Antara sejarah dengan sastra memiliki hubungan paradoks di mana sejarah dapat menjadi sumber sastra, dan sastra dapat menjadi sumber sejarah. Dalam hal ini, hubungan di antara keduanya menjadi sangat dekat. Jika ditinjau dari pandangan lain, antara sejarah dan sastra merupakan dua hal yang berbeda.
Sejarah bersifat faktualitas, artinya semua yang tertulis dalam sejarah dapat dibuktikan kefaktaannya melalui penelitian sejarawan. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan sastra yang cenderung bersifat fiksionalitas. Oleh karena itu, terjadi hubungan paradoks di mana sejarah dan sastra adalah dua hal yang dekat tapi jauh.
Sastra merupakan salah satu sumber belajar sejarah. Contohnya pada novel sejarah yang memperlihatkan sejarah melalui kehidupan para tokoh. Walaupun sastra cenderung dikenal dengan kefiksiannya, bukan berarti sastra hanya berisi segala pernyataan atau pikiran yang berasal dari pikiran pengarang saja. Sastra juga bisa menjadi media belajar, salah satunya dalam mempelajari sejarah. Selain memiliki nilai hiburan dan nilai estetika, terdapat nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalamnya. Itu semua bisa kita dapatkan dari novel sejarah.
Politik dan Sastra
Politik dan sastra, terdengar seperti dua hal yang sama sekali tidak berhubungan. Antara politik dengan sastra memanglah subjek yang mengkaji permasalahannya masing-masing. Namun, terdapat permasalahan yang berkesinambungan terhadap dua subjek tersebut. Ketika mempelajari sejarah sastra Indonesia, kita akan mengetahui periodisasi kesusastraan yang terjadi. Di antara periode-periode kesusastraan tersebut, muncul politik sastra yang terjadi pada periode angkatan 66.
Karya sastra merupakan hasil konstruksi dari pemikiran sastrawan yang dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan masyarakat maupun latar belakang sastrawan itu sendiri. Suasana politik yang penuh gejolak di tahun 1950-1965 memunculkan sastra politik, yaitu karya-karya yang berisi pandangan-pandangan mengenai politik. Melalui karya sastra tersebut, para sastrawan menginterpretasikan gagasan politik atau nilai-nilai ideal mengenai kehidupan sosial sebagai opini masyarakat terhadap kondisi politik pada masa itu.
Lekra dan Manikebu
Gerakan perlawanan terhadap politik mempengaruhi paham sastra pada masa itu yang menyebabkan terjadinya konflik antara kelompok aliran sastra. Para sastrawan yang tidak menjadi bagian dari ke dua paham sastra tersebut adalah mereka yang memilih tetap pada posisi netral.
Di antara kelompok-kelompok tersebut, perdebatan antara aliran sastra Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) adalah yang paling runcing. Hal tersebut dipengaruhi oleh polarisasi sosial-politik antara golongan komunis dan non-komunis yang terjadi di Indonesia.
Lekra identik dengan PKI karena berorientasi pada paham realisme atau politik kiri, di samping fakta bahwa pendirinya adalah pimpinan partai politik PKI. Lekra melakukan penyerangan terhadap sastrawan yang menentang atau tidak bersedia mendukung PKI. Konflik yang terjadi antara Lekra dengan para sastrawan semakin memuncak ketika Manifes Kebudayaan muncul dan mendapat dukungan dari para sastrawan yang menandatangani Manifes Kebudayaan tersebut.
Sebagai bentuk pemberontakan, Lekra menyerang segala yang berhubungan dengan Manifes Kebudayaan menggunakan kekuasaan dalam pemerintahan serta media yang telah mereka kuasai. Hal ini menjadi penyebab munculnya pelarangan Manifes Kebudayaan yang diumumkan oleh Soekarno.
Antara Sejarah, Politik, dan Sastra
Novel adalah karya sastra berbentuk prosa. Ciri khas yang dapat ditemui pada novel adalah plot atau jalan ceritanya yang kompleks. Karena jalan cerita yang terdiri dari berbagai permasalahan, membaca novel dapat mengembangkan daya intelektual dan emosional bagi pembaca. Salah satunya adalah novel berjudul “Pulang” karya Laela S. Chudori. Melalui novel bertema perjuangan tersebut, pengarang menjadikan sejarah sebagai kehidupan para tokoh yang disisipkan konflik politik sesuai latar waktu dan tempat.
Nilai Sejarah dalam Novel “Pulang”
Laela S. Chudori, sastrawan yang sudah menggeluti dunia kepenulisan sejak usia dini. Karya-karyanya seperti “Sebuah Kejutan”, “Empat Pemuda Kecil”, dan “Seputih Hati Andara” berhasil diterbitkan ketika usianya baru menginjak dua belas tahun. Pada tahun 2012, beliau menciptakan novel “Pulang” dengan genre fiksi sejarah dan fiksi politik. Dalam novel tersebut, pengarang mengaitkan tiga peristiwa sejarah yang melanda Indonesia yaitu: G 30 S/PKI 1965, revolusi Prancis Mei 1968, dan kerusuhan Mei 1998.
Dalam menulis novel “Pulang”, Laela menggunakan alur maju atau progresif. Dimulai dari peristiwa penangkapan orang-orang yang terlibat atau berhubungan dengan PKI pada tahun 1968. Masih dalam tahun yang sama, pengarang juga menjadikan Gerakan Mei 1968 Prancis sebagai latar waktu. Gerakan Mei 1968 Prancis adalah serangkaian gerakan mahasiswa di Prancis, dan disebut sebagai revolusi Prancis. Kemudian latar maju lima tahun ke depan yaitu pada tahun 1998 di mana masyarakat dan mahasiswa bersatu untuk menuntut Presiden Soeharto agar lengser dari jabatannya. Kejadian ini dikenal sebagai masa reformasi yang ditandai oleh banyaknya tragedi seperti penembakan mahasiswa, pemerkosaan, penjarahan, krisis ekonomi, dan peristiwa anarkis lainnya.
Walaupun sempat memakan banyak korban, beberapa mahasiswa berhasil melengserkan rezim Presiden Soeharto. Kejadian-kejadian tersebut merupakan nilai-nilai sejarah yang bisa kalian temukan pada novel “Pulang”.
Konflik Politik dalam Novel “Pulang”
Pada novel “Pulang” terdapat dua macam organisasi yaitu organisasi yang ingin merebut kekuasaan (PKI, Lekra, wartawan Kantor Berita Nusantara, Partai Sosialis Indonesia, Masjumi, SBBT, Gerwani, dan FORKOT) dan organisasi yang mempertahankan kekuasaan (prajurit tentara, intelijen, dan inteorgator). Strategi politik yang dilakukan para tokoh dalam novel tersebut adalah dengan perjuangan terbuka dan perjuangan tertutup, pergolakan di dalam rezim dan perjuangan mengontrol rezim, serta kamuflase.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan jika sastra memiliki keterkaitan dengan sejarah dan politik. Walaupun terlihat seperti tiga subjek yang bertolak belakang, namun jika dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan hubungan di antara ketiganya. Sastra dapat menjadi sumber belajar sejarah, dan melalui sejarah juga kita dapat mengetahui permasalahan atau konflik politik yang terjadi di masa lalu. Kedua poin tersebut bisa kalian temukan pada novel “Pulang” karya Laela S. Chudori.
Daftar Pustaka
Latief, Azhari Muhammad. Politik Sastra: Konflik Aliran Sastra Antara Lembaga Kebudayaan (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) 1950-1965. Jurnal Universitas Sumatera Utara. 2018.
Nurdiansyah, Dio Mohamad. Nilai Sejarah Dalam Novel Pulang Karya Laela S. Chudori dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2015.
Tyas, Khusnul Khotimah Mustikaning. Penggunaan Sejarah sebagai Sumber Belajar Sejarah. Jurnal PENDIDIKAN SEJARAH. 7(2). 2018. 85-103.