Sabtu, April 20, 2024

Al-Ghazali dan Dimensi Filsafat yang terabaikan

Muzammil
Muzammil
Lahir dari pasangan Ayah terkuat, Ahmad Zaini dan Ibu (almarhumah) tercinta, Ning Sholihah. Tinggal di Gresik. Asal Lamongan. Aktif di Pelopor (Lembaga Pers Mahasiswa)

(Tulisan ini disarikan dari dua buah buku Prof. Dr. M. Amin Abdullah dengan judul Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam dan Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif)

Idola kaum pesantren dan Sunni yang karyanya (ihya’ al-ulu>m al-di>n) selalu dikaji dan diajarkan, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Dilahirkan di Thus di Khurasan –dekat Masyhad sekarang– pada tahun 450 H/1058 M. Pendidikannya diawali di Thus, kemudian pergi ke Jurjan, setelah itu pergi ke Naisabur, di situ pula Imam al-Ghazali menjadi muridnya al-Juwaini. Beberapa guru yang lain adalah Abu ‘Ali al-Farmadhi. Pada 478 H/1085 –bertepatan dengan wafatnya al-Juwaini– dari Naisabur Imam al-Ghazali pergi ke kampus Nizam al-Mulk, di sana Ia diterima dengan kehormatan dan kemuliaan. Pada suatu saat sebelum perpindahannya ke Bagdad, Imam al-Ghazali mengalami fase skeptisisme dan menimbulkan awal pencarian yang penuh semangat terhadap sikap intelektual yang lebih memuaskan dan cara hidup yang lebih berguna.

Mengajar di Madrasah Nizha>miyah atas arahan Nizam al-Mulk pada tahun 484 H/1091 M. Menjadi guru besar di sana dan mengajar mahasiswa dengan jumlah lebih dari tiga ratus selama empat tahun. Pada saat yang sama, Imam al-Ghazali menekuni kajian filsafat dengan penuh semangat lewat bacaan pribadi dan tak lupa juga menulis sejumlah buku. Namun, pada tahun 488 H/November 1091 M dia menderita penyakit jiwa yang membuat dirinya secara fisik tak dapat lagi memberi kuliah. Beberapa bulan kemudian meninggalkan Bagdad. Motif-motif  pengundurannya bermacam-maca, sehingga sampai hari ini masih didiskusikan.

Kembali ke Naisabur adalah pilihannya setelah pengunduran diri dari Bagdad. Pada saat itulah di Thus dan Damaskus, Imam al-Ghazali hidup sebagai sufi yang miskin, selalu menyendiri, menghabiskan waktunya  dengan meditasi dan pelatihan-pelatihan ruh}aniyah lainnya. Pada periode inilah dia menulis  karangan yang sampai hari ini masih dikaji, bahkan dijadikan pedoman utam di beberapa pesantren, ihya’ al-ulu>m al-di>n. Menjelang akhir periode ini Imam al-Ghazali telah berkembang jauh sepanjang jalan mistik, dan yakin bahwa itulah jalan hidup tertinggi bagi manusia. Dalam ihya’, Imam al-Ghazali menyusun sistematika doktrin mistik secara rasional dan filosofis. Namun, adopsi Imam al-Ghazali atas pandangan hidup sufi pada akhirnya dalam kenyataan merupakan suatu konsekuensi dari kegagalannya untuk menemukan solusi filosofis atas persoalan-persoalan teologi. Bandingkan dengan paradigma integrasi-interkoneksi milik Prof. Dr. M. Amin Abdullah yang menjadikan filsafat sebagai etik-emansipatoris. Baik disadari atau tidak, Imam al-Ghazali tetap menganggap penting tipe pemikiran ini (filsafat) untuk meraih keutamaan mistik tertinggi.

Imam al-Ghazali, sebenarnya, sama sekali tidak melarang menggunakan pendekatan filosofis, yang Ia tidak suka dan kritik habis adalah pendekatan model metafisika-spekulatif Ibnu Sina dan para filosof peripatetik yang lain. Namun, Imam al-Ghazali tidak melarang orang untuk belajar logika – bahkan di beberapa cover buku Manthiq terdapat kutipan kalimatnya, yang secara makna kurang lebih berbunyi “Barang siapa yang belum menguasai ilmu Logika, maka ilmunya tertolak atau tidak bisa dipertanggungjawabkan” – tabi’iyyat, matematik dan lain sebgainya. Perkara yang membuat persepsi keliru, para pengikut Imam al-Ghazali – yang lebih suka mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan – menggambarkan Imam al-Ghazali seolah-olah anti filsafat dalam keseluruhan cabang-cabangnya.

Agak sulit orang membayangkan al-Ghazali dapat menyusun bangunan Ihya’ Ulu>m al-Din seperti yang sekarang ini ada, jika tidak mengenal khazanah intelektual-filososfis Yunani. Kitab maqa>shid al-Fala>sifah – menurut penelitian Seyyed Hossein Nasr – adalah terjemahan hampir kata per kata dari buku karangan Ibnu Sina, Da nishnamahi’ ala’i. Jika memang demikian, maka Imam al-Ghazali adalah seorang figur yang dengan baik menguasai filsafat. Hal ini diakui sendiri dalam al-Munqidh min al-Dhalal. Melalui metodologi filsafat yang diperoleh dari para pendahulunya, maka Imam al-Ghazali dapat menggugat dan mengkritik ide Ibnu Sina secara filososfis pula. Jika memang mau menganalogikannya dengan ilmu lain, seseorang tidak akan bisa menolak atau melakukan kritik terhadap suatu ilmu kalau belum memahami ilmu yang dikritik. Ilustrasinya, Si A tidak akan bisa melakukan kritik terhadap ilmu Fiqih, kecuali Si A juga sangat menguasai ilmu Fiqih tersebut.

Imam al-Ghazali menggunakan metodologi filsafat yang kritis untuk mengkritik ide-ide Ibnu Sina. Namun, kekuatan daya kritis-filosofis-analitis al-Ghazali tidak dapat diwariskan kepada generasi penerusnya, lantaran generasi penerusnya kurang apresiatif terhadap semangat dan ethos Imam al-Ghazali. Pemikiran yang diambil oleh para pengikutnya adalah “Produk jadi” pemikirannya, tetapi bukan sistem berpikir, pendekatan atau metodologi yang digunakannya. Akibatnya, “Produk jadi”  pemikiran Imam al-Ghazali lebih diutamakan, tetapi bukan semangat metodologinya yang lincah dan kaya nuansa yang perlu diteladani penganutnya. Praktik sejarahnya merekam gambaran sosok Imam al-Ghazali di hadapan para pengikutnya sepenuhnya terbalik dari apa yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali sendiri. Semangat anti filsafat Imam al-Ghazali lebih tertangkap dan terekam, sedang metodologi berpikirnya terkesampingkan – untuk tidak mengatakan terlupakan.

Jika Imam al-Ghazali dapat berpikir secara kritis epsitemologi seperti itu, aturannya, yang dapat diambil dari Imam al-Ghazali adalah semangat dan metodologi pemikiran kritisnya terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh jamannya. Bukan “Produk jadi” yang bersifat “Instant” yang langsung dipruges (distempel) begitu saja, tanpa melihat proses pergumulan panjang yang dimulai oleh Imam al-Ghazali dari pribadinya.

Muzammil
Muzammil
Lahir dari pasangan Ayah terkuat, Ahmad Zaini dan Ibu (almarhumah) tercinta, Ning Sholihah. Tinggal di Gresik. Asal Lamongan. Aktif di Pelopor (Lembaga Pers Mahasiswa)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.