Jatuhnya kota Baghdad sebagai pusat Dinasti Abbasiyah pada tahun 1158 H. ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah, akan tetapi juga merupakan awal masa kemunduran dari politik dan peradaban dalam dunia Islam. Karena, pusat peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan di Baghdad ikut lenyap dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan.
Dalam perspektif sejarah pemikiran, selanjutnya kemunduran yang dihadapi oleh umat Islam tersebut mendapatkan pengabsahan dari aliran teologi Jabariyah yang menyatakan bahwa, semua yang terjadi itu merupakan takdir Tuhan yang harus diterima dengan lapang dada. Sebagai akibat lebih lanjut dari kehancuran dan kekalahan dunia Islam atas orang kafir, telah mendorong muncul dan berkembangnya kecenderungan sufi tertentu dalam kehidupan kaum Muslimin.
Mereka melalui angan-angannya berupaya mencari dunia nyata dari pemerintahan yang lebih tinggi di atas pemerintahan dunia, yakni pemeritahan rohani. Dan ta’wil merupakan suatu piranti yang digunakan sebagai konsiliasi tertentu antara diri mereka dengan dunia, dengan beralih dari kehilangan kepada penemuan, dari hampa kepada serba ada, dan dari putus asa kepada harapan.
Memang, kehidupan dan pemikiran mistis saat itu telah mendominasi kehidupan masyarakat muslim di seluruh dunia Islam. Demikian juga Pada paruh abad yang sama, muncul seorang ulama besar Ibn Taimiyah (w. 1328 H.) mengkritik secara tajam praktik dan pemikiran Sufisme. Menurutnya, para Sufi terbagi dalam tiga kategori.
Pertama, adalah kelompok masyayikh al-Islam, masyayikh al-Kitab wa al-Sunnah dan A’imat al-Huda seperti, Fudhail ibn Iyad (w. 803 M), Ibrahim ibn Adham (w. 777 M), Syaqiq al-Balkhi (w.810 M), Ma’ruf al-Karkhi (w. 815 M), Bishr al-Khafi (w. 841 M), Sari al-Saqathi (w. 871 M), Abu Sulaiman al-Darani (w. 831 M), Junaid al-Baghdadi (w. 909 M), Sahl ibn Abdullah al-Tustari (w. 897 M), Amr ibn Usman al-Makki (w. 904 M), Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1166 M), Hammad al-Abbas (w. 1130 M) dan Abu al-Bayan (w. 1156 M). Mereka adalah kelompok Sufi yang praktiknya tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan kehidupan. Pun, pengalaman mereka sesuai dengan Syariah.
Kedua, adalah kelompok yang mengalami keadaan tidak normal, syathahat (berkata yang lepas kontrol) dan mabuk. Mereka dipandang sebagai orang yang bertentangan dengan syariah, tetapi cepat atau lambat mereka pulih kembali. Kelompok ini adalah seperti, Abu Yazid al-Busthami (w. 875 M), Abu al-Husain al-Nuri (w. 907 M) dan Abu Bakar al-Syibli (w. 946 M). Untuk kelompok ini, Ibn Taimiyah tidak berkomentar demikian banyak.
Ketiga, adalah kelompok yang dianggapnya sesat dan bertentangan dengan ajaran Islam, karena mereka menganut doktrin inkarnasi (hulul) dan wahdatal-wujud. Diantara dari kelompok ini adalah seperti, Al-Hallaj (w. 922 M), Ibn Arabi (w. 1240 M), Sadruddin al-Qunawi (w. 1273 M), Ibn Sabi’in (w. 1269 M), dan Tilimsani (w. 1291 M). Kelompok inilah yang mendapat kritik tajam dari Ibn Taimiyah.
Syahdan, pada akhir abad kedua belas sampai awal abad keempat belas, tidak terkecuali tempat-tempat yang pernah disinggahi oleh al-Jili sendiri dalam mengadakan perjalanan spiritualnya ke berbagai daerah, seperti Kusyi (India), Zabid (Yaman), Makkah, Palestina dan Mesir. Di beberapa daerah itu, ia bersentuhan dengan berbagai budaya lokal dan aliran keagamaan di luar Islam. Karena itu, dalam karyanya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awa’il wa al-Awakhir, ia juga menjelaskan beberapa aliran di luar Islam dan berupaya menangkap esensi dari aliran-aliran tersebut.
Kita tahu, al-Jili terkenal dengan teori sufistiknya tentang insan kamil (manusia sempurna). Ia mengidentifikasikan insan kamil ini dalam dua pengertian. Pertama, dalam pengertian konsep pengetahuan tentang manusia yang sempurna; kedua, terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama dan sifat-sifat Allah kedalam hakikat atau esensi dirinya.
Menurutnya, manusia dapat mencapai kesempurnaan insaniahnya melalui latihan rohani dan pendakian mistik. Latihan ini diawali dengan kontemplasi tentang nama dan sifat-sifat Allah. Kemudian masuk kedalam suasana sifat-sifat Allah dimana ia mulai melangkah menjadi bagian dari sifat-sifat tersebut, dan memperoleh kekuasaan yang luar biasa.
Berikutnya, ia melintasi daerah nama serta sifat Allah, masuk kedalam hakikat mutlak menjadi manusia Allah atau insan kamil. Ketika itulah, matanya akan menjadi mata Allah, kata-katanya adalah kata-kata Allah, dan hidupnya menjadi hidup Allah. Kesemuanya ini didasarkan pada asumsi bahwa, segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Esensi murni yaitu Wujud mutlak yang tak tergambarkan dan tergapai hakikatnya oleh segala pemikiran manusia yang fana.
Wujud mutlak itu lantas bertajalli secara sempurna menjadi alam semesta. Jadi, baginya, alam ini tercipta dari ketiadaan (creatio ex nihilo) dalam ilmu Allah. Ketika dalam kesendirian-Nya, yang ada hanya Dzat Allah satu-satunya. Dalam tajalli ini, manusia ideal adalah sintesis dari makrokosmos yang permanen sekaligus aktual, cermin citra Allah secara paripurna. Dan untuk mencapai tingkatan ini, seseorang harus melewati tahapan pendakian spiritual (taraqqi) dimulai dari pengamalan dan pemahaman syariat secara baik. Hal ini tentu dibarengi dengan keyakinan pada rukun iman yang kokoh.
Dengan bekal keduanya, seorang sufi lantas dapat memasuki tingkat kesalehan, dimana terdapat kontinuitas dalam menunaikan ibadah kepada Allah atas dasar khauf dan raja’. Dari al-salih, seseorang meneruskan pada tingkat al-ihsan yang terdiri dari tujuh maqam: taubat, inabah, zuhud, tawakkal, ridha, tafwidh, dan ikhlas. Pada tingkatan ini, seseorang sudah mulai disinari oleh perbuatan-perbuatan Allah Swt.
Beranjak dari tahapan ihsan, seorang sufi dapat mendaki ke tingkatan penyaksian (al-syahadhah), dimana hati dipupuk kemauan dan cintanya kepada Allah dengan senantiasa mengingat-Nya serta melawan segala bentuk hawa nafsu. Puncaknya, seorang sufi akan memasuki tingkat kebenaran atau ma’rifat yang mempunyai tiga bentuk.
Adalah ilmu al-yaqin (di mana sufi disinari asma Allah), ayn al-yaqin (di mana sufi disinari sifat-sifat Allah) dan haqq al-yaqin (di mana sufi disinari zat Allah. Dengan demikian, diri sufi akan fana’ di dalam asma, sifat dan zat Allah. Setelah ma’rifat, seorang sufi dapat meneruskan ke maqam qurbah, yakni merangkak sedekat mungkin dengan Allah hingga sampai pada derajat insan kamil.
Rupa-rupanya, selain dikenal sebagai sufi, al-Jili adalah figur sufi yang kreatif menulis dalam bidang tasawuf. Karya-karyanya ada yang masih berupa manuskrip tersimpan di perpustakaan berbagai negara. Sekurang-kurangnya, ada empat kitab yang sudah dicetak dan dipublikasikan secara luas yaitu, al-Insan al-Kamil, Haqiqat al-Haqaiq, al-Manazhir al-Ilahiyyah dan Maratib al-Wujud. Sedangkan jumlah karya tulisnya secara pasti belum diketahui. Sebagian ada yang mengatakan bahwa karya al-Jili tak kurang dari 30-an.
Tentang al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il. Ini merupakan karya dari al-Jili yang paling terkenal. Ia membentangkan tentang konsepnya al-Insan al-Kamil, yang banyak mengundang perhatian dari para tokoh Sufi sesudahnya. Sehingga banyak kitab-kitab yang memberikan syarh (penjelas) terhadap kitab ini seperti, Muwadhahat al-Hal karya Ahmad al-Anshari, Kasyf al-Bayan karya al-Nabilisi, Syarh Ali Zada Abd al-Baqi ibn Ali dan Syarh Syeikh Ali ibn Hijaz.
Sementara Maratib al-Wujud, kitab ini berupa karangan ringkas yang menjelaskan tentang tingkatan dari maqam-maqam yang dilalui para sufi dari tingkat al-Ammah al-Muthlaq sampai al-Insan al-Kamil. Namun demikian, dari berbagai karangannya, maka kitab al-Insan al-Kamil inilah sebagai fokus kajiannya. Sedangkan yang lainnya (ada yang mengatakan) hanya sebatas syarh terhadap kitab ini.