Dewasa ini berbagai berita tersiar dengan sangat mudah. Demikian pula berita bohong. Kecanggihan dan kecepatan, membuat orang mudah menerima dan menyebarkan berbagai berita ataupun isu tanpa terlebih dahulu memeriksa kebenarannya.
Ketika pademi covid-19 melanda dunia, hoaks pun ikut menjamur di mana-mana, termasuk Indonesia. Tak pelak salah paham dan perpecahan sering tak terhindarkan. Misalnya seperti covid-19 itu konspirasi, vaksin itu akal-akalan barat dan sebagainya.
Kebohongan itu diulang-ulang hingga akhirnya membuat orang percaya. Plato, salah satu filsuf klasik Yunani, pernah menuliskan cara bersikap di hadapan setiap realitas tersebut melalui alegori guanya. Namun, sebelum kita masuk lebih jauh, kita perlu jernih dulu memahami hoaks.
Terdapat beragam definisi hoaks atau berita bohon di berbagai kamus. Terminologi kata hoaks (berita bohong) penulis ambil dari Cambridge Advanced Learner’s Dictionary & Thesaurus yang mendefinisikan hoaks sebagai suatu usaha atau tindakan untuk menipu orang lain baik secara perorangan maupun secara kelompok.
Alegori Gua
Dalam Alegori Gua, Platon menerangkan ada sekelompok orang yang seumur hidupnya duduk menghadap ke dinding di dalam gua. Tangan mereka diikat, tidak dapat bergerak.
Pandangan mereka hanya tertuju ke depan, tidak bisa menoleh ke samping ataupun ke belakang. Ada api yang menyala di belakang tembok yang mereka sandari. Mereka melihat bayang-bayang orang lalu lalang di depan api pada dinding gua. Mereka yakin dan percaya bahwa itulah gambaran realitas yang benar karena seumur hidup mereka hanya banyang-bayang itulah yang mereka lihat.
Pada suatu kesempatan, ikatan salah seorang tawanan terlepas. Ia menyaksikan bayangan yang ia lihat selama ini ternyata bayangan para budak yang lalu-lalang di depan api tersebut, bukan gambaran realitas yang sesungguhnya. Ia kemudian berusaha dan bersusah-payah memanjat tebing gua untuk keluar dari gua dan menyaksikan cahaya matahari yang sangat terang.
Awalnya, ia tidak kuat menatap cahaya yang begitu terang mengingat sebelumnya hidupnya hanya dipenuhi dengan kegelapan. Ia kemudian menjadi terbiasa dan sadar bahwa apa yang ia yakini selama ini tentang kebenaran yang nampak pada bayang-bayang di dinding sebenarnya hanya bayangan, bukan gambaran sejati benda itu.
Akhirnya, orang tersebut kembali ke gua dan menemui teman-temannya. Ia menerangkan realitas yang sesungguhnya, bahwa yang selama ini mereka anggap kebenaran ternyata hanyalah bayang-bayang saja. Teman-temannya marah dan ingin membunuhnya karena merasa ia telah mengatakan kebohongan.
Alegori ini menegaskan bahwa jika orang sudah terbiasa dan terlalu sering mengkonsumsi info atau gambaran yang keliru, ia akan sulit untuk terbuka dan melihat kejerniah realitas. Adanya kalangan yang menolak vaksin, percaya covid itu konspirasi dan sebagainya adalah contoh mereka yang sudah dibanjiri oleh hoaks, meski penelitian ilmiah menunjukkan bahwa covid itu nyata dan vaksin itu penting untuk meningkatkan imunitas.
Mencapai Kebenaran
Sebagaimana Alegori Gua, Plato menawarkan empat tahap. Pertama, eikasia. Ini adalah tahap masih terikat di dalam gua dan meyakini bayang-bayang di dinding adalah kebenaran sejati. Pengetahuan Eikasia ini berada di tingkat opini (doxa). Pengetahuannya berbentuk konjektur (bayang-bayang) benda (objek) inderawi. Karena masih berupa bayangan pengetahuan, keyakinan manusia hanya merupakan hasil dari dugaan-dugaan pribadinya (opini). Orang hanya mencoba untuk mengait-ngaitkan sesuatu tanpa tahu ada tidaknya hubungan yang rasional akan sesuatu tersebut.
Kedua, pistis. Pada tingkat ini orang sudah melihat benda riilnya, tetapi lokasinya masih di dalam gua. Penglihatannya belum utuh karena cahaya tidak begitu terang. Wilayah kajian ini yang sudah lebih tinggi dari konjektur, yakni di tingkat pengetahuan pistis (kepercayaan). Orang yang berada di tingkat ini percaya bahwa apa yang ia lihat langsung dari benda indrawi di dalam gua tersebut adalah sebuah pengetahuan yang benar.
Ketiga, dianoia. Di tingkat ini adalah mereka yang mau bersusah payah memanjat tebing gua untuk keluar. Tidak berhenti di situ, ia harus menyesuaikan diri dengan sinar matahari yang sangat terang, menyilaukan mata, karena sebelumnya ia hidup dalam kegelapan. Ia kemudian terbiasa dan dapat melihat pohon sebagaimana adanya, bentuknya, ukurannya, bukan hanya melihat berdasarkan bayangan-bayangannya saja. Wilayah kajian tingkat ini sudah masuk ke tingkat yang lebih tinggi dari dua tingkat sebelumnya.
Tingkat ketiga ini berada di wilayah sains (episteme). Tingkat pengetahuannya bernama Dianoia atau rasio diskursif analitis. Objek kajiannya berupa realitas matematis yang intelligible. Dianoia adalah sebuah pengetahuan diskursus, jiwa menggunakan hipotesis atau konsep-konsep matematis untuk menstrukturkan realitas. Pengetahun di tingkat matematis memiliki kepastian lebih tinggi. Untuk mencapai tingkat ini, orang harus bersusah payah untuk mengumpulkan bukti-bukti empiris, dikalkulasikan, dan dianalisis untuk kemudian memahami realitas dengan benar.
Keempat, neosis. Puncak tertinggi di luar gua adalah Matahari (Kebaikan). Neosis merupakan pengetahuan dialektis. Pengetahuan ini pengetahuan tertinggi jiwa. Hanya setelah melewati tahap-tahap pertama sampai ketiga orang baru akan mampu mencapai tingkat ini. Pada tingkat noetik ini, orang hanya berurusan dengan intuisi anhipotetik—intuisi yang melampaui dan menjadi dasar bagi hipotesis-hipotesis itu sendiri. Ini adalah pengetahuan di tingkat dialektika (dari kata kerja diale`gomai:–dia = lewat, lego = aku berkata, logos = wacana, pikiran, artinya, pengetahuan yang muncul hasil dari proses dialogis). Dialektika merujuk pada proses naiknya jiwa dari tingkatan pengetahuan yang rendah ke yang tertinggi.
Di posisi manakah Covid-19 dan Vaksin?
Melalui empat tahap ini, kita bisa menilai bahwa, paham bahwa covid-19 itu konspirasi dan vaksin-19 itu akal-akalan Barats sebagaimana info yang berjibun di mana-mana tidak bisa diterima begitu saja. Sebab, info tersebut kalau dicek ternyata masih berupa doxa atau opini saja. Dah kalau pun bisa masuk ke ranah kedua yakni pistis, itupun tidak lebih, sebab itu masih asumsi dan kepercayaan saja. Pun tidak bisa hanya berdasarkan kata orang saja, karena manusia itu dapat berbohong. Orang perlu mengecek sendiri.
Semua orang sekurang-kurangnya diajak sampai ke tahap ketiga, jika tahap empat terlalu sulit. Di tahap ketiga ini orang melihat dan memahami covid-19 dan vaksin bukan lagi sebagai opini melainkan sebagai sebuah kebenaran. Mengapa kebenaran karena sudah tersedia hasil analisis matematis-ilmiah dari pihak-pihak yang berwenang. Ia bukan lagi hasil opini atau kepercayaan saja, melainkan sebuah kenyataan yang bisa diteliti secara empiris-ilmiah menggunakan metode ilmiah. Orang melihat dan menguji langsung sesuai bukti dan metode ilmiah.
Bukan sampai di situ saja, kebijaksanaan kuno ini, kiranya bisa dipakai untuk memahami dan mengevaluasi banyak informasi dan banyak hal dalam hidup. Inipun sekaligus menunjukkan bahwa dalam banyak hal, manusia sering hidup dan meyakini apa yang tampak ‘benar’ atau dikatakan orang saja.