Anak muda tidak lahir dan hidup begitu saja tanpa nilai yang membentuknya. Mungkin sebagian dari kita, meyakini bahwa menjadi anak muda merupakan proses alamiah dan organis.
Kita diminta percaya bahwa pertumbuhan biologis yang menjadi faktor penentu utama pembentukan perilaku seseorang berdasarkan kategorisasi usia. Dengan demikian, perkembangan kesadaran dan perilaku anak muda di seluruh dunia dianggap hanya proses mekanisme biologis semata.
Disisi lain, Talcott Parson sosiolog asal Amerika menegaskan bahwa tidak sepenuhnya anggap itu benar. Menurutnya, anak muda tidak bisa dengan mudah dikategorikan secara biologis dan universal. Bagi Parson, entitas anak muda merupakan hasil dari konstruksi sosial yang bisa saja berubah tergantung dinamika ruang, waktu dan situasi tertentu.
Dari Parson, kita bisa mengurai bahwa menjadi anak muda dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang berlaku dan dominan. Hal ini bisa jadi dikarenakan, dialektika kultur dan struktur sosial yang disebabkan ideologi politik atau sistem ekonomi yang dianut oleh negara berperan besar pada pembentukan subjek anak muda.
Anak muda memang merupakan entitas yang anomali, ambivalen dan ambigu. Karena anak muda memiliki batas kategori yang unik dan berbeda-beda di setiap kebudayaan, kebijakan dan negara.
Misalnya di Indonesia, bila merujuk UU Kepemudaan No. 40 tahun 2009 pasal 1, warga negara yang bisa masuk dalam kategori anak muda yaitu individu yang berusia dari 16 sampai 30 tahun. Namun pada kenyataanya banyak organisasi kepemudaan di tanah air masih dipimpin atas nama “semangat muda” oleh orang-orang berusia 35 tahun keatas, bahkan sampai melewati batas usia 50 tahun, dan fenoma ini seolah menjadi hal lumrah.
Belum lagi program dan kebijakan pemerintah yang melulu tumpang tindih sekaligus saling bertentang antara satu lembaga dengan lembaga lainnya, membuat entitas anak muda hidup di situasi serba salah.
Beralih ke Inggris, berdasarkan hasil riset persepsi batas usia yang dilakukan oleh pemerintahan Inggris, warga negara mereka menganggap usia muda itu berkisar pada umur 25 sampai 32 tahun.
Bahkan untuk urusan seksual anak muda, setiap negara juga mengaturnya dengan batas minimal anak muda yang berbeda-beda, seperti di Norwegia, Swiss, Latvia, Georgia dan Finlandia memutuskan usia anak muda legal untuk bercinta adalah di umur 16 tahun. Sedangkan, Jerman, Portugal dan Italia pada usia 14 tahun.
Beralih ke negara Asia, Cina mensepakati seks yang legal pada usia 14 tahun, di Irak 18 tahun, sementara Jepang melegalkan warganya bercinta di usia 13 tahun. Keberagaman kebijakan Ini baru urusan seks, belum lagi setumpuk peraturan anak muda di bidang ekonomi, budaya dan politik.
Anak muda selalu dalam zona dilematis, diantara menjaga jarak dengan dunia anak-anak namun dibatasi memasuki dunia orang dewasa atau orang tua. Pada saat yang sama, anak muda mempertahankan hubungan dengan kebiasaan dan kebudayaan anak-anak. Namun, disisi lainnya, orang dewasa atau orang tua menganggap anak muda perlu dilindungi atau malah jadi ancaman bagi posisi mereka saat ini.
Berbagai persoalan di atas membuktian bahwa usia dan khususnya anak muda merupakan konsep yang cair dan dapat dibentuk. Sebagaimana hasil dari hasil konstruksi sosial, makna anak muda akan terus bergeser dan berubah berdasarkan kepada kepentingan siapa dan diproduksi oleh siapa diskursus anak muda yang terorganisir dan terstruktur digulirkan.
Beragam Bukan Seragam
Seiring dengan perjalanannya, diskursus anak muda selalu dicoba dikristalisasi oleh negara, untuk menjadi seperangkat aturan dan pedoman masyarakat bagaimana seharusnya mendisplinkan anak muda berperilaku. Produksi diskursus tersebut tentu saja tanpa mempertimbangkan subtansi, esensi dan aspirasi anak muda. Namun, bukan berarti tanpa hambatan dan perlawanan dari anak muda.
Anak muda selalu punya cara kreatif mensiasati dan menyiapkan lawan tanding diskursus dominan tersebut. Dengan berbagai strategi, mulai dari memilih gaya hidup yang berlawanan dengan kebudayaan dominan hingga membangun sebuah gerakan alternatif untuk membuka kaca mata kuda negara dalam melihat keberagaman anak muda.
Memang bagaimana pun kita mencoba memahaminya secara holistik, dan negara yang berusaha mendefinisikan segala aspek terkait generasi muda secara legal. Tidak serta merta dapat mengambil kontrol penuh atas anak muda seutuhnya.
Karena tidak ada yang bisa memastikan, apakah anak muda usia 25 tahun di Jakarta memiliki perilaku yang sama dengan anak muda usia yang sama di Asmat? Apakah anak muda usia 20 tahun dari keluarga miskin memiliki akses yang sama seperti anak muda usia 20 tahun dari keluarga kaya?
Apakah anak muda usia 30 tahun keturunan Jawa memiliki persoalan yang sama dengan anak muda usia 30 tahun keturunan Tionghoa dalam panggung politik? Atau anak muda muslim usia 18 tahun memiliki nasib yang sama dengan anak muda usia 18 tahun dari agama berbeda lainnya saat melakukan ibadah di Indonesia?
Apakah asupan gizi anak muda di Sumbawa setara dengan anak muda di Praha? Apakah anak muda perkotaan memiliki infrastruktur pendidikan dengan kualitas yang sama dengan anak muda pedesaan sehingga pemerintah hari ini memberikan Ujian Nasional secara seragam? Dan, mengapa organisasi kepemudaan di Indonesia malah dikuasai oleh orang-orang tua berusia 40-50 tahun yang mengaatasnamakan semangat muda?
Yang jelas, tulisan ini tidak mungkin dan tidak bermaksud menjawab semua pertanyaan tersebut, tapi setidaknya mencoba memantik perdebatan dan produksi pengetahuan terkait entitas anak muda yang lebih kaya dan beragam. Tabik!!