Senin, Oktober 7, 2024

Al-Ghazali: Dari Keraguan Menuju Kepastian (1)

Akbar Darojat
Akbar Darojat
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Surabaya Angkatan 21

Keraguan merupakan salah satu aspek terpenting dalam kegiatan berfilsafat. Keraguan membuat orang selalu menimbang suatu pemikiran atau ajaran dan tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan. Tak peduli bila ajaran atau pemikiran tersebut telah menjadi pedoman hidup masyarakat atau kepercayaan yang ditanamkan oleh kedua orang tua kita.

Sebab, keraguan menuntut seseorang untuk tidak gampang percaya, yakin dan beriman akan suatu ajaran atau pemikiran yang bahkan dianggap oleh mayoritas orang sebagai kebenaran. Hal ini tak terlepas dari fungsi keraguan itu sendiri yakni, menemukan pengetahuan yang hakiki. keraguan menginginkan pengettahuan yang kebenarannya tak tergoyahkan dan tak tercebur dalam doggmatisme.

Kalau kita lacak dalam historitas filsafat, kita akan menemukan bahwa Sokrates, melalui diktum “Aku Tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa”, sebenarnya secara implisit menunjukkan bahwa keraguan merupakan metode yang dapat digunakan dalam mencari kebenaran. Diktum itu mengajarkan bahwa kita mesti selalu mencari dan tidak gampang menerima suatu kebenaran. Kita harus berani dan terbuka mempelajari segala macam kebenaran, sekalipun kebenaran itu bertentangan dengan pengetahuan yang sekarang tertancap dalam diri kita. Pendeknya, untuk menuju “ke-tahu-an” kita harus selalu merasa “tidak tahu”. Karena itu, secara tak langsung, diktum tersebut menjustifikasi keraguan sebagai metosde krusial dalam menggapai kebenaran.

Namun, bagi saya, keraguan sebagai metode untuk mencari kebenaran baru dieksplisitkan oleh Al-Ghazali. Ketika membaca kitabnya yang berjudul Munqidz Min Al-Dalal, saya baru menyadari bahwa Al-Ghazali adalah orang yang paling awal—sebelum Rene Descartes1—dalam menggunakan skeptisisme untuk memperoleh kebenaran yang pasti. Al-Ghazali, dalam karya yang bersifat autobiografis tersebut telah meragukan berbagai metodologi pemikiran, aliran dan ilmu yang digandrungi pada masanya hingga kemudian mengklaim kebenaran dalam tubuh tasawuf (sekalipun ia masih tetap mengkritisinya).

Untuk mengetahui bagaimana metode skeptisismenya dan apa yang membuatnya menjadi seorang skeptis akan saya jelaskan dalam uraian di bawah ini.

Munqidz Min Al-Dalal adalah kitab yang ditulis oleh Al-Ghazali setelah melakukan upaya pencarian kebenaran yang penuh lika-liku, kegetiran dan kecemasan. Ia mengaku telah beruzlah dan berkholwat dari satu tempat ke tempat lain hingga mengasingkan diri dalam waktu yang cukup lama. Semua itu dilakukan karena dalam fase hidupnya ia pernah mengalami krisis epistemologis. Kejadiannya berawal ketika ia memberikan ceramah/kuliah rutin kepada masyarakat di sekitar Baghdad.

Sampai kemudian adiknya datang dan mengatakan “Sampai kapan kau menjadi batu asah yang hanya bisa menajamkan orang lain dan dirimu sendiri tidak tajam”. Sontak saja setelah itu mulutnya tidak menjadi bisu. Ia kemudian menjauh dari kerumunan selama berhari-hari. Adiknya mengatakan bahwa mulutnya bisa sembuh apabila ia berangkat beruzlah. Sehingga, ia meninggalkan segala gelar dan jabatannya dan pergi beruzlah. Setelah melakukan itu, salah satu kitab awal yang ditulisnya ialah Munqidz Min Al-Dalal.

Al-Ghazali membuka kitab itu dengan menceritakan bahwa ia telah mentransformasi dirinya dari seorang taqlid (sekedar mengikuti) menjadi istibshar (mengenali sesuatu dengan analisa). Ia membuktikan perubahan ini dengan mempelajari ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu bathiniyyah dan ilmu tasawuf hingga ke akar-akar nya. Namun, ia mengakui betapa sulitnya menyucikan perkara yang haq (benar) dari berbagai kontradiksi dalam metode ilmu-ilmu tersebut. Kendati demikian, ia tak menyerah dan begitu berani menghadapi masalah itu. Sebagaimana ia telah menuturkan:2

وقد أناف السن على الخمسين، اقتحم  لجنة هذا البحر العميق، وأخوض غمرته خوض الجسور، لا خوض الجبان الحذور، واتوغل في كل مظلمة ، وأتهجم على كل مشكلة ، وأتفحم  كل ورطة ، وأتفحص عن عقيدة كل فرقة

Artinya: Dan ketika usiaku sudah mencapai lima puluh tahun lebih, aku mengarungi intinya lautan yang dalam lalu aku menyelam ke dalamnya bukanlah seperti seorang pengecut yang sangat penakut, tetapi aku menelusuri setiap sisi yang amat gelap dan aku serang setiap ada rintangan kemusykilan, aku hamburkan diriku pada setiap tanah berlumpur, dan saya memeriksa setiap akidah masing-masing golongan.

Adalah skeptisisme yang ia gunakan dalam menyucikan ilmu-ilmu tersebut. Sebelum itu, ia terlebih dahulu menceritakan krisis epistemologis yang pernah menggerogoti tubuhnya. Dalam konteks ini, ia mengatakan bahwa dulunya ia mengklaim empirisme sebagai epistemologi kelimuan yang paling sahih. Segala sesuatu yang tertangkap oleh panca indra tak mungkin salah karena ia begitu terang dan jelas.

Namun, setelah ia pikir-pikir, rupanya kebenaran ini tidak pasti. Untuk itu, ia mendemonstrasikan bahwa bintang yang ada di langit terlihat kecil apabila kita lihat dengan mata. Padahal ketika kita menelisiknya dengan ilmu geometri bintang itu jauh lebih besar ukurannya ketimbang bumi itu sendiri. Bukti ini menunjukkan betapa rapuhnya empirisme dalam upaya menemukan kebenaran.

Karena itu, ia kemudian beralih pada rasionalisme. Epistemologi yang bercongkol pada rasio itu memang memberikan kebenaran yang pasti. Rasio mempunyai kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan salah; mana yang tepat dan keliru dan mana yang valid dan tak valid.

Dengan rasio, orang tahu bahwa 1+1—sampai kapanpun—hasilnya adalah 2. Maka, rasio adalah alat yang dapat digunakan untuk menemukan kebenaran. Namun, sekali lagi, keraguan hinggap dalam jiwa Al-Ghazali. Ia menegaskan bahwa ketika kita tidur kita percaya atas perkara (impian) dan mengkhayalkan berbagai hal yang telah kita lihat dengan mantap, sehingga atas dasar apa kita yakin atas sesuatu yang kita lihat/pikir dalam keadaan terjaga. Lebih jelasnya, apakah kita benar-benar sadar dalam keterjagaan kita? Atau kelihatannya saja terjaga padahal sebenarnya dalam keadaan tidur?

Keraguan itu menjadi penyakit yang menggerogoti Al-Ghazali selama dua bulan dan selama itu ia melalang buana ke berbagai madzhab/aliran “Sophistik” yang hanya bisa menentukan langkah tindakan saja, namun bukan logika dan ucapan. Penyakit itu kemudian sembuh dan hati Al-Ghazali kembali sehat dan normal.

Dengan ini, Al-Ghazali kembali menerima kepastian dan kredibilitas akal sebagai alat untuk mencapai kebenaran yang tak tergoyahkan. Ia mengaku bahwa kembalinya kepercayaan itu bukanlah setelah ia menyusun pembuktian dan mengemukakan dalil-dalil yang apik dan akurat, melainkan berkat cahaya yang dilimpahkan oleh Allah SWT ke dalam dadanya.

Akbar Darojat
Akbar Darojat
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Surabaya Angkatan 21
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.