Kasus perceraian di Indonesia terus melonjak dari tahun ke tahun. Dilatarbelakangi oleh banyak sekali faktor. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu faktor yang mendasari terjadinya perceraian, yang mana kasus ini sedang hangat-hangatnya diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia belakangan ini. Apalagi kasus KDRT pernah menjadi trend pada masa pandemi akibat menurunnya perekonomian.
Para korban yang merasa dirugikan berbondong-bondong menuju pengadilan demi mencari keadilan. Tak sedikit pula yang gagal speak up karena tidak berdaya dengan keadaan.
Rata-rata korban yang tidak berani melapor berasal dari masyarakat dengan perekonomian menengah kebawah yang memiliki ketergantungan ekonomi terhadap suami-suami mereka. Alhasil, hanya menahan dan terus menelan pil pahit atas kejahatan yang dilakukan oleh sang suami. Disamping ada juga yang memilih bertahan dengan alasan masa depan anak-anak.
Perlindungan terhadap korban KDRT sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Warga negara Indonesia dalam hal kasus KDRT harus saling bahu-membahu menegakkan hukum yang berlaku. Dimulai dari keluarga atau kerabat dekat, aparat kepolisian, kejaksaan, advokat/penasehat hukum, hingga lingkungan harus lebih peka dan senantiasa mendukung korban KDRT.
Pertama, peran keluarga atau kerabat dekat sangat diperlukan oleh korban KDRT yang tertekan dan tidak ingin melapor. Keluarga atau kerabat dekat tidak harus mendapat persetujuan dari korban untuk melaporkan tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh pasangan korban. Sebab, jika dibiarkan terus-menerus akan berakibat fatal pada fisik dan psikis korban. Jangan sampai baru melapor setelah terdapat luka yang parah pada korban atau bahkan sampai meregang nyawa korban.
Kedua, aparat penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan dan advokat harus sigap menanggapi kasus KDRT. Aparat penegak hukum dapat terjun ke masyarakat untuk memberikan arahan dan sosialisasi apabila di kemudian hari terjadi kasus KDRT di masyarakat, langkah awal apa yang dapat dilakukan berikut pencegahannya. Sehingga masyarakat dapat mengimplementasikannya di kehidupan apabila suatu saat terjadi hal tersebut. Diketahui bahwa KDRT merupakan delik aduan, jadi aparat penegak hukum harus segera mungkin memproses pengaduan yang masuk dan segera menyelidiki kasus agar segera terselesaikan dan korban memperoleh hak-haknya.
Ketiga, lingkungan sekitar tempat tinggal korban juga harus berani melapor apabila kedapatan saudara atau tetangga mengalami kasus KDRT dengan mengumpulkan bukti terlebih dahulu seperti rekaman saat kekerasan terjadi. Orang-orang di lingkungan sekitar juga harus mau menjadi saksi di persidangan untuk membantu korban memperjuangkan hak-haknya.
Perlu dipahami oleh semua pihak bahwa KDRT bukanlah aib atau persoalan privat dalam rumah tangga saja melainkan sudah masuk dalam ranah tindak pidana. Pelaku KDRT sudah sepantasnya mendapat hukuman yang setimpal dan tidak seharusnya dilindungi dengan tidak dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Dengan masih banyaknya kasus KDRT yang tidak dilaporkan, itu berarti belum sempurnalah kita sebagai warga negara Indonesia karena belum berhasil menegakkan keadilan di negara ini.
Kasus KDRT merupakan kasus yang memiliki pola berulang. Pelaku KDRT pasti akan melakukan kekerasan yang sama atau bahkan lebih parah suatu saat nanti. Ini yang perlu diwaspadai oleh korban yang tidak segera melaporkan tindak kekerasan tersebut. Pemicu pelaku melakukan KDRT salah satunya disebabkan oleh budaya patriarki.
Faktor budaya patriarki hingga saat ini juga masih melekat di masyarakat Indonesia dimana laki-laki dianggap lebih berkuasa diatas wanita sehingga seorang laki-laki dapat dengan seenaknya memperlakukan wanita dengan sewenang-wenang.
Sebagai masyarakat yang hidup di zaman modern ini hendaknya kita berpikiran terbuka (open minded). Kedudukan pria dan wanita itu sama dihadapan hukum. Terlebih kita berada di bawah naungan negara hukum. Didalam pasal Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan juga telah disebutkan bahwa “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”. Sehingga budaya patriarki seharusnya sudah tidak berlaku di era saat ini. Tetapi pada kenyataannya di masyarakat masih menganut budaya tersebut.
Terkait faktor ekonomi yang masih menjadi persoalan penting di negara ini, hendaknya pemerintah jeli melihat permasalahan KDRT dengan tidak menganggapnya sepele. Para wanita juga membutuhkan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan skill sehingga dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Dengan demikian mereka tidak perlu bergantung pada penghasilan suami mereka saja.
Di sisi lain, wanita yang berani melaporkan tindak KDRT yang telah dilakukan oleh suaminya merupakan bentuk tindakan yang patut diacungi jempol. Tindakan berani melaporkan suami sendiri kepada aparat ialah tindakan yang pasti sulit dilakukan.
Sebagai seorang wanita yang berada di posisi menjadi korban KDRT sudah sepatutnya mengesampingkan masalah hati. Memikirkan dampak jangka panjang juga harus dipertimbangkan. Tidak seharusnya anak-anak melihat kekerasan yang dilakukan ayah terhadap ibunya karena akan berdampak pada tumbuh kembang anak nantinya. Anak yang mempunyai masa lalu kelam cenderung akan melakukan perbuatan yang sama seperti ayahnya di kemudian hari.
Alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk keluar dari kekerasan yang berkelanjutan yaitu dengan mengajukan gugatan cerai oleh istri. Suami yang sudah berani menganiaya dan menyakiti tidak pantas menjadi pasangan hidup. Terlebih menurut pakar psikologi Ikhsan Bella Persada M.Psi., beliau berpendapat bahwa pelaku KDRT sangat sulit atau bahkan tidak mungkin menghilangkan kebiasaan KDRT yang mereka lakukan.