Rabu, Oktober 9, 2024

Akar Seteru Islam Abangan versus Islam Putihan

Awin Sutan
Awin Sutan
Saya percaya proses yang serius dan baik akan membuahkan sesuatu yang baik pula. Begitulah resonansi yang bergerak di alam semesta. Saya Awin Sutan Mudo, penulis buku dan pegiat media, tinggal di Jambi.

Salah satu guna ilmu sejarah adalah menjelaskan sebab musabab terjadinya sebuah peristiwa. Tidak ada kejadian sosial politik yang berdiri sendiri. Ia selalu berkelindan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya.

Sebagai contoh, meruyaknya kekerasan atas nama Islam dan meningginya semangat keberagaman di Indonesia akhir-akhir ini kerap dijelaskan dengan merujuk pada era Soeharto. Bagaimana sikap antagonis Soeharto terhadap Islam. Hal itu kerap diklaim telah mendorong tumbuhnya gerakan radikal. Tekanan rezim orde baru yang berlebihan terhadap gerakan Islam politik dianggap membuat artikulasi kesilaman mereka tersumbat.

Benarkah begitu?

Buku berjudul NUSANTARA (Sejarah Indonesia) yang ditulis seorang peneliti asal Belanda, Vlekke, menjawab pertanyan penting itu. Buku ini merupakan hasil riset Vlekke sejak tahun 1940 dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1943. Buku ini menjelaskan, bangkitnya semangat keagamaan belakangan ini tidak muncul begitu saja. Tidak bisa hanya di potret dari satu faktor tekanan Orde baru saja, misalnya.

Tapi, ia merupakan rangkaian perjalanan panjang islamisasi di Indonesia. Proses penguatan karakter Islam bermula sejak 1830, setelah berakhirnya Perang Jawa dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro. Pada masa ini terjadi gelombang pasang kaum putihan dalam sejarah Indonesia. Putihan merujuk kelompok santri. Istilah ini digunakan untuk membedakannya dari Islam abangan.

Istilah putihan lebih populer sebagai lawan kata abangan. Menelusuri istilah putihan dan abangan di era 1800an itu penting untuk menyibak awal mula terjadinya polarisasi dalam masyarakat Islam di Jawa. Istilah abangan dimunculkan oleh kelompok putihan, yang menganggap abangan adalah kelompok muslim yang menjalankan Islam tidak sempurna. Klaimnya, hanya merekalah, kaum putihan, yang menjalankan Islam secara benar.

Pada mulanya, kehidupan keagamaan di Indonesia lebih diwarnai dengan sintesa mistik, yang diambil dari tradisi dan khazanah budaya pra Islam. Muslim Indonesia pada masa itu menjalankan agama mereka dengan semangat semacam itu. Kaum putihan muncul dan menamai keberagaman itu sebagai kurang Islami. Kaum abangan distigma orang-orang yang tidak soleh, yang meninggalkan kewajiban-kewajiban agama.

Para haji dan pelajar yang pulang dari Mekkah memainkan peran cukup besar dalam menyemai tumbuhnya kaum putihan di Indonesia. Mereka inilah yang secara gencar dan terus menerus melakukan pemurnian Islam di Nusantara. Tentu saja, yang menjadi model dan rujukan mereka adalah praktik-praktik Islam yang dijalankan di Timur Tengah, di Arab Saudi khususnya. Pemahaman kaum putihan, praktik Islam lokal, Islam abangan adalah praktik keliru yang musti diluruskan.

Polarisasi atau pertarungan kelompok putihan dan abangan tak hanya terjadi di masa orde baru, apalagi reformasi. Sehingga, fenomena munculnya berbagai gerakan Islam pasca reformasi tak bisa dipisahkan dari akar sejarahnya yang panjang, yakni pergulatan kaum putihan melawan Islam abangan–kaum yang tak menegasikan budaya lokal sebagai ciri khas Nusantara.

Vlekke menemukan bahwa kejayaan Majapahit, sebuah kerajaan yang diagungkan kaum abangan, runtuh bukan disebabkan oleh kerajaan Islam. Ketika Ayam Wuruk mangkat, belum ada kerajaan Islam di jawa. Yang sesungguhnya terjadi adalah selama periode kemunduran majapahit, armada asing dari China mulai menguasai jalur perdagangan di Nusantara.

Dan mulai tahun 1400an, para pelaut eropa (Spanyol dan Portugis) berdatangan dan merapat ke pantai Jawa. Dua kekuatan besar ini (Armada China-Spanyol dan Portugis) memainkan peran sangat penting atas semakin terpinggirnya kerajaan hindu di Jawa. Menurut Vlekke, seiring kemunduran Majapahit di sisi lain mulai munculnya kerajan kecil Islam.

Bahkan mereka mengagumi Majapahit dan berusaha meniru masa kejayaannya ketimbang mendiskreditkan. Sehingga, raja islam Jawa lebih dekat ke tradisi Majapahit ketimbang tradisi Islam di semenanjung arabia. Budaya lokal yang sudah dipelihara sejak kejayaan Majapahit diteruskan oleh raja-raja muslim Jawa.

Ketika Portugis datang, para raja Jawa dihadapkan pilihan sulit antara memilih bersekutu dengan Portugis atau bekerjasama dengan Johor dan Demak (kerajaan Islam saat itu).Melihat perilaku portugis dengan catatan kecurangannya, raja-raja Jawa kemudian lebih memilih Islam.

Selain kedekatan budaya, raja jawa mengidentifikasi Islam sebagai agama yang memberikan fleksibelitas yang tinggi ketimbang agama Kristen yang dibawa Portugis. Jika mereka masuk agama Kristen, bukan hanya harus tunduk pada kekuasaan Portugis, tapi juga harus mengganti tradisi mereka dengan budaya baru yang dibawa orang-orang kulit putih itu.

Selama beratus-ratus tahun lamanya, raja-raja dan masyarakat Jawa menganggap Islam sebagai agama damai penuh dengan toleransi. Selama tiga setengah abad keberadaan Belanda di Nusantara, mereka menghadapi ratusan pemberontakan dan perang.Perlawanan paling gigih dan paling ditakuti Belanda adalah penggalangan solidaritas keagamaan lewat narasi JIHAD.

Jihad yang dikomanodi Diponegoro merupakan gerakan yang paling berbahaya dan paling massiv yang pernah dihadapi Belanda di Jawa. Perang Jawa ini berlangsung selama 5 tahun dan menciptakan trauma besar bagi Belanda. Jihad menjadi kata yang sangat menakutkan. Orang-orang Jawa yang mulanya toleran tiba-tiba menjadi pemberang dan mudah membunuh.

Kegelisahan ini lalu mendorong Belanda menurunkan Cristian Snouck Hurgronje, profesor di Universitas Leidin untuk meneliti dan mempelajari kenapa Islam bisa membuat orang Jawa memberontak, mudah marah dan bersedia mati demi agamanya. Hasil riset Hurgronje, salah satu faktor penting yang membawa pola keberagaman orang-orang Indonesia berubah adalah para haji dan pelajar Jawi yang pulang dari Mekkah.Sepulang dari Mekkah, mereka tak hanya membawa kurma dan air zam-zam, melainkan pemahaman keislaman yang kaku dan intoleran.

Melihat ketidakadilan yang terjadi di kampungnya, para haji dan pelajar jawi asal Mekkah menemukan perpaduan yang cocok untuk melawan ketidakadilan dengan keinginan menjadi lebih saleh. Sehingga Jihad melawan kafir londo adalah jawaban yang paling tepat kala itu. Meksipun kafir londo sudah pergi dan Nusantara sudah merdeka, semangat jihad dan api perang jawa masih terus berkobar. Kali ini musuhnya bukanlah pemerintah kolonial, tapi pemerintah muslim yang dianggap kurang Islami. Berbagai kelompok islam radikal dan konservatif yang banyak muncul belakangan ini, yang menggunakan cara-cara kekerasan adalah pewaris kaum putihan.

Mereka menganggap dunia di sekelilingnya telah menjadi abangan. Meski masyarakat Indonesia secara umum sudah Islami, kaum putihan selalu merasa bahwa yang lain adalah abangan dan hanya diri mereka sendiri yang putih, suci dan bersih. Karena itu, penting bagi kita untuk memahami dan menyelami akar sejarah bangsa ini, agar bisa membaca dan memprediksi bagaimana nasib kehidupan keberagaman bangsa kita di masa depan.(Awin SM)

Awin Sutan
Awin Sutan
Saya percaya proses yang serius dan baik akan membuahkan sesuatu yang baik pula. Begitulah resonansi yang bergerak di alam semesta. Saya Awin Sutan Mudo, penulis buku dan pegiat media, tinggal di Jambi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.