas tak akan terjadi.

Selain itu, ada yang harus digaris bawahi yang menjadikan kebijakan asimilasi ini menjadi hal yang rancu, ketika narapidana yang mendapatkan kebebasan, namun akhirnya melakukan kejahatan kembali, sama saja mereka juga akan ditangkap dan dimasukkan kedalam sel lagi.

Alih-alih ingin membatasi kapasitas tahanan yang ada malah menambah orang di dalamnya. Belum lagi dengan adanya isu-isu jual-beli tiket asimilasi, jika memang benar adanya, jelas sangat menciderai penegakkan hukum di Indonesia.

Raihan Akbar
Raihan Akbar
Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga, Kader PK IMM Syarkum
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.