Tumpang tindih antara agama dan kebudayaan akan terjadi terus-menerus, walaupun agama dan kebudayaan memiliki wilayah sendiri-sendiri. Adapun dalam hal ini, agama Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadist, kerena bersifat normatif, maka ia cenderung permanen.
Sedangkan budaya seperti yang telah dijelaskan adalah buatan manusia, karenanya ia akan selalu berkembang sesuai perubahan zaman.
Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya yang disebutkan oleh Hilman Hadikusuma tadi sebagai “kebudayaan agama”. Misalnya muncullah tari ‘saudati’, cara hidup santri, budaya menghormati kiai dan seterusnya.
Namun, pembauran Islam dengan budaya lokal harus tidak boleh terjadi, karena berarti hilangnya sifat-sifat aslinya. Islam harus tetap pada sifat Islamnya, Al-Quran harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam salat, sebab hal ini telah merupakan norma.
Sedang terjemahan Al-Quran hanyalah dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, bukan mengantikan Al-Quran sendiri.
Seterusnya, Islam tanpa menambah hukum itu sendiri, sambil tetap mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama. Hal ini bukannya upaya untuk meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma atau ajaran Islam itu dapat menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya.
Misalnya dalam membumikan ajaran Islam di Indonesia yang mulai marak sejak abad ke-14 M yakni, Garebeg Suro, garebeg mulud, gerebeng magengan, haulan, selametan, dan acara keagamaan lainnya.
Demikian pergulatan antara Islam dan budaya lokal, agar tetap tidak mengubah Islam. Adapaun tumpang tindih antara keduanya yang terjadi terus-menerus, bukan karena kekhawatiran terjadinya ketegangan antara keduannya, tapi sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang.dan