Jumat, September 5, 2025

ASEAN Perluas Keanggotaan, Siapkah Menampung Papua Nugini?

Andini Putri Lestari
Andini Putri Lestari
Andini Putri Lestari lahir di Jember, Jawa Timur, pada 23 Februari 2005. Sejak masa sekolah, ia aktif mengikuti kegiatan literasi dan menulis. Minatnya terutama pada isu-isu sosial, politik, dan budaya yang kemudian dituangkan dalam bentuk artikel opini, esai, atau karya tulis akademik. Saat ini, Andini aktif sebagai mahasiswa Hubungan Internasional semester 5 di Universitas Brawijaya (UB), jurnalis humas UB, dan presiden komunitas Brawijaya ASEAN Society.
- Advertisement -

Pada KTT ASEAN ke-46, Presiden Prabowo Subianto mengusulkan Papua Nugini menjadi anggota penuh ASEAN. Menyusul Timor Leste yang akan melepas statusnya sebagai observer pada Oktober 2025 setelah melalui rangkaian Roadmap for membership in ASEAN dan capacity building dibawah pengawasan sekretariat ASEAN. Usulan tersebut memunculkan pertanyaan; siapkah ASEAN memperluas keanggotaannya?

Papua Nugini bukan pendatang baru, ia telah mengajukan aksesi sejak tahun 1976, dan pernah menjadi observer pada ASEAN Ministerial Meeting (AMM) di tahun yang sama. Namun, ia tidak pernah naik status seperti Timor Leste yang mengajukan diri tahun 2011 dan kini sudah masuk ke jalur aksesi penuh. Alasannya, secara geografis dan identitas, Papua Nugini lebih condong ke Pasifik Selatan, bukan Asia Tenggara. Berbeda dengan Timor Leste  yang memiliki keterikatan sejarah, budaya, dan kedekatan geopolitik – meskipun persamaan sejarah dan budaya tidak menjamin keabsenan konflik.

Timor Leste sempat mendapat penolakan dari Singapura dan Laos, alasannya, Timor Leste masih lemah secara ekonomi dan birokrasi, sehingga ditakutkan akan menghambat pencapaian konsensus di antara negara ASEAN, sebelum phased accession yakni penerimaan anggota baru secara bertahap disepakati. Tidak menutup kemungkinan usulan presiden ke-8 RI itu akan mendapatkan penolakan yang sama.

VOV melaporkan akan ada 357 pertemuan sepanjang tahun 2025 terkait ASEAN. Kondisi ekonomi menjadi penting untuk memotori segala bentuk aktivitas organisasi termasuk dalam menjalankan perjanjian ataupun kesepakatan.

Papua Nugini masih tertinggal dibanding rata-rata negara ASEAN. Laporan World Bank 2024, menunjukkan Produk Domestik Bruto (PDB) Papua Nugini diangka US 3.076, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 31/100, Indeks Pembangunan Manusia (HDI) sebesar 0,568, angka ini di bawah rata-rata ASEAN. PDB negara ASEAN setidaknya diatas USD 4.000, dengan rata-rata CPI 39/100, dan HDI 0,745. Ini menjadi salah satu kekhawatiran tentang kesiapan Papua Nugini untuk bergabung.

Hambatan ekonomi Papua Nugini, beresiko memperpanjang time to decisions ASEAN yang selama ini dikenal lambat. ASEAN berjalan berdasarkan prinsip ASEAN Way, diantaranya pembangunan konsensus dan kepemimpinan non hegemonik (bersama-sama), membuat ASEAN membutuhkan waktu lebih lama dalam memutuskan kesepakatan.

Sejarah ekspansi ASEAN dari 5 negara pendiri menjadi 10 anggota menunjukan bahwa organisasi ini tidak eksklusif. Saat Vietnam bergabung tahun 1996, Laos & Myanmar 1997, dan Kamboja 1999, memang ketiga negara ini berstatus low income. Namun, bukan melulu soal ekonomi, tapi kepentingan politik juga penting. Secara geografis, Vietnam penyeimbang Tiongkok di Laut Cina Selatan, Laos dan Myanmar menghubungkan daratan Asia Tenggara ke Tiongkok dan India, dan Kamboja menjadi penyempurna integrasi Indochina ke dalam ASEAN. Kisah yang sama akan terjadi jika ASEAN menerima Papua Nugini.

ASEAN berkesempatan memperluas pengaruhnya ke arah Pasifik. Papua Nugini adalah negara di Melanesia dan anggota penuh Pacifics Island Forum (PIF)–organisasi kawasan di Oseania. Jika bergabung, Papua Nugini dapat menjadi gerbang untuk ASEAN membuka kanal Indo-Pasifik. Seperti yang sudah ASEAN upayakan sejak akhir Perang Dingin, memperbesar pengaruhnya ke kawasan Pasifik melalui berbagai lembaga/forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN Plus Three (APT), serta East Asia Summit (EAS). Hal ini selaras dengan ASEAN Outlook on The Indo-Pacific yakni meningkatkan integritas dan inter-konektivitas antara negara-negara Indian Ocean dan Pacific Ocean. Namun, ekspansi keanggotaan ASEAN tidak hanya persoalan ekonomi atau geopolitik, tapi juga terkait karakter dasar ASEAN sendiri.

ASEAN sebagai security community dikenal melalui kebiasaan diplomasi, konsensus, dan penyelesaian konflik secara damai. Menurut Acharya (2023), security community tidak berarti dimaknai konflik itu tidak ada, namun penyelesaiannya secara damai. Menjadikan ASEAN juga bukan aliansi militer yang perlu menyamakan persepsi soal ancaman, bukan berarti pula sistem keamanan kolektif–apabila negara anggota diserang semua ikut turun tangan. Namun, tidak juga menjadikan ASEAN sebagai entitas pasif. Negara anggota ASEAN tetap membangun militeristik secara kompetitif  atas dasar ketidakpastian akibat perubahan-perubahan besar di tingkat regional maupun internasional yang lebih luas. Sementara di Papua Nugini sendiri masih dilanda konflik domestik seperti referendum Bougainville.

ASEAN sudah cukup sibuk menjaga stabilitas internal seperti konflik di Myanmar dan Laut Cina Selatan. Dua kasus ini menunjukan bahwa meskipun ASEAN sering disanjung sebagai security community, realitanya, pondasinya masih rapuh.

- Advertisement -

Krisis Myanmar menjadi bukti bahwa satu negara dengan instabilitas politik akut dapat mengguncang legitimasi ASEAN. Banyak pihak menilai upaya konsensus terhambat karena prinsip non-interference. Sementara itu, konflik ini berimbas pada krisis kemanusian lintas batas seperti pengungsi. Misalnya, di Indonesia, tepatnya di Aceh yang sempat mengalami benturan kepentingan antara masyarakat setempat dan pengungsi Rohingnya, Myanmar.

Belum lagi beban konflik Laut Cina Selatan, meskipun telah menyepakati Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) tahun 2002 dan Code of Conduct (COC), konflik masih berlanjut hingga sekarang.  Hal ini memperlihatkan keterbatasan mekanisme ASEAN–meskipun, tidak dapat menutup mata bahwa tidak ada otoritas tertinggi di atas negara.

Masuknya Papua Nugini dalam kondisi saat ini bisa menciptakan paradoks. Memang, Papua Nugini menghadirkan peluang secara geopolitik, namun masa depan ASEAN akan lebih ditentukan oleh kemampuan memperdalam integritas dan stabilitas bukan sekedar memperluas keanggotaan.

Menolak bukan berarti menutup diri. ASEAN tidak perlu terburu-buru menambah kursi di meja perundingan. Lebih bijak menunggu Papua Nugini berbenah dan siap, ketimbang ASEAN terseret masuk ke dalam persoalan baru yang justru melemahkan integritas kawasan.

REFERENSI BUKU

Amitav Archarya. (2023). ASEAN dan Tatanan Regional: Tinjauan Ulang atas Masyarakat Keamanan di Asia Tenggara. Gramedia Pustaka Utama.

Andini Putri Lestari
Andini Putri Lestari
Andini Putri Lestari lahir di Jember, Jawa Timur, pada 23 Februari 2005. Sejak masa sekolah, ia aktif mengikuti kegiatan literasi dan menulis. Minatnya terutama pada isu-isu sosial, politik, dan budaya yang kemudian dituangkan dalam bentuk artikel opini, esai, atau karya tulis akademik. Saat ini, Andini aktif sebagai mahasiswa Hubungan Internasional semester 5 di Universitas Brawijaya (UB), jurnalis humas UB, dan presiden komunitas Brawijaya ASEAN Society.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.