Jumat, April 19, 2024

Apa yang Bisa Kita Lakukan Terkait Diskriminasi Gender?

Meicky Shoreamanis
Meicky Shoreamanis
Dosen Universitas Pelita Harapan Linkedin @Meicky Shoreamanis

Beberapa minggu yang lalu, penulis mendapat kesempatan berbicara di depan murid kelas 10 sebuah SMA yang berlokasi di Manado. Topik yang dibahas: Isu ketidakadilan sosial termasuk diskriminasi gender yang ada di dalam karya Victor Hugo, Les Miserables.

Murid-murid tersebut kelak bertanggungjawab untuk membuat lingkungan kerja dengan konsep ramah terhadap perempuan. Mereka juga punya potensi untuk menyuarakan berbagi isu secara kreatif lewat sosial media. Maka, undangan tersebut langsung penulis sambut. Akan sangat baik jika mereka paham bahwa tindakan kita di rumah dan kelas bisa menjadi bagian dari solusi. Sebagian dari tulisan berikut  berisi bahan yang telah disampaikan kepada mereka.

Les Miserables telah diterjemahkan ke dalam 21 bahasa dan  pertunjukan musikalnya sudah ditampilkan di minimal 42 negara. Tokoh utamanya, Fantine, dipecat setelah ketahuan punya anak di luar nikah. Ia tidak diberhentikan karena kerjanya buruk. Merit system tak berlaku dalam karya yang diterbitkan tahun 1862 ini. Ironisnya, sekarang pun hal seperti ini masih berjalan.

Coba saja googling “Dipecat karena hamil atau melahirkan.” Kita akan temui Fantine versi Indonesia di berbagai perusahaan. Masih banyak pekerja perempuan yang tak mendapat hak maternal mereka yaitu  hak cuti melahirkan, perlindungan keamanan kerja selama hamil, dan juga cuti haid.

Terpinggirnya perempuan juga bisa dilihat dari gaji atau hadiah yang mereka terima di kantor atau pertandingan. Jumlahnya  sering  lebih kecil dibandingkan yang diterima pria kendati kategorinya sama.

Novak Djokovic, petenis dari Serbia, pernah berkata bahwa petenis perempuan berjuang sama kerasnya dengan petenis pria. Bagaimanapun, hadiah uang harus didistribusikan secara adil dengan memikirkan juga aspek finansial lainnya: Berapa banyak yang menonton dan memberi dukungan sponsor.

Pertandingan tenis pria biasanya ditonton lebih banyak pemirsa dibandingkan pertandingan tenis perempuan. Djokovic sesungguhnya sedang mengamini kajian feminis Marxist: Akar diskriminasi terhadap perempuan adalah kapitalisme.

Jejak diskriminasi semacam ini juga bisa dilihat saat memasukkan kata kunci ke google search. Ketiklah ‘the best guitarist in the world’ maka yang keluar adalah deretan foto gitaris pria

Jika ingin melihat wajah musisi perempuan, maka ketiklah  ‘the best female  guitarist in the world.’ Ini mungkin mengingatkan kita pada keberadaan ‘Black History Month.’ Tak ada White History Month, cukup history saja karena sejarah memang ditulis oleh pemenang.

***

Banyak orang yang kagum dengan Sri Mulyani serta Retno Marsudi. Sebagian senang dengan keputusan yang mereka hasilkan, sisanya kagum karena paham bahwa untuk bisa jadi pucuk pimpinan, perempuan sering harus berjuang jauh lebih keras daripada laki-laki.

Fenomena glass ceiling menggambarkan bahwa perempuan menghadapi hambatan tak terlihat yang membuat mereka sangat sulit untuk naik jabatan. Penyebabnya beragam: Support system di keluarga yang kurang mendukung juga konflik nilai dalam diri perempuan antara mengejar karir, tekanan masyarakat, dan naluri keibuan yang kerap membuatnya terus ingin pulang dan secepatnya bertemu anak. Selain itu ada juga isu terkait gender stereotypes dan atasan atau sistem kerja  yang tidak suportif.

Sebagian alasan di atas belum terhubung dengan keseharian hidup murid SMA. Bagaimanapun, kepekaan mereka mengenai isu gender stereotypes bisa diasah sejak dini baik di rumah maupun sekolah. Konteks kelas ini sangat penting karena di sini mereka melakukannya bersama-sama dengan teman sebaya serta guru-guru. Caranya? Ada beberapa namun perlu digaris bawahi bahwa sekolah-sekolah punya konteks yang berlainan. Jadi, ada sebagian tips  yang mungkin perlu dimodifikasi.

Salah satu cara, sebaiknya murid perempuan dan laki-laki duduk bercampur. Dalam kelas biasanya  laki-laki bergerombol dengan laki-laki demikian pula dengan murid perempuan. Saat kerja kelompok pun  sebaiknya diatur agar ada perempuan dan laki-laki di tiap grup. Pola pikir laki-laki dan perempuan yang kerap berbeda akan  memperkaya diskusi.

Murid dan guru juga perlu berhati-hati saat bicara. Hindari kalimat sexist seperti “Ibuku hanya ibu rumah tangga.” Cukup banyak perempuan  yang memutuskan untuk jadi ibu rumah tangga bukan karena ditindas suami melainkan secara sadar dengan tujuan baik. Rendahnya di mana sampai perlu disebut ‘cuma’?

Kalimat yang sama  sexistnya adalah,”Eh, anak cowok kok nangis…”. Selain itu ada ”Wah, buat ukuran perempuan, keren banget lho si Dewi bisa bikin project kayak begitu” atau “Fery kursus ballet? Ihhh…”

Saat membuat kalimat sebagai contoh, biasanya ini terjadi dalam pelajaran bahasa, guru dan murid juga punya kesempatan untuk mempromosikan kesetaraan gender. Tak apa-apa mengatakan ‘Iwan is major in Computer Science’ namun rasanya lebih baik kalau menuliskan, ’Iwan and Gaby are major in Computer Science.’

Guru juga bisa mengingatkan murid-murid agar saat  pesan kue, murid mengawali pesan dengan kalimat ‘Selamat siang Mas atau Mbak…’lalu nanti tanyakan saja,”Seharusnya panggil apa, Mas atau Mbak?” Ada lho  laki-laki bertato jadi perawat dan perempuan memimpin pembangunan  gedung  paling prestisius di dunia pada jamannya.

Hal-hal di atas terlihat remeh namun jika dilakukan berulang-ulang maka akan kuat tertanam dalam kesadaran murid dan guru. Mereka  kelak jadi peka terhadap isu-isu terkait non-traditional gender roles dan gender stereotypes.

Namun, murid perempuan juga harus diingatkan untuk berpikir cermat saat bergulat dengan isu diskriminasi gender atau kesetaraan gender. Setara, bukan sama. Perempuan punya kelebihan yang tak dimiliki laki-laki dan sebaliknya. Laki-laki butuh perempuan dan sebaliknya.

Jika perempuan tak didorong untuk bersikap kritis, mereka bisa berkembang jadi feminis radikal yang akhirnya melahirkan diskriminasi gender versi lain: Merendahkan laki-laki bahkan membenci mereka.

Padahal, di masa depan murid laki-laki dan perempuan harus bergandengan tangan untuk menciptakan dunia yang ramah terhadap perempuan.  Sekolah harus mendorong guru untuk mempromosikan kesetaraan gender agar murid-murid saat dewasa bisa bergerak dalam skala yang lebih luas.

Misal, saat mendirikan perusahaan, mereka bisa mengeluarkan kebijakan untuk memberi cuti  karyawan yang  istrinya melahirkan. Mereka kelak juga bisa mengeluarkan kebijakan baby cash (pekerja yang baru saja punya anak diberi perhatian berupa  uang tunai), tempat penitipan anak di  dekat tempat kerja, dan lain-lain.

Impian kita untuk melihat masyarakat yang adil mungkin tak akan pernah tercapai. Namun, kelas adalah miniatur masyarakat. Guru dan murid, seperti semua profesi lainnya, silahkan saja memulai langkahnya  dari lingkup mikro. Kita kerjakan saja apa yang jadi bagian kita. Begitu bukan?

Meicky Shoreamanis
Meicky Shoreamanis
Dosen Universitas Pelita Harapan Linkedin @Meicky Shoreamanis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.