Saat kuliah di bidang teknologi informasi, saya selalu bersemangat membayangkan bahwa teknologi bisa menyelesaikan sebagian masalah manusia. Akibatnya ketika ada pengembangan seperti image recognition atau masih dalam lingkup machine learning ini saya sangat kagum.
Kekaguman itu muncul mungkin karena saya sudah merasakan betapa susahnya membuat program, seperti memahami masalah, memahami sintaks Bahasa pemrograman, membuat rancangan algoritma, dan membuat semua fungsi dalam program bisa berjalan harmonis. Jadi ketika melihat ada yang berhasil, emosi yang mendominasi adalah kekaguman.
Karena latar belakang kuliah, di masa awal pandemi, saya dulu iseng menonton drama Korea berjudul Start Up karena begitu dekat dengan pekerjaan. Tak disangka ada satu isu teknologi yang merenggut perhatian saya, yang buat saya justru lebih menarik daripada kisah romansanya. Hal itu seakan menabrak-nabrak kekaguman yang sudah saya rasakan sekian lama.
Latar ceritanya diilhami dari maraknya start-up teknologi yang membuat produk digital sebagai solusi bisnis. Tokoh utama di serial ini adalah seorang nerd yang pandai pemrograman, namun tidak punya bakat berbisnis. Singkat cerita start-up nya berhasil didanai, lalu dia mengembangkan teknologi image recognition. Teknologi itu bisa diaplikasikan untuk membantu perusahaan meningkatkan sistem keamanan kantor. Tidak disangka, salah satu perusahaan yang ingin memakai teknologi itu adalah perusahaan ayahnya.
Ayah si tokoh utamanya menjadi semacam manager untuk keamanan kantor. Hal itu membuat dia dan beberapa pegawai terancam dirumahkan atau pensiun dini karena tenaganya akan diganti dengan teknologi image recognition. Lalu, para pegawai yang terancam di-PHK berdemo di depan kantor. Demo sengaja dilakukan bertepatan dengan hari presentasi teknologi itu . Untuk meminimalisir keributan, ayahnya diundang ke ruang presentasi untuk menyampaikan pendapatnya.
Saya awalnya mengira akan terjadi keributan antara anak dan ayah. Ternyata saya salah. Ayahnya menyampaikan pikirannya tentang penggunaan image recognition sebagai pengganti manusia. Nah, di sinilah bagian yang menurut saya lebih mengharukan dan memunculkan pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini.
“Jika semua orang seperti anakku, dunia ini akan cepat menjadi tempat yang inovatif. Tapi tidak baik bergerak terlalu cepat. Kecepatan itu bisa melukai banyak orang. Kita akan banyak menyaksikan orang yang kehilangan pekerjaan dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan.”
Drama yang awalnya ditonton karena penasaran pada akhirnya memberi saya sedikit pencerahan bahwa tidak semua manusia merespon teknologi dengan antusias dan bersemangat. Bahwa penting untuk berinovasi, tapi tidak kalah penting untuk berinovasi pada kecepatan yang tepat. Kecepatan yang tidak hanya melihat canggihnya suatu teknologi, tapi juga memahami bagaimana teknologi mempengaruhi kehidupan manusia di sekitarnya.
Namun sayang sekali, isu itu hanya numpang lewat saja dan tidak ada resolusinya. Ya mungkin kurang menarik di kalangan penggemar drama Korea yang lebih suka cerita romansa. Atau bisa jadi isu itu dianggap terlalu sosialis karena biasanya salah dua tujuan penggunaan teknologi adalah untuk menghemat anggaran dan efisiensi waktu, apalagi dalam konteks pekerjaan dan bisnis.
Sebenarnya isu penerapan teknologi dalam dunia kerja, terutama bagaimana teknologi membantu (atau menggantikan sebagian) manusia, sudah dibahas sejak 1970-an dalam pendekatan yang dinamakan desain partisipatif. Menurut salah satu buku panduan desain partisipatif, pendekatan itu tidak hanya menyorot bagaimana teknologi digunakan, tetapi bagaimana manusia atau pengguna didengarkan dan dihargai pendapatnya. Saya jadi penasaran apakah pendekatan itu bisa digunakan untuk berinovasi dengan kecepatan yang tepat?