Kamis, Maret 28, 2024

Antara Minang Dulu dan Minang Kini

Riyan Betra Delza
Riyan Betra Delza
Ketua DPP IMM

Ranah Minang akhir-akhir ini sering menjadi perbincangan hangat publik. Tak jarang tokoh-tokoh Nasional mengangkat “isu minang” dalam pernyataannya. Sebut saja misalnya Megawati Soekarno Putri.

Ketua Umum Parpol terbesar di Indonesia ini pernah mengatakah bahwa ada berbedaan yang sangat signifikan antara Minang dulu dengan Minang kini.  Sumatera Barat tidak lagi melahirkan tokoh sekaliber pendahulunya. Hal ini disampaikan Presiden ke-5 Indonesia itu dalam kesempatan webinar yang diselenggarakan oleh Badan Kebudayaan Nasional Pusat (BKNP) dengan mengusung tema tokoh Mohammad Hatta (12/8).

“Dulu saya tahunya tokoh dari Sumatera Barat, kenapa menurut saya (sekarang) tidak sepopuler dulu …, padalah Sumatera Barat sebelum kemerdekaan sampai setelah merdeka sampai selesai juga Bung Karno (sebagai presiden) itu kan tokoh-tokohnya luar biasa, ya.”

Saya pikir ini sebuah kritik yang perlu ditangkap dengan lapang dada, sembari merenungkan; mengapa Tanah Minang yang dulunya melahirkan tokoh-tokoh nasional kini mulai redup? Namun, bukan berarti tidak ada. Buya Ahmad Syafii Maarif misalnya, satu diantara guru bangsa yang lahir dari ranah Sumpur Kudus, Sumatera Barat.

Kontribusi Tokoh Minang

Jika berbicara peran kebangsaan, sebagai bentuk komitmen atas bangsa Indonesia yang lahir dari tanah Minang, akan kita temui nama-nama seperti Mohammad Hatta, Agus Salim, Mohammad Yamin, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Hamka dan lain sebagainya.

Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin misalnya, menjadi perwakilan tokoh Sumatera Barat sebelum kemerdekaan. Mereka adalah kaum intelektual (cerdiak pandai) sekaligus memiliki paham keindonesiaan dan keislaman yang mendalam.

Mohammad Yamin misaalnya, sejak kongres pemuda 1 tahun 1926 telah mengumandangkan pentingnya bahasa kesatuan. Muhammad Yamin mengusulkan bahasa melayu sebagai bahasa kesatuan.

“Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa bahasa Melayu lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan dan bahasa persatuan yang ditentukan untuk orang Indonesia. Dan kebudayaan Indonesia masa depan akan mendapatkan pengungkapannya dalam bahasa itu,” demikian pidato Yamin, dikutip dari buku Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru (2003) (kompas.com).

Begitu juga Mohammad Hatta, telah melakukan pergerakan menyuarakan kemerdekaan sejak menjadi pelajar di negeri Belanda. Nalar pergerakannya semakin tajam saat beliau dipilih menjadi ketua Perhimpunan Indonesia yang menyuarakan sebagaimana buletin koran yang dibesut organisasi PI ‘Indonesia merdeka’. Sepulang ke Indonesia, beliau menghabiskan energinya untuk mendorong Indonesia merdeka.

Beliau merupakan ahli ekonomi. Satu di antara hasil besutannya adalah mengenai Demokrasi Ekonomi. Perwujudannya dalam UUD 1945 sebagai asas kekeluargaan, dan model perekonomian berdasarkan koperasi. Inilah wujud dari pemikir, kaum cerdik pandai dari Tanah Minang.

Kondisi saat ini

Saya tidak pesimis, namun tetap optimis. Setiap daerah tentu akan tetap melahirkan tokoh-tokoh nasional. Begitu juga dengan Sumatera Barat. Namun demikian, kritik yang dilayangkan oleh ibu Mega harus menjadi cambuk kebangkitan kaderisasi kaum intelektual dari ranah Minang.

Dalam resonansinya, di harian Republika, Buya Syafii mengutarakan data Badan Nasional Narkotika (BNN) provinsi, penggunan Narkotika (2018) telah mencapai 66.612 jiwa di Sumatera Barat. Begitu juga dengan kasus HIV/AIDS yang mencapai lebih daro 18.000 jiwa. Ini merupakan suatu ancaman bagi masa depan.

Belum lagi, beberapa aturan yang dilahirkan untuk mengedepankan simbol. Sebagaimana misalnya wacana Daerah Istimewa Minangkabau (DIM) dan Perda-perda atas nama syariah. Yang menurut penilaian Buya Syafii, tidak menyelesaikan persoalan, bahkan dapat memperkeruh suasana.

Sejalan dengan buya, tentu saya menghendaki bahwa praktik dari nilai kebangsaan ini hatus kembali pada upaya-upaya substantif yang dilakukan para pendahulu bangsa dari Tanah Minang. Mementingkan isi dari pada bungkus, filsafat garam jika meminjam istilah Mohammad Hatta. Tidak tampak tapi memberi rasa.

Membumikan Filosofi Minang

Adapun jalan yang harus ditempuh agar masa depan Tanah Minang meraih kegemilangan. Tentu kita harus berfikir keras bagaimana generasi Muda di Tanah Minang harus kokoh dalam pemikiran dan keislamannya.

Praktik keIslaman yang perlu diwujudkan saya pikir harus mengedepankan substantif dari pada simbol atau bungkus. Mohammad Hatta, tidak menggunakan istilah Islam pada saat itu untuk mempromosikan demokrasi ekonomi (kekeluargaan dan koperasi), namun secara substantif itu adalah nilai-nilai yang sama di dalam Islam.

Filsafat kebudayaan di Tanah Minang yang kita kenal dengan “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” haruslah dipahami secara utuh dan menyeluruh. Hamka bahkan tidak ragu-ragu melakukan kritik atas kebudayaan Minang, sebagaimana yang dapat di baca dalam bukunya “Islam dan Minangkabau”.

Ada ungkapan yang pelu kita resapi bersama sebagai generari penerus yaitu ungkapan “Alam takambang jadi guru”. Ini memaknai bahwa semua yang ada di dunia ini dapatlah kita petik pelajarannya. Maka buya Syafii selalu menyampaikan dengan ungkapan “pergaulan yang luas”.

Kita harus belajar kepada Guru Bangsa, Buya Syafii Maarif yang saat ini menjadi representatif dari Tanah Minangkabau yang memiliki keluasan ilmu, dan memiliki pandangan yang dalam tentang keindonesiaan dan keIslaman. Sehingga antara pemikiran dan praktik sejalan.

Suatu ketika Buya pernah mengungkapkan, sila kelima dari Pancasila selalu di anak tirikan. Apakah Minang kini di anak tirikan? Bagaimana dengan dulu? Wallahu’alam.

 

Riyan Betra Delza
Riyan Betra Delza
Ketua DPP IMM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.