Sabtu, Oktober 5, 2024

Argumen Dangkal Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa

Gratio Ignatius Sani Beribe
Gratio Ignatius Sani Beribe
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang.

Pada Selasa, 17 Januari 2023 lalu, depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ramai dipadati oleh para kepala desa yang tergabung dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi). Mereka berunjuk rasa agar DPR RI segera merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 terkait masa jabatan kepala desa. Jika sebelumnya hanya enam tahun, para kepala desa ini menuntut agar diperpanjang menjadi sembilan tahun masa jabatannya.

Para kepala desa tersebut menilai jika waktu enam tahun masih sangat kurang untuk melakukan pembangunan di desa karena masih mengurusi konflik yang timbul akibat pemilihan. Maka, menurut mereka, waktu sembilan tahun dapat menurunkan potensi persaingan politik dan pembelahan masyarakat sehingga pembangunan dapat berjalan dengan efektif.

Berangkat dari demo tersebut, tak seperti UU TPKS atau RUU PPRT yang membutuhkan waktu bertahun-tahun agar dapat mendulang simpati para anggota dewan dan pejabat pemerintah, tuntutan para kepala desa untuk merevisi UU Desa tentang perpanjangan masa jabatan langsung menuai respon positif dari berbagai fraksi DPR RI, para menteri, bahkan Presiden Joko Widodo.

Padahal, jika ditilik lebih jauh, argumen para kepala desa tersebut untuk memperpanjang masa jabatannya sangatlah dangkal. Mereka hanya mengulang narasi yang sama dengan alasan perpanjangan masa jabatan presiden yang santer digaungkan tahun lalu. Perpecahan masyarakat akibat kontestasi pemilihan kembali disalahkan untuk memuluskan niat berkuasa mereka agar lebih panjang lagi.

Jika para kepala desa tersebut merasa terdapat perpecahan di masyarakat akibat pemilihan, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menciptakan pemilih yang dewasa dan rasional di tingkat desa. Jika tidak ingin menimbulkan perpecahan masyarakat, seharusnya calon-calon kepala desa tidak lagi menggunakan sentimen agama, kedaerahan, atau kesukuan yang selama ini menjadi andalan dalam memenangkan kontestasi. Tapi mulai bersaing menggunakan ide dan gagasan agar masyarakat desa dapat menjadi lebih dewasa sebagai pemilih. Bukan malah langsung menyalahkan sistem pergantian kepala desa dalam undang-undang.

Perpanjangan masa jabatan selama sembilan tahun juga dapat memproduksi “raja-raja kecil” sesuai dengan yang disampaikan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah (dikutip dari nasional.kompas.com). Hal ini dikarenakan masa jabatan yang semakin lama dapat menyebabkan kepala desa bisa sewenang-wenang untuk menggunakan kekuasaan dan wewenangnya. Apalagi tidak disertai dengan badan pengawasan yang mumpuni. Mungkin para kepala desa yang berdemo tersebut tidak pernah mendengar pepatah klasik Lord Acton, “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.”

Kekhawatiran para kepala desa semakin sewenang-wenang jika masa jabatannya diperpanjang juga disebabkan oleh pengelolaan keuangan desa. Mengingat jumlahnya yang sangat banyak hingga pada tahun 2022 pagunya mencapai Rp 68 triliun, tapi tidak pernah efektif dipakai untuk pembangunan. Bahkan, KPK melaporkan sepanjang tahun 2012 sampai 2021, telah terdapat 686 kepala desa yang terjerat kasus korupsi dana desa. Ini masih dalam jabatan enam tahun, apalagi jika masa jabatannya diperpanjang sembilan tahun.

Henry B. Mayo dalam bukunya Introduction to Democratic Theory menyatakan sistem politik yang demokratis adalah pemimpin atau wakil rakyat diawasi secara efektif oleh  masyarakat umum dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan pada prinsip kesamaan dan kebebasan politik.

Dengan ini, ketika para kepala desa menuntut perpanjangan masa jabatan, berarti mereka luput untuk memahami bahwa kontestasi politik merupakan bagian dari mekanisme pertanggungjawaban. Hal ini dikarenakan jika masa jabatan diperpanjang, maka akan menunda terjadinya pemilihan sehingga masyarakat tidak bisa dengan terbuka mengawasi dan mengevaluasi kinerja kepala desa tersebut – jika kinerjanya buruk, sudah pasti akan diganti oleh calon lainya.

Sikap para pejabat negara seperti menteri, presiden, dan fraksi-fraksi di DPR RI yang begitu saja menyetujui usul para kepala daerah ini juga patut dipertanyakan. Mengingat sedikit lagi akan ada kontestasi politik terbesar di tahun 2024. Maka tak mengherankan jika partai politik dan para aparatur desa mulai “main mata” dalam mengamankan suara menjelang Pemilu.

Bahkan, hal ini diungkapkan secara gamblang oleh Ketua Persatuan Kepala Desa (Perkasa) Kabupaten Pamekasan, Farid Afandi kepada CNNIndonesia.com. Ia menyatakan akan menghabisi partai politik yang tidak mendukung perpanjangan masa jabatan kepala desa. Dari sini dapat dipetik sebuah pertanyaan, apakah perpanjangan masa jabatan tersebut benar untuk memperbaiki pembangunan desa, atau sekedar memuaskan hasrat berkuasa yang dipermudah dengan kepentingan politik?

Gratio Ignatius Sani Beribe
Gratio Ignatius Sani Beribe
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.