Kamis, April 25, 2024

Apa Benar Pendidikan Tinggi Harus Sesuai dengan Kebutuhan Industri?

Muhammad Ifan Fadillah
Muhammad Ifan Fadillah
Kolektif di Komunal Nokturnal dan Saat ini Sibuk Jadi Pekerja Barang Dagangan

Seringkali, kita mendengar pembicaraan di sekeliling kita, bahwa menjadi mahasiswa adalah untuk menjadi tenaga kerja dalam relasi upahan, agar bisa memenuhi kebutuhan industri.

Bahkan hal ini juga datang langsung dari pemerintah Indonesia. Dimulai dari pernyataan Joko Widodo pada saat membuka konferensi virtual Forum Rektor Indonesia. Presiden Jokowi menekankan jika perlunya kampus bekerja sama dengan industri dalam hal pembukaan fakultas atau departemen agar keilmuan mahasiswa akan dekat dengan  industri.

Di tempat yang sama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadim Makarim mengatakan pemerintah Indonesia saat ini berupaya membantu agar bisa memfasilitiasi kerja sama antara kampus dan industri. Nadiem juga menekankan kerja sama ini tidak akan bisa tercapai jika hanya melalui regulasi, maka dari itu usaha lain dari pemerintah Indonesia adalah dengan memberikan insentif bagi pendidikan vokasi dan juga dibuatnya inovasi terbaru yakni kampus merdeka.

Bahkan pernyataan lebih tegas datang dari Menter Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy, ia secara lantang mengatakan indutsri saat ini lebih banyak membutuhkan mahasiswa lulusan program studi sains, tetapi nyatanya saat ini Indonesia, perguruan tinggi lebih banyak menyediakan jurusan dalam bidang sosial.

Seketika muncul pertanyaan, apakah memang orientasi pendidikan selalu dihadapkan dengan bekerja dalam relasi upahan di berbagai industri? Perlu menjadi catatan bahwa pendidikan kita erat kaitannya dalam corak ekonomi kapitalistik, dimana mekanisme pasar dan relasi upahan adalah cirinya. Seakan-akan di sepanjang sejarah umat manusia, pasti akan selalu ada orang yang akan diberikan upah, logika inilah yang digunakan dalam konteks pendidikan tinggi di indonesia saat ini dalam relasinya untuk bekerja di industri,

Bahkan di kalangan masyarakat umum banyakk mengatakan bahwa  kita semua tida akan pernah lepas  dari kerja dalam relasi upahan, seakan-akan relasi upahan ini sudah ada sejak bumi ada dan akan selalu  ada.  Padahal jika kita belajar dari sejarah, kita dapat mengetahui bahwa bekerja dalam relasi upah hanya ada di dalam salah satu tahapan sejarah, ingat tahapan sejarah bukan di sepanjang sejarah manusia. Tidak percaya? Mari kita buktikan.

Salah Kaprah Melihat Kerja Upahan 

Dalam struktur ekonomi produksi kapitalistik, ada dua kelas yang saling berlawanan, ialah kelas kapitalis (pemilik sarana produksi) dan kelas proletariat (kelas yang tidak memiliki apa-apa, selain dari tenaga kerjanya). Seperti disinggung sebelumnya kalau jika kita hanya memikirkan bahwa bekerja untuk mendapatkan upah, sebagai konsekuensi logis karena kita hanya mempunyai tenaga kerja termasuk didalamnya pengetahuan dan skil, maka kita akan termasuk kelas proletariat.

Dalam sejarahnya penting menjadi catatan bahwa kedua kelas ini dalam ranah produksi itu tidak lahir dari awal dunia ini ada, tetapi hanya sebagai kelas yang ada dalam siistem kapitalisme. Dalam tulisan Lenin dimuat di Marxis.org yang berjudul “Tiga Sumber dan Tiga Komponen Marxisme”, Lenin menjelaskan bahwa kapitalisme menjadi corak produksi dominan karena salah satu prasyaratnya adalah modal yang ada dalam produksi skala besar, menggantikan petani kecil jatuh dan berantakan disebabkan karena kalah bersaing dengan produksi skala besar, seperti dikatakan lenin dibawah ini:

“Modal, yang sebenarnya terbentuk dari hasil kerja para pekerja, justru menghantam para pekerja, memporakporandakan para pemilik modalkecil dan menciptakan barisan pengangguran. Dalam bidang industri, kemenangan produksi berskala besar segera tampak, tetapi gejala yang sama juga dapat dilihat pada bidang pertanian, di mana keunggulan pertanian bermodal besar semakin dikembangkan. Penggunaan mesin-mesin pertanian ditingkatkan, mengakibatkan ekonomi para petani kecil terjebak oleh modal-uang, kemudian jatuh dan hancur berantakan disebabkan teknik produksi yang kalah bersaing. Penurunan produksi berskala kecil mengambil bentuk-bentuk yang berbeda dalam bidang pertanian, akan tetapiproses penurunan itu sendiri merupakan suatu hal yang tidak terbantahkan”

“Dengan menghancurkan produksi berskala kecil, modal mendorong peningkatan produktivitas kerja dan menciptakan posisi monopoli bagi asosiasi kapitalis besar. Produksi itu sendiri menjadi semakin sosial – ratusan ribu, bahkan jutaan pekerja di-ikat dalam suatu organisme ekonomi reguler – tapi hasil dari kerja kolektif ini dinikmat ioleh sekelompok pemilik modal. Anarki produksi, krisis, kekacauan harga pasaran, serta ancaman terhadap sebagian terbesar anggota masyarakat, semakin memburuk”.

Inilah yang bisa menjadi salah satu asal usul adanya sistem kapitalisme dimana orang-orang yang tidak lagi bekerja dalam bidang pertanian harus menjadi pekerja (kelas proletariat) ini juga sebagai pembuktian bahwa bekerja dalam relasi upahan yang dialami saat ini, hanya ada dalam tahapan sejarah bukan di sepanjang sejarah. Seperti yang dikatakan baginda Marx di suratnya yang ditujukan ke J. Weydemeyer,  dalam tulisan yang ditulis Joge Martin berjudul “David Harvey against revolution: the bankruptcy of academic Marxism”. Marx  menulis:

“[Bagi saya sendiri, tidak ada penghargaan karena menemukan keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat modern ataupun perjuangan di antara mereka. Jauh sebelum saya, para sejarawan borjuis dan para ekonom borjuis telah menggambarkan perkembangan historis perjuangan kelas ini.

Apa yang saya lakukan yang baru adalah untuk membuktikan: (1) bahwa keberadaan kelas hanya terikat dengan fase historis tertentu dalam pengembangan produksi ( historische Entwicklungsphasen der Production ), (2) bahwa perjuangan kelas harus mengarah pada kediktatoran dari proletariat, (3) bahwa kediktatoran ini sendiri hanya merupakan transisi menuju penghapusan semua kelas dan ke masyarakat tanpa kelas ”( Marx to J. Weydemeyer di New York, 5 Maret 1852).

Pendidikan yang Membebaskan

Untuk itu sudah saatnya, dalam kepala kita, dan juga harusnya pemerintah Indonesia tidak lagi hanya berisi bahwa tujuan lulus sekolah atau perguruan tinggi adalah bisa bekerja dalam industri, apalagi jika kita menganggap kalau ini akan selalu ada dari zaman nabi Adam, sampai kiamat datang. Tujuan pendidikan adalah pembebasan atas kondisi ekspolitasi dalam ranah pra produksi ataupun di ranah produksi (Eksploitasi/Pengambilan nilai lebih)

Penting menjadi catatan pernahka kita berpikir bahwa mengapa perusahaan (cita-cita menjadi tempat kerja), hanya membayarkan upah kita di dalam ranah produksi? Tetapi tidak memikirkan alih-alih membayarkan hasil jerih payah kita saat sebelum bekerja (biaya pendidikan misalnya)  untuk meningkatkan skill dan pengetahuan yang digunakan oleh para bos-bos kita tempat kita bekerja nanti, sebagai cara untuk memperkaya dirinya atau para kroninya. Walaupun, ada beberapa perusahaan yang memberikan beasiswa pendidikan, tetapi tetap saja ada tujuan terselubung dibalik itu.

Ayo saat ini kita memulai mengubah paradigma melihat pendidikan dan orientasi pendidikan!

Muhammad Ifan Fadillah
Muhammad Ifan Fadillah
Kolektif di Komunal Nokturnal dan Saat ini Sibuk Jadi Pekerja Barang Dagangan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.