Minggu, April 28, 2024

Buya Syafii Maarif, Harapan Terus Ada

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Siapa yang tidak tahu Buya Ahmad Syafii Maarif ini. Tokoh Muhammadiyah dan tokoh nasional penting yang masih tersisa pada zaman ini. Mestinya, orang seperti saya, berharap pada mereka yang masih muda untuk Indonesia ke depan. Tapi harapan seperti ini buat saya tidak berlaku pada Buya Syafii yang sudah menua.

Harapan saya pada Buya Syafii, untuk menjaga Indonesia lebih baik jauh lebih besar daripada harapan saya pada kaum cerdik pandai yang muda-muda. Sebagai orang awam, saya benar-benar melihat sosok Buya Syafii, dalam usia yang 86 tahun ini, memberikan energi besar buat kita semua.

Buya berada dalam medan pertempuran publik. Beliau tidak hanya Begawan namun juga berada di lapangan. Alasannya sederhana: Dalam usia yang sudah sepuh ini ini apa yang dikatakan dan dilaksanakan oleh Buya Syafii adalah penuh dengan konsisten antara yang seharusnya dan yang dilaksanakanya. Buya Syafii tetap seorang yang bisa berpikir bening (clear) dan sesuai dengan harapan hati nurani kebanyakan orang. Bahkan dalam menyuarakan pujian, kritik, sarkasme, Buya Syafii mampu melakukannya dalam waktu dan konteks yang selalu pas.

Pada saat semua tokoh diam atas vigilante organisasi keagamaan, Buya Syafii mengeluarkan pernyataan soal perang “preman berjubah.” Pada saat itu semua orang merasa takut untuk mengomentari fenomena vigilante FPI, FUI, dan organisasi-organisasi keagamaan vigilante, namun Buya Syafii dengan tanpa gentar mengatakan jika mereka adalah “preman berjubah.”

Pernyataan itu jelas mengundang kontroversi, apalagi itu dinyatakan oleh mantan ketua umum organisasi keagamaan terbesar Islam di Indonesia, Muhammadiyah. Karenanya, Buya Syafii juga mendapatkan kritik atas pernyataan ini terutama dari pihak yang memiliki kesamaan dengan organisasi preman berjubah ini.

Menurut mereka yang tidak sependapat, Buya Syafii harusnya tidak mengatakan demikian untuk organisasi-organisasi keagamaan. Menurut yang tidak sependapat, mereka harusnya dididik, bukan dilabel. Demikian, kritik pada Buya. Namun Buya jelas tidak bergeser pada pendiriannya. Justru ucapan beliau itu dilatarbelakangi oleh pengetahuan dan pemahaman beliau tentang organisasi Islam vigilante ini.

Memang, jika Buya tidak melontarkan ini, maka apa yang dilakukan oleh FPI dan FUI pada saat itu bisa dianggap oleh masyarakat kita sebagai bentuk perjuangan agama. Justru dengan ungkapan preman berjubah ini memberikan penyadaran kepada kita semua bahwa meskipun mereka meneriakkan nama Tuhan dan sifat-sifatnya, namun itu tidak sesuai dengan tindakan yang mereka lakukan. Meskipun berpakaian jubah, namun perilaku mereka tidak jauh dari perilaku preman: merugikan masyarakat lain.

Pada saat kita tidak ada kata untuk maraknya orang-orang yang mendukug dan generasi muda yang terlibat dalam tindakan terorisme terutama mengapa orang rela bunuh diri untuk membunuh orang lain, maka Buya Syafii mengatakan bahwa terorisme yang ganas itu adalah fenomena orang yang “berani mati takut hidup.”

Ungkapan berani mati takut hidup adalah ungkapan untuk orang-orang yang picik yang ditujukan terutama untuk pelakunya dan sekaligus juga untuk mereka yang setiap ada tindakan terorisme mengungkapkan simpatinya. Kita tahu bahwa terorisme itu tindakan sejahat-jahatnya, namun di Indonesia ada saja pihak yang masih bisa bersimpati terhadap terorisme. Alasan mereka yang bersimpati karena ini adalah jalan jihad.

Dalam perspektif Buya Syafii, teroris yang dielu-elukan syahid oleh kelompoknya sebenarnya bukan syahid namun mati sebagai pecundang. Kaum pencundang ini adalah kaum putus asa yang tidak berani menghadapi realitas dan problema hidup. Artinya, tidak mungkin tindakan seperti itu diangga sebagai jihad jika mereka mengorbankan kesempatan hidup yang diberikan oleh Allah untuk membunuh pihak lain, bahkan sesama agama mereka. Lihat korban-korban perbuatan para teroris itu, banyak dari mereka yang justru berasal dari sesama agama.

Jelas sikap itu adalah sikap picik semata. Karenanya, ungkapan Buya Syafii berani mati takut itu sarkasme yang luar biasa yang bukan hanya untuk teroris namun juga untuk mereka yang bersimpati. Mungkin teroris yang melakukan bunuh diri sudah mati, namun mereka yang bersimpati masih hidup, jadi penting agar mereka tahu jika masalah ini adalah masalah serius.

Hal yang membuat Buya Syafii selalu memiliki relevansi dalam usia yang tidak muda lagi adalah posisi moral yang selalu dimainkannya. Pasca Buya Syafii menjabat sebagai ketua umum Muhammadiyah, bisa dikatakan seratus persen peran yang diambilnya adalah sebagai penyeru moral kebangsaan.

Meskipun Buya Syafii kini duduk sebagai Dewan Pembina BPIP, namun beliau tidak ragu untuk melontarkan kritiknya tentang pelaksanaan dan pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan bernegara kita akhir-akhirn ini. Buya Syafii mensinyalir jika sekarang ini Pancasila mengalami kelumpuhan.

Jelas, kritik ini dilontarkan oleh Buya pada kalangan pemegang kekuasaan di negeri ini. Kira-kira Buya Syafii ingin mengatakan mbok demi kekuasaan sebuah ideologi itu jangan digunakan sebagai instrumen untuk mendukung pencapaian kekuasaan tersebut. Keinginan berkuasa jangan sampai menyebabkan para penguasa membuat tafsir Pancasila yang tidak berdasar pada nalar sehat.

Tidak hanya itu, Buya Syafii juga dengan lancar melakukan koreksi terhadap perilaku keagamaan yang ingin mendongkel dan membentur-benturkan Islam dengan Pancasila pada sisi lainnya. Nampaknya, Buya tetap ingin meletakkan posisi Pancasila sebagai ideologi luhur bangsa yang tetap terbuka.

Buya Syafii juga memberikan pembelaan yang genuine terhadap kelompok minoritas. Beliau tidak mau melihat nasib kelompok Ahmadiyah, Syiah dan lain sebagainya, terus mengalami diskriminasi di negeri ini. Perlakuan yang tidak adil pada kelompok ini merupakan pengkhianatan pada sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab.”

Mereka adalah warga negara, jadi mereka harus mendapatkan perlindungan dari negara. Buya Syafii bahkan juga tidak segan untuk mengkritik MUI agar tidak menjadikan fatwa-fatwa mereka sebagai hukum positif. Kata Beliau, Indonesia ini negeri Pancasila, jika MUI terus menginginkan agar fatwa menjadi hukum positif, maka itu sama dengan menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah.

Sebagai catatan, peran yang selama ini dimainkan oleh Buya Syafii adalah peran yang istimewa karena kini kita sudah jarang sekali memiliki tokoh seperti beliau. Beliau melakukan pemihakan bukan pada orang dan kelompoknya, namun pada nasib siapa saja yang diperlakukan tidak adil dan diskriminatif.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.