Keteguhan rekan-rekan dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Surabaya saat aksi pada 1 Desember lalu memang luar biasa. Ketika mereka banyak dihujani makian, “mati kamu ya!”, botol air, bambu, bahkan pecahan kaca, darah-darah dari kepala serta tangan-tangan yang saling menggenggam erat mereka itu membuktikan betapa perjuangan demokrasi mereka bukanlah omong kosong.
Sebelumnya, pada tanggal 30 November teman-teman saya membagikan sebuah gambar ajakan kepada masyarakat Surabaya lengkap dengan penggunaan istilah Arek Suroboyo serta ajakan melawan separatisme. Pengisuan terhadap AMP bahwa mereka adalah gerakan separatis terasa lebih kental nan manis daripada apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh AMP. Masyarakat lebih mudah menerima tuduhan separatis yang digaungkan itu daripada berusaha melihat semuanya lebih luas apalagi kritis.
Bias yang Dikonstruksi oleh Oligarki
Kekuasaan hegemonik telah lama hinggap di masyarakat kita, menyebabkan banyak masyarakat Indonesia begitu asal terima, menuding sana-sini sebagai kelompok penuh dosa hanya karena pihak tertentu atau media umumnya menyampaikan seperti itu. Masyarakat kita terbiasa untuk menerima, bukan untuk meragukan, mempertanyakan, apalagi memperbaiki. Termasuk dalam hal ini tuduhan-tuduhan separatis.
Inilah yang, bagi Antonio Gramsci, menyebabkan kekuasaan kelas yang satu atas kelas yang lainnya terus berlangsung tanpa perlu melakukan pemaksaan. Kelas yang didominasi dibuat untuk tunduk patuh terhadap kelas yang berkuasa (negara).
Hal itu tidak lepas dari pendefinisiannya mengenai negara sebagai “kesatuan aktivitas-aktivitas teoritik dan praktik dengan mana ruling class tidak hanya menjustifikasi dan menjaga dominasinya melainkan juga mampu mengatur untuk memenangkan persetujuan atas sesuatu dari kelas yang didominasi” (Gramsci, 1971). Dalam hal ini, negara, melalui kepolisian, hampir berhasil meyakinkan masyarakat bahwa West Papua adalah kelompok separatis.
Dominasi kelas yang satu atas yang selainnya itu didukung oleh media kita yang oligarkis (Utomo, 2017). Hubungan antara media dan politik memang penting, namun di Indonesia nampaknya makna penting itu terlalu jelas di depan mata sampai-sampai para pemilik media memasuki arena politik dengan cara membentuk partai politik. Media mainstream kini dikuasai oleh segelintir orang yang berkepentingan politik di kancah nasional. Jika Michel Foucault menggunakan istilah power/knowledge, kita mungkin perlu media/politics.
Dalam hal ini, kita patut takut sebagaimana Max Horkheimer dan Theodore W. Adorno bahwa perkembangan media dapat meningkatkan opresifitas dari tatanan sosial dan politik (Thompson, 2012). Dan faktanya, warganet memanglah semakin opresif, semakin asal menilai sehingga tuduhan-tuduhannya itu memungkinkan tindakan yang buruk terjadi tanpa pengecekan terlebih dahulu.
Begitu pun dalam menilai demonstrasi AMP, tidak sedikit yang memakan tuduhan-tuduhan separatis itu tanpa meragukan bahwa media mainstream boleh jadi memiliki agenda setting terhadap isu tersebut. Padahal, media dapat menggiring orang-orang untuk memikirkan suatu isu dengan bentuk dan cara tertentu untuk kepentingan penguasa (McCombs & Shaw, 1972).
Tahukah masyarakat umum tentang apa yang disuarakan dan dituntut oleh AMP? Benarkah tuduhan bahwa mereka adalah kelompok separatis? Sedikit saya temukan warga Surabaya (selain pers) yang berusaha menyimak Aksi 1 Desember lalu secara open-minded. Apa yang AMP dapat kemudian tetaplah tuduhan-tuduhan sebagai separatis daripada respon atas suara mereka.
Pandangan masyarakat umum terhadap West Papua kemudian mengalami bias, sebagaimana sejumlah media menggiringnya sebagai gerakan separatis. Sekali mendengar aksi saat itu, banyak orang akan menilai bahwa para pembela aksi tersebut konyol; “Ngapain membela kelompok yang ingin memisahkan diri dari Indonesia?”.
Mereka tidak mau tau sejumlah argumen, sejumlah pernyataan, sejumlah sikap atas pemahaman masyarakat umum terhadap Papua. Disinilah demokrasi dipersempit, sesempit pikiran-pikiran mereka yang tidak mau tau dan mengatakan “mati kamu ya!”.
Mengenal Relasi Negara-Masyarakat
Sebagai salah satu orang yang berada di lokasi Aksi 1 Desember dan di Asrama Papua, saya tau jelas apa yang terjadi. Oleh sebab itu, pada tanggal 2 Desember 2018 saya mengabarkan kepada teman-teman bahwa Fachri Syahrazad, teman satu sekolah, disembunyikan oleh kepolisian tanpa kabar yang jelas hingga tak dapat berkomunikasi dengan keluarganya sendiri. Namun, mereka mempersoalkan tindakan yang terburu-buru mengampanyekan kejadian itu. Mereka percaya bahwa persoalan-persoalan ini dapat diselesaikan jika kita dapat bekerja sama dengan kepolisian.
Sayangnya mereka tidak tau bahwa konflik ini, dalam kajian para aktivis, bukanlah kasus penculikan biasa atau pun kasus kehilangan karena tidak tau jalan pulang. Ini adalah konflik antara aktivis dengan kepolisian. Dalam hal ini adalah masyarakat sipil dan negara.
Di sosiologi politik, pembedaaan antara negara dan masyarakat adalah pembedaan yang sangat penting. Banyak sosiolog sepakat dengan Max Weber bahwa negara adalah “komunitas manusia yang (sukses) mengklaim pemonopolian paksaan fisik yang berlegitimasi di dalam suatu teritori” (Haralambos & Holborn, 2013). Dengan demikian, negara memiliki kekuasaan atas masyarakat.Namun sebagaimana kata Lord Acton, seorang sejarawan, “power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely”.
Hubungan antara negara dan masyarakat menjadi tidak berimbang mana kala kekuasaan hanya ditangan negara. Masyarakat perlu membentuk kelompok-kelompok khusus yang mana di dalamnya mereka mengadakan sejumlah kajian hingga respon atas konflik-konflik semacam ini agar masyarakat berkuasa juga.
Masyarakat perlu memiliki sejumlah Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP) atau Non-Government Organization (NGO) dan sejenisnya. Beberapa diantaranya yang telah berdiri adalah KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), ICW (Indonesian Corruption Watch), dan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).
Berpikir bahwa semuanya harus dikembalikan kepada negara sama dengan berpikir bahwa negara memiliki kekuasaan yang absolut. Dan tinggal tunggu waktu saja bagaimana masyarakat kita menjumpai sejumlah penyalahgunaan wewenang, korupsi, penggusuran tanpa sosialisasi, dan seterusnya. Masyarakat seharusnya perlu mendirikan persatuan kolektif tersendiri guna menjaga dirinya dari ketidakmalaikatan negara. Sebab, bagaimana pun juga, semuanya adalah manusia dan kesalahan selalu ada pada tangannya.
Referensi
Gramsci, A. (1971). Selection from the Prison Notebooks. London: Lawrence & Wishart.
Haralambos, M., & Holborn, M. (2013). Sociology Themes and Perspectives (8th ed.). London: Collins.
McCombs, M., & Shaw, D. (1972). The agenda-setting function of mass media. Public Opinion Quarterly, 36, 176-187.
Thompson, J. B. (2012). The Media and Politics. In E. Amenta, K. Nash, & A. Scott (Eds.), The Wiley-Blackwell Companion to Political Sociology (pp. 263-272). Oxford: Wiley-Blackwell.
Utomo, W. P. (2017, Desember 20). Media oligarchy and the shaping of news in Indonesia. Retrieved from The Conversation: https://theconversation.com/media-oligarchy-and-the-shaping-of-news-in-indonesia-89094