ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) telah lama diakui sebagai organisasi regional yang sukses dalam mendorong integrasi ekonomi di Asia Tenggara. Melalui inisiatif seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), ASEAN memperkuat hubungan perdagangan dan meningkatkan stabilitas ekonomi di kawasan.
Namun, dalam isu keamanan, ASEAN menghadapi tantangan besar. Meskipun ada kerangka kerja seperti ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN memilki kinerja yang kurang dalam menangani konflik regional seperti sengketa Laut Cina Selatan (LCS) dan krisis politik di Myanmar. Kesenjangan ini memunculkan pertanyaan: apakah ASEAN lebih baik fokus pada kolaborasi ekonomi saja?
Peluang Ekonomi
ASEAN telah mencapai keberhasilan yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Contoh konkret adalah perjanjian RCEP yang ditandatangani pada tahun 2020. RCEP adalah blok perdagangan terbesar di dunia, mencakup 30% dari PDB dunia, yang memperkuat hubungan ASEAN dengan mitra eksternal seperti China, Jepang, dan Korea Selatan.
Negara anggota seperti Vietnam dan Malaysia telah berhasil menarik investasi besar dari perusahaan multinasional,yang memperkuat sektor-sektor utama seperti manufaktur elektronik. Contohnya, perusahaan seperti Samsung dan Intel telah menjadikan Vitenam sebagai pusat mereka,memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal dan membuka lapangan kerja.
Melalui kerjasama RCEP saja dapat menunjukan bagaimana kesuksesannya akan meningkatkan daya saing regional, memperkuat perdagangan intra-ASEAN, dan meningkatkan standar hidup bagi sebagian besar populasinya. Contoh signifikannya adalah Dampak dari adanya RCEP meningkatkan pendapatan rill sebesar 2.5% yang dimana persentase perdagangan antar anggota akan meningkat sebesar 12.3% pada tahun 2035 (Estrades et al., 2023). Namun, meskipun ASEAN telah mencapai kesuksesan besar di bidang ekonomi ini tidak sebanding dengan pendekatan terhadap keamanan yang tetap terbatas.
Tantangan Keamanan
Ketika beralih ke isu keamanan, ASEAN belum mampu menunjukkan kinerja yang sama seperti dalam ekonomi. Mekanisme keamanan yang ada, seperti ARF dan Treaty of Amity and Cooperation (TAC), menunjukan kelemahan dalam memberikan respons tegas terhadap ancaman besar seperti sengketa LCS.
China terus meningkatkan klaim maritimnya di LCS, sementara beberapa negara ASEAN seperti Filipina dan Vietnam secara langsung terlibat dalam sengketa tersebut. Meskipun ada upaya untuk membentuk konsensus di antara negara-negara anggota ASEAN, perbedaan kepentingan, serta hubungan ekonomi yang erat dengan China, membuat ASEAN tidak dapat mengambil sikap yang kuat .
Krisis politik di Myanmar setelah kudeta militer pada tahun 2021 juga memperlihatkan kelemahan ASEAN dalam menangani isu keamanan domestik di antara negara-negara anggotanya. ASEAN tidak memiliki mekanisme yang cukup kuat untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia atau untuk mengambil tindakan koersif terhadap pemerintah militer Myanmar. Tanggapan ASEAN yang telah berusaha mengatasi krisis ini seperti pernyataan bersama dan dialog,tidak cukup untuk mengubah situasi di Myanmar. Situasi ini menimbulkan kritik terhadap prinsip non-interferensi yang dipegang kuat oleh ASEAN, yang sering kali membatasi tindakan nyata organisasi ini dalam situasi darurat.
Dalam perspektif realisme dalam hubungan internasional, negara dianggap sebagai aktor utama yang berdaulat, dengan kepentingan nasional dan keamanan sebagai prioritas utama (Lomia, 2020). Dalam konteks ASEAN, banyak negara anggota lebih memilih untuk menempuh jalan bilateral atau multilateral di luar ASEAN dalam hal keamanan. Seperti halnya Filipina, yang bersekutu dengan Amerika Serikat melalui Perjanjian Pertahanan Bersama mencontohkan pendekatan realis ini.
Dengan menyelaraskan diri dengan negara yang kuat, Filipina berusaha untuk meningkatkan keamanannya terhadap ancaman di Laut China Selatan, mencerminkan pilihan strategis untuk mengandalkan hubungan bilateral yang kuat daripada kerangka kerja ASEAN (Beeson & Lee-Brown, 2021). Pendekatan ini sejalan dengan logika realis, yang menunjukkan bahwa negara-negara harus bertindak secara independen untuk menjaga kedaulatan mereka, terutama ketika kerangka kerja keamanan multilateral dianggap lemah.
Walaupun ASEAN telah membuktikan kinerja yang bagus dalam bidang ekonomi, organisasi ini harus melakukan beberapa perbaikan dalam pendekatan keamanan agar tetap relevan dan responsif terhadap tantangan keamanan yang semakin kompleks di kawasan ini. Dari sini dapat dilihat ASEAN lebih baik dalam menangani kolaborasi ekonomi daripada isu keamanan regional dengan beberapa faktor yang masih dipertahankan.
Di sini ASEAN memerlukan perbaikan pada kerangka keamanan jika tetap ingin mepertahankan prinsip awal terbentuknya, melalui penguatan kolaborasi dengan negara-negara anggota dan mekanisme mediasi,merupakan langkah yang bisa dilakukan agar ASEAN tetap relevan dalam menghadapi tantangan yang terus berkembang.
Referensi:
Anwar, A. (2024). Economic Relations Between China and Asean: The Shadow of the South China Sea Issue. Köz-gazdaság, 19(1), 23–37. https://doi.org/10.14267/retp2024.01.03
Beeson, M., & Lee-Brown, T. (2021). Regionalism for Realists? The Evolution of the Indo-Pacific. Chinese Political Science Review, 6(2), 167–186. https://doi.org/10.1007/s41111-020-00163-0
Estrades, C., Maliszewska, M., Osorio-Rodarte, I., & Pereira, M. S. E. (2023). Estimating the economic impacts of the regional comprehensive economic partnership. Asia and the Global Economy, 3(2), 100060. https://doi.org/10.1016/j.aglobe.2023.100060
Grahanusa Mediatama. (2024, September 23). Produksi OLED, Samsung akan Benamkan Investasi US$ 1,8 Miliar di Vietnam. kontan.co.id. https://internasional.kontan.co.id/news/produksi-oled-samsung-akan-benamkan-investasi-us-18-miliar-di-vietnam
Le, T. a. T. (2023). Macroeconomic factors and trade balance: An analysis of Vietnam’s relations with RCEP countries. International Journal of ADVANCED AND APPLIED SCIENCES, 10(8), 98–105. https://doi.org/10.21833/ijaas.2023.08.011
Lomia, E. (2020). Political Realism in International Relations: Classical Realism, Neo-realism, and Neo-Classical Realism. International Journal of Social Political and Economic Research, 7(3), 591–600. https://doi.org/10.46291/ijospervol7iss3pp591-600