Perkembangan perdagangan internasional mulai bergeser dari kiblat perdagangan barang ke perdagangan jasa. Perubahan ini ditandai dengan bermunculannya start up di banyak negara. Cina dan Amerika Serikat merupakan dua negara yang menjadi poros perkembangan start up di dunia saat ini. Dua negara ini memiliki Digital Valley yang menjadi laboratorium lahirnya riset-riset dari kampus dan swasta dalam rangka pengembangan bisnis digital.
Terbukanya pasar perdagangan jasa baik regional maupun multilateral memberikan ruang bagi tumbuhnya bisnis digital di bidang jasa. Salah satu profesi yang ikut terdampak dari perkembangan ini ialah hukum. Cicero pernah berkata ubi societas ibi ius yang artinya hukum tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat. Sekitar 10 tahun yang lalu, muncullah sebuah inovasi legal start-up sebanyak 20 penyedia jasa didunia. Saat ini penyedia jasa hukum itu sudah berkembang 600-1.200 didunia. Sekitar 2/3 legal start-up berasal dari Amerika serikat (Anna Ronkainen, 2016).
Era Digitalisasi Hukum
Kondisi hukum yang dianggap eksklusif oleh sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan otokritik tersendiri bagi ilmu dan profesi hukum itu sendiri. Persoalan hukum yang menggantung menyebabkan tersumbatnya penyelesaian sejumlah kasus hukum dalam sistem peradilan kita.
Beberapa tantangan hukum di depan mata antara lain, pertama, akademisi kesulitan dalam mengakses peraturan hukum, sehingga menyebabkan mereka seringkali tidak akurat dalam menyusun penelitian dan membuat rekomendasi kebijakan. Kedua, masyarakat seringkali kesulitan dalam membuat kontrak dan menyelesaikan perkara hukum. Hal ini terjadi akibat adanya gap diantara hukum dan masyarakat. Akibatnya mereka tidak mampu untuk menyusun kontrak secara mandiri dan terkurung pada persoalan hukum yang cukup serius. Ketiga, para praktisi pengacara, jaksa, hakim, dan konsultan seringkali kesulitan dalam membuat opini hukum (legal opinion) atau juga putusan. Hal ini dikarenakan sumber hukum sulit diakses oleh kelompok praktisi ini. Perundang-undangan yang mereka akses sering kali bukan merupakan hukum positif kontemporer (Reza Zaki, 2017).
Di beberapa negara seperti India dan Singapura, sudah mulai membangun legal start up yang menghadirkan sederet lawyer dengan keahlian di bidang pidana, perdata, investasi, hak kekayaan intelektual, bisnis internasional. Klien dapat mengakses para lawyer ini dengan mudah bahkan dapat mengetahui ranking atau kualitas dari bidang mereka. Klien pun dapat secara transparan mengetahui biaya jasa para lawyer tersebut. Era keterbukaan dan transparansi ini tentu saja menjadi kemudahan bagi klien dalam menentukan jasa hukum yang mereka butuhkan.
Selain itu, proses evolusi digitalisasi hukum juga mencakup tentang artificial intelegence (kecerdasan buatan) dalam rangka merancang robot hukum yang dapat mempermudah akses masyarakat dalam mempergunakan hukum itu sendiri. Sebagai contoh, kita akan bertemu dengan robot hukum yang dapat membantu kita dalam merancang kontrak dan juga menyusun putusan di pengadilan. Dari kedua contoh tersebut, robot hukum ini akan memberikan dampak signifikan dalam menciptakan ekosistem hukum yang mudah, cepat, dan professional.
Indonesia sejak dua tahun terakhir juga sudah memiliki kurang lebih enam legal start up dengan varian pelayanan hukum yang masih dalam masa pengembangan. Keenam legal start up tersebut antara lain Legal Go, lawble, Pop legal, Legal Clinic, Privy ID, dan Eclis.id. Keenam legal start up ini yang tergabung dalam Asosiasi Regtech diharapkan dapat membantu proses digitalisasi hukum di negeri ini agar hukum dapat tumbuh di tengah masyarakat secara alami dan masif
Myanda Jovanka
Mahasiswi Hukum Universitas Bina Nusantara