Nama H. M. Rasjidi dan Harun Nasution pastilah sudah akrab di telinga kita khususnya mereka yang mungkin bergumul dalam dunia pemikiran Islam di Indonesia. Keduanya memiliki persamaan antara lain hidup dan berjuang di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia.
H. M. Rasjidi sempat menjadi anggota delegasi ke Mesir bersama H. Agus Salim, sedangkan Harun Nasution saat itu adalah mahasiswa di Mesir yang juga berjuang bersama kawannya menyebarkan informasi kemerdekaan Indonesia kepada publik Mesir saat itu. Jadi keduanya memang bertemu pertama kali di Mesir.
Dalam pendidikannya, keduanya sama-sama pernah belajar di Mesir hingga Eropa. Sekembalinya mereka ke Indonesia keduanya menjadi guru besar, H. M. Rasjidi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sedangkan Harun Nasution menjadi guru besar IAIN Jakarta.
Keduanya juga sama-sama pernah terlibat dengan McGill University, saat itu H. M. Rasjidi sebagai guru besar Study Islam, sedangkan Harun Nasution atas rekomendasi Rasjidi bisa belajar dan mendapat gelar MA dan Ph.D di sana.
Hal ini dituliskan sendiri oleh H. M. Rasjidi dalam suatu tulisannya dalam kumpulan karya untuk 70 Tahun Harun Nasution, “Di McGill University, saya memberikan pelajaran hukum Islam dan sejarah, di samping aktif mengikuti berbagai seminar yang diadakan oleh Universitas. Posisi saya waktu itu memang sedang baik.
Waktu itulah saya mempromosikan Harun Nasution untuk belajar di McGill University. Pertimbangan saya waktu itu sederhana saja. Saya membutuhkan teman di Kanada, karena saya seorang diri.” (H. M. Rasjidi, Antara Saya dan Harun Nasution, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Harun Nasution: 70 Tahun Harun Nasution)
Namun dibalik keakraban keduanya, H. M. Rasjidi adalah orang yang paling keras dalam mengkritik Harun Nasution. Pada tahun 1975 sebuah buku berjudul “Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” dituliskan Rasjidi untuk membantah pemikiran Harun Nasution yang dianggap membahayakan untuk eksistensi umat Islam. Saat itu Harun Nasution yang menjadi rektor IAIN Jakarta menerbitkan buku berjudul “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” untuk digunakan sebagai bahan rujukan mata kuliah Pengantar Agama Islam dan Filsafat di IAIN se-Indonesia. H. M. Rasjidi yang merasa khawatir pun akhirnya mengirim laporan dan kritikan atas buku itu kepada Kementrian Agama RI, hanya saja tidak mendapat tanggapan sehingga dia menerbitkan buku ini secara umum.
Tentang koleganya itu, H. M Rasjidi mengatakan, “Di antara mereka yang terpengaruh dengan cara berpikir orientalisme yang merugikan Islam adalah teman saya sendiri, Dr. Harun Nasution, yang saya bantu untuk datang ke Kanada pada 1963. Beliau mendapat M.A pada 1965 dan Ph.D pada 1968 sebagai putra Indonesia pertama yang mendapat gelar tersebut. Akan tetapi, cara berpikir beliau serta konsepsi beliau tentang Islam sangat merugikan kepada Islam di Indonesia sehingga perlu dikoreksi.” (H. M. Rasjidi, 1975: 7)
Bukan hanya Harun Nasution, tokoh UIN Jakarta lainnya yang ia kritik adalah Nurcholish Madjid (Cak Nur). Sebuah buku berjudul “Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid Tentang Sekularisasi” dia tuliskan untuk membantah pemikiran mantan ketua umum PB HMI dan pendiri Universitas Paramadina itu.
Namun dalam dunia akademis, adalah hal yang wajar adanya perbedaan pendapat, apalagi jika saling membantah secara ilmiah disertai argumen yang kuat. Inilah yang dilakukan oleh H. M. Rasjidi, dia tidak serta merta menuduh Harun Nasution atau Cak Nur tanpa bukti, apalagi sekedar cibiran semata, melainkan Rasjidi mengkritik dan membantah mereka dengan ilmiah dan ketajaman argumennya.
Hal ini pun diakui oleh Prof. Azyumardi Azra ketika mengomentari analisa Rasjidi pada buku koreksinya untuk Cak Nur, “Buku ini dalam banyak segi mencerminkan keahlian Rasjidi dalam banyak bidang. Ia dengan fasih menutip argumen-argumen keagamaan, filosofis, sosiologis, dan historis guna membuktikan ‘kekeliruan’ Nurcholish”. (Azyumardi Azra, H. M. Rasjidi, BA; Pembentukan Kementrian Agama dalam Revolusi, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik)
Dengan keluasan pemikiran dan kejujuran intelektualnya ini, H. M. Rasjidi bukan hanya dikagumi oleh kawan dan pendukungnya melainkan mendapat tempat dan penghormatan pula di sisi lawannya.
Cak Nur sendiri dalam karyanya mengenang 70 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasjidi menulis, “Salah satu citra kuat Pak Rasjidi ialah intelektualisme, dalam arti bahwa beliau seorang yang sangat terpelajar dan memiliki etos keilmuan yang tinggi. Citra itu telah membuat Pak Rasjidi tampil antara lain sebagai the guardian dunia pemikiran Islam Indonesia yang selalu cemas bila melihat gejala penyimpangan atau penyelewengan dalam kegiatan intelektualnya itu.
Citra itu juga mendorong beliau untuk menjadi tokoh yang amat polemis. Di antara puncak-puncak ekspresi intelektual Pak Rasjidi ialah yang beliau tulis sebagai koreksi, kritik, atau bantahan yang ditujukan kepada beberapa orang baik dari dalam kalangan Islam sendiri ataupun dari kalangan luar kelompok itu.
Dalam hal ini orang hanya harus mengingat tulisan Pak Rasjidi yang ditujukan kepada Warsito, Pak A. Mukti Ali, Pak Harun Nasution, saya sendiri, dan lain-lain. Orang bisa berbeda-beda tanggapan dan pandangan terhadap isi tulisan-tulisan polemis Pak Rasjidi itu baik dalam terma negatif maupun terma positif. Namun barangkali orang tidak bisa atau lebih tepatnya tidak berhak mempersoalkan niat Pak Rasjidi yang ikhlas dan maksudnya yang baik dari sudut pandangan pribadi beliau.
Justru pada tulisan-tulisan Pak Rasjidi itu kita bisa merasakan denyut nadi seorang tua yang diliputi kekhawatiran dan concern yang sejati terhadap perkembangan intelektualisme Islam di Indonesia.” (Nurcholish Madjid, Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia, dalam karyanya untuk 70 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasjidi)
Uniknya lagi, Harun Nasution, orang yang dikritik keras oleh H. M. Rasjidi kelak menjadi penasehat tim pembuatan karya kenangan 70 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasjidi, begitu pun Cak Nur menjadi anggotanya. Begitu pula saat pembuatan karya kenangan 70 Tahun Harun Nasution, H. M. Rasjidi yang saat itu sudah berusia lanjut masih menyempatkan diri untuk menuliskan kenangannya bersama Harun Nasution.
H. M. Rasjidi, Harun Nasution, dan Nurcholish Madjid adalah tokoh cendekiawan muslim yang bukan hanya dikenal di Indonesia, tapi di tingkat internasional pun nama mereka diperhitungkan. Ketiganya memiliki pemikiran yang bertolak belakang, namun mereka mengajarkan suatu etika yang baik sebagai seorang cendekiawan muslim. Ketiganya saling membantah dan berargumen dengan wawasan yang mereka miliki.
Ketidaksetujuan antara mereka diungkapkan dengan etika akademik yang baik membuat kawan hingga lawannya yang dikritik itu terkagum akan kecerdasan mereka. Dialektika keilmuan benar-benar terjaga dan berjalan dengan baik. Bukan diekspresikan dengan tuduhan tanpa butki, atau bahkan sekedar cibiran atau cacian semata. Ini menjadi suatu pelajaran bagi kita umat Islam di Indonesia bagaimana kita mesti bersikap dan bertindak, di tengah keberagaman etnis, budaya, dan agama, tentunya akan menghasilkan beragam pemikiran.