Tak dapat disangkal, gelombang demokratisasi seiring dengan gerakan reformasi 1998 telah mengantarkan kita pada suatu elan kehidupan publik yang terbuka, egaliter, dan demokratis. Reformasi telah menghendaki adanya pola pelibatan partisipasi warga dalam kehidupan politik baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hadirnya otonomi daerah yang lebih luas dan nyata, telah memberikan ruang bagi masyarakat hingga pada aras lokal untuk lebih intensif berperan, tidak hanya sebagai objek pembangunan namun juga sebagai subjek pembangunan daerah. Upaya demokratisasi melalui pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat telah menyuguhkan proses politik yang dekat dan pekat ditingkat akar rumput.
Melalui desentralisasi politik, partisipasi warga difasilitasi dalam upaya mendorong pembangunan yang bersifat bottom up, melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang menitikberatkan pada fungsi penting agregasi aspirasi publik.
Pemantapan partisipasi publik diantaranya turut pula didukung oleh lahirnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, yang praktis telah memberikan jaminan lebih bagi demokratisasi. Kini diskursus kebijakan publik tidak lagi menjadi urusan eksklusif negara, melainkan telah menjadi diskurus yang terbuka, dapat diakses, dan diperbincangkan oleh setiap warga negara.
Dalam konteks demikian, upaya-upaya sistemik pelibatan publik pasca reformasi sejatinya telah mengantarkan masyarakat hari ini pada suatu kesadaran politik baru (political awarness). Yaitu terciptanya internalisasi kesadaran masyarakat atas hak dan kewajiban sebagai warga negara. Antara lain kesadaran akan hak-hak politik, hak ekonomi, hak mendapat perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan sosial, dan kewajiban-kewajiban seperti dalam sistem politik, kewajiban kehidupan sosial budaya, dan kewajiban lainnya.
Diantara penyandang kesadaran kritis tersebut tiada lain adalah kelompok muda, atau kerap disebut milenial yang merupakan populasi terbesar dalam struktur piramida penduduk di Indonesia. Mereka merupakan generasi yang lahir dan tumbuh kembang dalam nurture sosial politik yang demokratis.
Mereka adalah generasi asli dari demokrasi (native democracy). Yang semenjak lahir taken for granted hidup dalam ekosistem sosial-politik yang dibangun atas nilai-nilai kesetaraan dan keterbukaan. Ciri utama tabiat mereka adalah mempunyai kecenderungan bersikap kritis dan banyak bertanya. Mereka merasa memiliki kompetensi tinggi sehingga tak merasa ragu untuk berdebat dan berbeda secara radikal tentang suatu hal, namun pada saat yang sama mereka mampu membangun kolaborasi dan sinergitas untuk suatu tujuan yang sama. Suatu budaya politik milenial yang berupaya menempatkan argumen diatas sentimen.
Mentalitas sosial politik milenial yang demikian, ditunjang pula oleh tingkat keterdidikan yang baik (well-educated). Keterbukaan informasi dan akses ilmu pengetahuan yang terpapar luas telah memungkinkan mereka untuk memperoleh literasi politik yang memadai. Sebagai penguasa dunia digital (native digital), mereka merupakan kelompok yang piawai mekakukan elaborasi teknologi dan aplikasi digital. Dengan intensitas berselancar di sosial media yang tinggi, milenial merupakan kelompok yang tak pernah terasing dari dinamika diskursus publik.
Milenial kerap menjadi generasi yang mampu menciptakan gelombang wacana. Fenomena viral dan trending topic di media sosial adalah bentuk dominasi wacana yang notabene anak muda lah pencipta resonansinya. Mereka merupakan generasi yang dengan mudah terpantik isu. Gandrung melakukan pembahasan isu penting yang menyangkut dan relevan dengan dirinya dari mulai soal perubahan iklim, identitas, gender, romance hingga politik. Tak ayal kelompok milenial telah menjadi barometer diskursus publik mengingat talenta digital dan jumlah demografinya yang besar di Indonesia.
Kombinasi antara demokrasi dan digitalisasi informasi telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi pelibatan publik (civic enggagement) dan tumbuh suburnya kesadaran politik yang kritis. Yang pada gilirannya telah mengantarkan masyarakat Indonesia pada etape konsolidasi demokrasi yang matang. Bagi kelompok milenial, demokrasi bukanlah sebuah alternatif, melainkan sebagai way of life yang menjamin kebebasan bagi mereka untuk secara “sembarang” menalar isu-isu politik. Ekosistem politik sedemikian sejatinya perlu dipandang sebagai indikasi positif bahwasannya kadersisasi politik anak muda menemukan ladang persemaiaannya yang subur (breeding ground).
Transformasi Kesadaran Politik
Karenanya, Jika saja menyadari demografi dan perkembangan budaya sosial politik hari ini, realitas justru telah menunjukan peluang yang optimis bagi aktivisme politik anak muda di Indonesia. Capaian demokrasi di Indonesia seharusnya menjadi landscape yang cukup memberikan harapan bagai perbaikan sumber daya manusia partai politik saat ini. Alih-alih memendam kecurigaan dan kekhawatiran pesimistik atas sebuah mitos bahwa partai politik kian ditinggalkan kaula muda.
Peran strategis partai politik hari ini adalah tentang bagaimana mampu melakukan konversi potensi inheren pada anak muda, yaitu dari sekedar kesadaran politik di tahap pengetahuan atau pemahaman untuk kemudian mewujud menjadi aktivisme politik (political activism) sebagai bentuk manifestasi kesadaran politik yang tinggi. Faktor kuncinya adalah sejauh mana partai politik itu sendiri, sebagai katalisastor aktivisme, mampu menghadirkan wahana politik yang atraktif, strategis, dan kondusif dalam mengkonversi kesadaran politik kelompok muda menjadi aktivisme politik.
Untuk itu, partai politik diharapkan dapat menumbuh kembangkan ruang-ruang kreasi yang selama ini dibelenggu tradisi feodalistik, yang menyebabkan lemahnya inovasi di sektor politik. Hal ini menjadi mendasar, mengingat bahwa kompatibilitas antara milenial dan partai politik modern menuntut adanya pembudayaan manajemen yang lebih demokratis ditubuh partai politik itu sendiri.
Yakni bagaimana partai politik terejawantah sebagai laboratorium demokrasi yang mampu menghadirkan kesempatan yang setara, mengutamakan meritokrasi, serta mampu menampilkan kepemimpinan partai politik yang mau mendengarkan dan siap menjalin komunikasi terbuka.
Pada akhirnya, transformasi kesadaran politik menjadi aktivisme politik akan senantiasa membutuhkan transformasi partai politik itu sendiri, sebagai upaya beradaptasi terhadap jiwa zaman kelompok muda saat ini. Dimana kesadaran politik senyatanya merupakan aspek inheren yang akan terus tumbuh pada generasi muda.
Seiring dengan demokratisasi informasi yang kian berkembang secara tak terbatas mendobrak sekat-sekat eksklusifitas dan hirarki pengetahuan. Karenanya, adalah suatu garansi bahwa sebagai generasi yang berpengetahuan (well-informed), anak muda sesungguhnya tidak akan pernah meninggalkan diskursus politik. Sebuah kesadaran politik dilevel pengetahuan yang sepatutnya dapat menumbuhkan optimisme masa depan bagi partai politik.