Kamis, Mei 2, 2024

Aphra Behn, Sukses Lewat Oroonoka dan The Fair Jilt

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Sebuah novel tak dapat dilepaskan dari romansa dan sejarah. Lihatlah Don Quixote, terutama jilid kedua. Ia dapat dilihat sebagai sejarah seorang pria yang terlalu mementingkan romansa.

Banyak novel-novel awal, untuk membedakan posisinya dari romansa dan untuk mempertaruhkan klaim kebenarannya, menempatkan posisinya sebagai sejarah (dan dalam beberapa bahasa, terutama Prancis dan Islandia, kata “sejarah” dan “cerita” adalah sama [histoire dan saga] ).

Aphra Behn, wanita pertama yang sukses berkarir sebagai sastrawan di Inggris (1640-1689), menempatkan novel ringkasnya (novela) Oroonoko (1688) masuk dalam kategori sejarah dengan membuktikan bahwa ia mengenal Pangeran Oroonoko selama ia tinggal di Suriname. Sebagai pengarang, ia menghubungkan fakta-fakta kehidupan sebelumnya dengan dirinya sendiri.

Banyak komentator memanfaatkan pernyataannya itu untuk melawannya—ternyata lebih banyak bukti yang mendukung ketimbang membantahnya, baik untuk mengklaim bahwa ia berbohong atau menyangkal keahliannya sebagai sastrawan. Namun demikian, kebiasaan mengklaim bahwa pengarang melaporkan kisah nyata adalah sebuah pernyataan standar para pengarang. Ini biasanya digunakan untuk mendukung klaim moral dan etika yang pada sebuah karya sastra, semisal novel.

Behn memiliki tujuan polemik khusus dalam menceritakan kisahnya, yaitu untuk mengungkap perdagangan budak antara Afrika dan Dunia Baru. Ia hanya bisa membuat percikan dengan menegaskan kebenaran ceritanya. Banyak masalah yang sama muncul 170 tahun kemudian, semisal Uncle Tom’s Cabin. Ia sangat menyadari bahwa ceritanya kontroversial, meskipun ini adalah novel pendek, tidak jelas, dan seluruhnya menjadi spesialis kaum akademisi.

Sejarah Oroonoko relatif sederhana. Seorang pangeran dari suatu suku yang berpenduduk padat dan makmur tapi hobi berperang di Afrika Barat jatuh cinta dengan seorang gadis cantik dari suku yang sama, Imoinda. Tapi gadis ini juga diincar oleh kakeknya yang juga sang raja yang menghendaki Imoinda sebagai pasangannya meskipun ia impoten. Karena alasan adat, Imoinda tidak dapat menjadi istri Oroonoko. Tetapi mereka tidak bisa saling melupakan.

Dalam suatu acara tarian adat, Imoinda tersandung ke dalam pelukan Oroonoko. Ini menimbulkan kecurigaan kakek, yang kemudian malam ia menemukan keduanya bermesraan. Karena naik pitam, raja memutuskan Imoinda dijual sebagai budak. Tidak lama kemudian, Oroonoko disekap di sebuah kapal budak menuju Dunia Baru akibat pengkhianatan kapten kapal Inggris yang telah mengundang Oroonoko ke kapal sebagai tamunya lalu mengikatnya.

Perjalanan Oroonoko berakhir di perkebunan milik Aphra Behn di Suriname. Di sana ia bersua dengan Imoinda. Behn sangat tertarik dengan cerita dan nasib kedua pasangan ini. Oroonoko dan Imoinda menikah dan hamil. Mereka ingin lepas dari perbudakan sebelum anak mereka lahir. Anaknya akan berstatus sebagai budak bila lahir sebelum mereka merdeka. Majikannya setuju tetapi berulang kali mengkhianati dan menolak untuk membebaskan keduanya. Oroonoko, yang sudah berganti nama menjadi Caesar, tampil memimpin pemberontakan melawan perbudakan. Yakin bahwa pasti akan mati, ia membunuh Imoinda dan kemudian ditangkap. Pemberontakan ini dipadamkan. Oroonoko disiksa, dibunuh, dan jasadnya dipotong-potong.

Novel Oroonoko sangat terinspirasi pada romansa itu. Behn dengan jelas membayangkan kondisi di Afrika, yang belum pernah dilihatnya, seperti kondisi di pengadilan Eropa yang rumit di mana kekuasaan, konvensi, tabu, dan intrik mendikte konsekuensi tragis dari hubungan romantis.

Manusia yang paling berharga adalah yang paling tampan dan berperawakan tinggi. Sosok Imoinda dan Oroonoko selaras dengan standarisasi nilai-nilai Eropa menyangkut laki-laki dan perempuan—cantik, penuh kasih, dan penurut bagi wanita dan tampan serta berbudi luhur buat laki-laki. Behn menggambarkan kondisi di Suriname secara orisinal dengan narasi yang luas seputar populasi warga India, pemandangan, flora, dan fauna. Ia juga menyinggung penyerahan Suriname ke Belanda.

Kisah Oroonoko terjadi sepenuhnya dalam konteks sejarah yang dapat dikenal, tetapi Oroonoko tetap menjadi pahlawan romantis. Keunikannya terlalu besar dan nasibnya terlalu dramatis untuk dirasakan oleh pembaca yang mengetahui dan memahaminya. Behn tidak menggunakan dialog—setiap adegan diberi nilai naratif sehingga suara Oroonoko dan Imoinda tidak ada dalam narasi, seperti juga suara pedagang budak Inggris dan pemilik budak.

Behn adalah seorang dramawan dan narasinya yang lain menggunakan dialog, tetapi tekniknya tidak cukup canggih dan mungkin tujuan polemiknya terlalu besar sehingga berisiko membiarkan Oroonoko berbicara sendiri, meskipun ia bersaksi bahwa ia bisa berbicara banyak bahasa sebagai tingginnya kontak orang-orang Eropa di Afrika. Namun tidak dapat disangkal, kisah yang ia ceritakan adalah kisah yang mengerikan.

Pembaca bisa merasakan kemunduran hidup yang dialami oleh Oroonoko dan Imoinda dalam upaya mereka merubah nasib mereka. Mereka yang menggenggam kekuasaan terbukti kasar dan brutal memperlakukan budak-budak mereka di Suriname dan di tempat lain. Pengkhianatan dan kebrutalan orang Inggris bakal membuat pembaca mengangguk dan percaya akan kejahatan penjajahan.

The Fair Jilt (1688) adalah kisah yang lebih tradisional, dan sebenarnya mengingatkan pada beberapa kisah gelap dari The Decameron. Miranda, seorang wanita muda yang kaya raya yang kehilangan orang tuanya, cantik tapi diam-diam suka bermesraan.

Korban pertamanya adalah seorang pemuda yan memutuskan masuk ordo Fransiskan karena kecewa kakanya telah mencuri kekasihnya dan menikahinya. Miranda menjatuhkan dirinya ke padanya, lalu menuduhnya memperkosanya ketika si pemuda menolak rayuannya. Pemuda itu akhirnya dimasukkan ke dalam penjara. Miranda kemudian jatuh cinta pada Tarquin, seseorang yang bukanlah dari kalangan berpunya tapi berpura-pura naik tahta kekaisaran Romawi. Ia benar-benar mencintainya, terlepas dari sifat jahatnya.

Mereka berkolusi untuk merampok adik perempuannya yang memiliki setengah kekayaan keluarganya. Mereka mencoba membunuhnya dua kali sehingga kekayaan iti menjadi milik Miranda. Celakanya, Tarquin diadili dan harus dipenggal, tetapi algojo meleset ketika mengayunkan pedangnya. Akhirnya Tarquin diselamatkan hanya untuk menunjukkan bahwa ia masih mencintai Miranda, meskipun ia mungkin jahat. Melalui berbagai manuver mereka terhindar dari hukuman mati, walaupun kini miskin. Mereka belajar dari pengalaman tersebut, menjalani hidup penuh damai bersama sampai mereka wafat di usia tua. Korban pertama Miranda ditebus dan dibebaskan dari penjara.

Behn tidak sepenuhnya mengeksplorasi implikasi moral dan transformasi Miranda. Seperti Boccaccio, Behn menerima keberadaan orang jahat. Ia kurang tertarik pada perbaikan moral tokoh-tokohnya dibandingkan narasi petualangan karakternya dan pengaruhnya terhadap orang-orang di sekitar mereka.  Ia bukan seorang novelis psikologis seperti rekan sezamannya Madame de La Fayette.

Behn lebih tertarik pada tindakan daripada hal-hal rasional. Baginya yang krusial adalah bagaimana pembaca mengerti bahwa setiap tindakan akan memengaruhi orang lain. Karenanya karya Behn ini layak dibaca tidak hanya untuk mereka yang punya minat sejarah tetapi juga karena untuk memperhatikan apa yang disebut keajaiban hidup. Behn tertarik pada drama yang kuat dan tidak segan-segan menggambarkan pengkhianatan kekerasan, atau mengungkapkan perasaan dan pemikiran “feminin” tentang hal itu. Karyanya betul-betul luar biasa, berani dan terkadang sangat jujur.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.