Andai Aristoteles, Al Ghazali, Ibn Rusyd, Immanuel Kant, Einstein dan Hawking sedang ngopi di alam sana, apa kiranya yang akan mereka bincangkan? Saya kira topik tentang alam semesta akan menarik minat mereka semua.
Di bawah ini sekedar dialog imajiner untuk memudahkan pembaca mengetahui benang merah di antara pandangan para ahli di atas mengenai kehadiran alam semesta.
Pertama, Aristoteles yang paling sepuh akan memulai, sembari menunggu kopi yang masih terlalu panas, “Alam semesta selalu ada, tidak diciptakan. Selalu ada bencana besar seperti banjir yang akan mengembalikan manusia ke awal peradaban”, Ujarnya tanpa basa-basi.
Gagasan awal Aristoteles yang kurang melibatkan Tuhan membuat Al Ghazali jengah. Ia tampak tidak nyaman. Sebelum Al Ghazali menimpali, Immanuel Kant yang tadinya mendengarkan dengan santai menyela.
Seolah tahu bahwa Al Ghazali berpendapat sebaliknya, Kant mengambil jalan tengah, “Begini, baik tesis bahwa alam semesta memiliki awal dan akhir atau antitesisnya bahwa alam semesta selalu ada, sama-sama memiliki alasan yang sama kuatnya”.
Kant melanjutkan, “Jika alam semesta tidak memiliki permulaan maka ada jangka waktu tak terhingga sebelum segala peristiwa apapun, dan ini tidak logis. Misal sebelum adanya manusia dan ketika peradaban Yunani (sambil menengok Aristoteles) sama-sama memiliki masa lalu yang tak terhingga dan ini jelas absurd”.
Kant masih belum berhenti, “Tapi jika alam semesta punya permulaan maka ada jangka waktu tak terhingga lamanya sebelum permulaan alam semesta. Ini akan membawa kita pada pertanyaan mengapa alam semesta dimulai pada waktu tertentu dan bukan pada waktu lainnya. Misalnya mengapa alam semesta diciptakan 50 ribu tahun yang lalu dan bukannya 100 ribu tahun yang lalu”. Kali ini Al Ghazali yang tampak berpikir menyiapkan bantahan.
Kant menegaskan, “antara tesis dan antitesis semacam itu saling kontradiksi dan jelas itu bertentangan dengan nalar murni”.
Kopi panas yang terhidang menjadi hambar di lidah mereka. Kali ini Al Ghazali tampak sudah tidak tahan lagi. Ia meletakkan kopinya lalu berkata, “Jelas akal kita tidak akan menjangkau maksud dan kehendak Tuhan. Tuhanlah yang menciptakan alam semesta. Penggunaan akal yang demikian ibarat seperti menggunakan pisau untuk menebang pohon”.
Ibnu Rusyd ingin menenangkan. Tapi, gagasan yang ada di kepalanya tetap harus ia dahulukan. “Begini sahabatku…”, Ibnu Rusyd memulai dengan kalem, “Jika alam semesta diciptakan, maka seperti yang disampaikan Al Farabi, apa kiranya yang membuat Tuhan menciptakan alam semesta dalam waktu tertentu dan bukan sebelumnya?”
“Jika ada perihal yang mengubah kehendak Tuhan dari yang sebelumnya tidak menciptakan alam semesta menjadi menciptakan alam semesta, maka jelas perihal itu akan mengurangi kemahakuasaan Tuhan. Sehingga pernyataan alam semesta punya awal akan bertentangan dengan kekuasaan Tuhan”, imbuhnya.
“Sahabatku Ibnu Rusyd, seperti yang kusampaikan sebelumnya, tentu kau tak bisa memahami kehendak Tuhan dengan akalmu. Kehendak Tuhan (iradat) tidak menempati ruang dan waktu, sehingga akalmu tak akan mampu memahaminya. Kehendak Tuhan mutlak adanya. Tak bisa kau pertanyakan mengapa ia menciptakan alam semesta dalam satu waktu tertentu dan bukan dalam waktu lainnya”, sanggah Al Ghazali.
Aristoteles kemudian membela Ibnu Rusyd. “Apakah kau setuju dengan prinsip kausalitas? Bahwa segala sesuatu pasti ada penyebabnya. Jika alam diciptakan, maka harus ada penyebab. Jika kita menganggap penyebabnya adalah Tuhan, maka kehadiran Tuhan juga mensyaratkan suatu penyebab lain”.
Aristoteles mencoba meyakinkan “Nah, yang demikian adalah kemustahilan. Dengan begitu, seharusnya alam semesta memang tidak diciptakan”.
“Lantas apa kau ingin mengatakan bahwa alam semesta juga azali sebagaimana sang pencipta?” Sela Al Ghazali.
“Ehm,….” timpal Ibn Rusyd, “tapi keazalian Tuhan dan keazalian alam semesta berbeda. Keazalian Tuhan lebih utama”.
Melihat situasi yang saling menimpali, Einstein yang merupakan orang baru di alam itu hendak menenangkan, “Pangapunten, nyuwun sewu. Menurut saya masalahnya terletak pada asumsi kita pada waktu”.
“Mungkin bapak-bapak belum sempat mengenal Newton?”, Einsten melanjutkan. “Newton juga berpendapat terdapat waktu mutlak. Akibatnya kita seolah bisa menghitung waktu mundur hingga tak terbatas. Menurutnya waktu dan ruang hadir secara terpisah”.
“Tapi, menurut penelitian saya semasa hidup, menyatakan bahwa waktu itu relatif. Waktu dan ruang saling terikat dan saling mempengaruhi sebagaimana saya biasa menyebutnya dalam teori relativitas”.
“Jadi, berdasarkan relativitas umum waktu tercipta ketika ruang tercipta, tepatnya ketika ledakan besar. Sehingga segala macam pertanyaan yang mengacu pada apa yang terjadi sebelum ledakan besar (Big Bang) menjadi tidak relevan. Karena saat itu waktu belum ada”, Einstein puas menjelaskan.
Tak ada yang tampak kesulitan memahami maksud Einstein. Ibnu Rusyd segera melontarkan pernyataan, “Teorimu itu tak dapat membuktikan bahwa alam semesta diciptakan”.
Hawking, sebagai peserta yang paling muda sadar untuk banyak bicara di awal. Tapi karena Einstein sudah memulai, kali ini ia yakin harus melanjutkan.Dengan nada merendah ia mulai, “Mohon maaf kagem bapak-bapak semua. Bek menawi diijinkan, saya akan sedikit bercerita beberapa penemuan terbaru di jaman saya”.
Melihat yang lain mengangguk, Hawking yakin ingin melanjutkan, “Begini, barang kali bapak-bapak belum mengenal Huble, seorang yang berhasil mengetahui bahwa galaksi-galaksi bergerak saling menjauh”.
“Dengan kata lain alam semesta kita tengah mengembang dengan kelajuan yang bisa diukur. Itu artinya dulunya alam semesta kita lebih rapat. Jika kita terus tarik mundur, maka dapat disimpulkan bahwa alam semesta kita dulunya satu kesatuan yang memiliki awal”. Tukasnya.
“Nah, Apa kata saya. Terbukti sudah bahwa alam pasti diciptakan”, Imbuh Al Ghazali.
“Sebentar, saya tak hendak membela siapa pun” Hawking memberi klarifikasi. “Yang saya sampaikan adalah alam semesta memiliki permulaan bukan pencipta. Itu jelas hal yang berbeda”.
“Lantas bagaimana sesuatu bermula kalau ia tidak diciptakan?” buru-buru Al Ghazali menyergah.
“Berdasarkan teori mekanika kuantum, dikenal prinsip ketidakpastian Heissenberg. Menurut prinsip itu segala sesuatunya bisa saja bermula dengan sendirinya”, Hawking merendahkan nada bicaranya. Ia takut melukai perasaan yang lain.
Hawking lupa, meskipun di warung kopi, ia sedang berhadapan dengan para akademisi paling hebat di jamannya. Tentu, perbedaan pendapat tak akan menyulut kemarahan mereka.
“Ah, saya tak setuju. Saya termasuk yang mengembangkan teori mekanika kuantum sampai diganjar Nobel Prize, tapi tetap tak percaya prinsip ketidakpastian Heissenberg. Ada yang salah dengan prinsip itu. Sebagaimana saya sering sampaikan, Tuhan jelas tak bermain dadu”.
Tak terasa kopi di depan mereka sudah dingin. Bagi orang-orang alim dan ahli seperti mereka, diskusi bukan mencari pemenang, melainkan menambah wawasan dan sudut pandang.
Nah, sekarang sepenuhnya pilihan Anda. Jika terlalu sulit bagimu memahami Tuhan dan alam semestaNya, tempatkan saja Dia di hatimu sebagaimana Dia sering bersabda.
Referensi:
- Tahafut Al Falasifah
- Tahafut Al Tahafut
- Sejarah Singkat Waktu