Sabtu, Oktober 12, 2024

Amerika Serikat Mendoktrin Ideologi Colombia

Dian Rahmawati
Dian Rahmawati
Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Bangsa Amerika dapat dikatakan sebagai bangsa yang majemuk dan plural karena banyak terdapat bangsa-bangsa pendatang dari negara-negara Eropa serta memiliki berbagai macam aliran kepercayaan atau agama yang dianut.

Oleh karena itu, prinsip-prinsip dasar politik dan pemerintahan Amerika Serikat (AS) pun bersumber dari pengalaman masa kolonial pada abad ke-17 sehingga ketika bangsa Amerika memproklamirkan kemerdekaannya pada 4 Juli 1776, mereka telah berada di bawah koloni Inggris selama kurang lebih satu abad.

Berdasarkan pengalaman tersebut, konsep pemerintahannya ialah Republican Liberalism. Di mana menyatakan bahwa negara-negara di dunia perlu menjadi demokratis dan menjunjung tinggi hak individu.

Hal tersebut berawal dari asumsi bahwa masyarakat sebenarnya tidak menginginkan perang, perang hanya disukai oleh rezim militer dan pemerintahan yang cenderung otoriter. Dengan begitu, para individu bisa berpartisipasi untuk mengontrol sikap negara supaya tidak melakukan peperangan atau tindakan yang memprovokasi. Keadaan politik domestik yang demikian juga akan berlaku pada negara lain sehingga negara-negara penganut demokrasi tidak akan berperang antara satu sama lain.

Hal ini lah yang meyakinkan AS untuk mengajak negara-negara tetangganya, terutama di kawasan benua Amerika untuk ikut menerapkan ideologi demokrasi (negara republik) dalam sistem pemerintahan domestik, maupun dalam hubungan luar negeri. Seperti contoh hubungannya dengan Colombia, setelah masa kemerdekaan pada 19 Juni 1822 dengan mengakui kemerdekaan Colombia dan mengirimkan perwakilannya sejak 1832.

Pasca Perang Dunia II, hubungan kedua negara semakin berkembang, terutama dalam kerjasama ekonomi dan keamanan dalam konteks Perang Dingin dan anti-Komunisme. Sejak tahun 1910, Colombia menjadi negara demokrasi pluralis dan memiliki banyak partai (multipartai). Namun, pada tahun 1953-1957, Colombia tidak menjadi negara dengan multipartai karena pemerintahan diktator yang dipimpin oleh Gustavo Rojas Pinilla.

Colombia memasuki masa terburuk, dengan tingkat kekerasan yang sangat tinggi pasca Perang Dunia II, yang diawali oleh pembunuhan Jorge Eliecer Gaitan, pemimpin sayap kiri Partai Liberal, pada 9 April 1948 hingga terjadi pemberontakan rakyat sipil, kericuhan atau bogotazo, dan political struggles antara pemimpin Partai Liberal dan Partai Konservatif, yang disebut dengan La Violencia.

Akibat peristiwa tersebut, terbentuklah organisasi pemberontak, yakni The Revolutionary Armed Forces of Colombia atau Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia (FARC) didirikan tahun 1964 oleh Manuel Marulanda dan Jacobo Arenas, yang pada awalnya merupakan sebuah perkumpulan gerakan petani di pedesaan, kemudian bertransformasi menjadi kelompok bersenjata sayap kiri dibawah Colombian Communist Party (CCP).

Tujuan awal dibentuknya FARC yaitu untuk menghapus ‘Colombia’s systemic social inequality’ atau ketidakadilan sosial sistemik yang terjadi di Colombia. Namun demikian, pada perkembangannya FARC kini telah bertransformasi menjadi kelompok pemberontak yang memanfaatkan tindakan kriminal sebagai salah satu sumber pendanaan bagi aktifitasnya dalam memperoleh kekuasaan di beberapa wilayah di Colombia.

Setelah diskusi formal yang berjudul “Peace Talks” antara FARC dan Pemerintah Colombia selesai, kedua belah pihak menyepakati beberapa isu-isu substansif yang dibahas dalam tahapan transformasi konflik yang dilakukan secara berkala terhitung sejak disepakatinya kerangka perjanjian pada tahun 2012 hingga tercapainya kesepakatan akhir di tahun 2016 lalu. Hingga FARC berhenti beroperasi pada tahun 2017.

Peristiwa ini yang memprakarsai adanya kerjasama militer antara AS dan Colombia, baik dalam bantuan sebagai pemasok senjata bagi pemerintah Colombia maupun sebagai pelatih dalam tata cara perang gerilya. Selain itu, ada titik terang mengenai perseteruan kedua partai disana, yakni antara Partai Konservatif dan Partai Liberal.

Susunan Pemerintah Front Nasional atau El Frente Nacional (sebuah koalisi Konservatif dan Liberal) yang dibuat oleh Alberto Lleras Camargo, mewakili kaum Liberal, dan Laureano Gómez, pemimpin Partai Konservatif, dalam Deklarasi Sitges (1957).

Kesepakatan unik yang diadakan ialah pergantian Konservatif dan Liberal dalam kursi kepresidenan, pembagian jabatan menteri dan pemerintahan lainnya yang setara, dan perwakilan yang sama pada semua badan eksekutif dan legislatif.

Perjanjian itu akan tetap berlaku selama 16 tahun atau setara dengan empat masa jabatan presiden, masing-masing dua untuk Partai Konservatif dan Partai Liberal. Selama masa jabatan Lleras, undang-undang reformasi agraria diberlakukan, perencanaan ekonomi nasional untuk pembangunan dimulai, dan Colombia menjadi etalase Alliance for Progress (upaya AS untuk memajukan pembangunan ekonomi di Amerika Latin).

Tetapi kesulitan ekonomi yang parah disebabkan oleh harga kopi yang rendah, pengangguran domestik, dan akhir yang jelas dari efektivitas substitusi impor hanya sebagian diimbangi oleh bantuan Aliansi. Aliansi meningkatkan ketergantungan ekonomi Colombia pada AS, yang bagi sebagian orang Colombia memiliki kerugian serius. Menjelang 1962, pertumbuhan ekonomi nyaris terhenti.

Hingga pada titik terang, beberapa perusahaan pemerintah semi-otonom memperluas layanan mereka ke sektor swasta: modal dan cadangan dari Institut Pengembangan Industri. Colombia mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi terbaik menjelang akhir pemerintahan Lleras pada 1969, ketika produk domestik bruto riil meningkat sekitar 7 persen. Keberhasilan ini sebagian karena harga kopi yang tinggi.

Setelah adanya kerjasama dengan sektor swasta tersebut dapat dipastikan bahwa kerjasama yang dilakukan AS, Colombia, dan sektor swasta menggunakan konsep Interdependence Liberalism, di mana menganggap bahwa sebuah hubungan transnasional baik negara maupun aktor non-negara akan saling membutuhkan satu sama lain.

Hubungan internasional setelah terjadi dua masa perang sudah berbentuk complex interdependence, di mana hubungan-hubungan di dunia tidak hanya didominasi negara saja melainkan semua aktor selain negara.

Hubungan yang saling bergantung tersebut akan menjadikan bahasan low politics (lingkungan, penyakit pandemik, kemiskinan) lebih mendominasi ketimbang high politics (perang, damai, wilayah perbatasan, keamanan) di kancah global. Dengan begitu, keadaan hubungan saling ketergantungan tersebut menjadikan negara-negara lebih kooperatif dalam penyelesaian masalah.

Dian Rahmawati
Dian Rahmawati
Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.