Selasa, Agustus 26, 2025

Akademisi Enterpreneur Demi Kampus Relevan

Wawan Novianto
Wawan Novianto
Dosen IAIN Kerinci, founder CND Publisher dan penulis buku "Strategi Bersaing di Era VUCA" terbitan Grafindo
- Advertisement -

Seberapa jauh organisasi bertahan di masa depan ditentukan dengan seberapa besar ia masih dibutuhkan oleh konsumennya. Kita bisa melihat banyak contoh organisasi yang besar namun kini bangkrut karena produknya tidak relevan dengan perkembangan zaman. Seberapa jauh kampus akan bertahan ditengah pertanyaan apakah saat ini kuliah masih penting atau tidak adalah relevansi kampus itu sendiri atas kebutuhan masyarakat.Dengan perkembangan teknologi masyarakat menginginkan pelajaran yang relevan dan bukan hanya sekedar teori. Mahasiswa sebagai konsumen kampus, menginginkan hasil yang kongkrit dari pengorbanan waktu dan biaya selama kuliahnya.

Seorang mahasiswa ekonomi misalnya, akan lebih percaya jika ia mendapatkan pelajaran langsung dari dosen yang juga pelaku dalam bisnis. Mahasiswa tidak ingin hanya mendapatkan materi perkuliahan karena hal itu bisa dengan mudah ia dapatakan dari AI. Mahasiswa ingin mendapatkan penjelasan lebih detil tentang bisnis dari para pelaku dan juga sekaligus mendapatkan jaringan sehingga saat mereka lulus, ada peluang yang lebih besar untuk mengembangkan karir, maupun usahanya.

Teori kewirausahaan akademisi banyak dibicarakan di universitas luar negeri. Peran universitas di era modern telah melampaui trio klasik pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Kini, universitas didorong untuk menjadi motor penggerak ekonomi dan sosial melalui “misi ketiga”, yaitu kewirausahaan. Konsep ini mengubah menara gading akademik menjadi inkubator inovasi, di mana pengetahuan tidak hanya diciptakan dan disebarkan, tetapi juga dikomersialisasikan untuk kemaslahatan yang lebih luas.

Di Indonesia, universitas-universitas memiliki potensi untuk menjadi garda terdepan dalam gerakan ini. Dosen tidak hanya mengajar dan riset, namun mereka didorong untuk mendirikan perusahaan rintisan (startup) mengkomersialisasikan hasil risetnya secara langsung. Lupakan citra dosen yang hanya sibuk mengajar dan meneliti untuk jurnal. Kini, mereka didorong menjadi academic entrepreneur atau ‘dosen-preneur’, sosok yang mampu mengubah hasil riset di laboratorium menjadi produk yang laku di pasaran.

Sebuah studi relevan mengenai faktor-faktor kelembagaan yang memengaruhi kewirausahaan akademik di Universitas Teheran, Iran, memberikan sebuah kerangka kerja yang sangat berguna untuk memahami tantangan dan peluang di lingkungan universitas di Indonesia. Meskipun berlatar di Iran, temuan penelitian tersebut dapat menjadi cermin untuk merefleksikan dan merumuskan strategi pengembangan akademisi enterpreneur di tanah air.

Sebuah studi yang ditulis oleh Farsi Jahangir Yadolahi dan kawan kawan dari Faculty of Entrepreneurship, University of Tehran tahun 2014 menjelaskan, ada dua faktor yang menjadi kunci bagaimana dosen preneur. Pertama Faktor formal, yakni “aturan main” yang tertulis dan terstruktur. Tanpa fondasi ini, inisiatif kewirausahaan akan sulit berkembang secara sistematis. Berdasarkan studi tersebut, berikut adalah pilar-pilar formal yang krusial seperti Aturan, Struktur, dan Tata Kelola Universitas.

Apakah statuta universitas secara eksplisit mendukung dosen atau mahasiswa untuk mendirikan perusahaan rintisan (startup)? Apakah ada unit khusus seperti inkubator bisnis atau kantor alih teknologi yang memiliki wewenang jelas untuk memfasilitasi komersialisasi hasil riset? Fleksibilitas dalam aturan kepegawaian—misalnya, mengizinkan dosen mengambil cuti untuk mengembangkan bisnisnya—adalah kunci.

Program Pelatihan Kewirausahaan dan Kurikulum yang kaku harus dirombak. Universitas perlu mengintegrasikan mata kuliah kewirausahaan yang praktis, lokakarya model bisnis, dan pelatihan pitching ke dalam berbagai program studi, tidak hanya di fakultas ekonomi. Program ini harus mampu menerjemahkan ide-ide riset, baik dalam bidang sains, teknologi, maupun sosial-humaniora, menjadi proposal bisnis yang solid.

Hubungan Universitas-Industri harus “Link and match” tidak boleh berhenti menjadi slogan. Universitas Islam harus proaktif membangun jembatan dengan dunia industri, terutama ekosistem Kemitraan strategis dengan perbankan, perusahaan teknologi finansial (fintech), industri makanan, dan pariwisata dapat menjadi saluran utama bagi komersialisasi inovasi.

Dukungan pemerintah sangat vital. Ini mencakup skema pendanaan riset inovatif dari lembaga seperti BRIN dan LPDP, insentif pajak bagi perusahaan yang berinvestasi pada riset universitas, serta penyederhanaan birokrasi untuk pendirian usaha berbasis inovasi. Perlindungan terhadap hak paten, merek dagang, dan hak cipta adalah jaminan bagi para akademisi. Universitas harus memiliki unit layanan HaKI yang tidak hanya membantu proses pendaftaran, tetapi juga edukasi mengenai pentingnya perlindungan kekayaan intelektual sebelum hasil riset dipublikasikan secara luas.

- Advertisement -

Orientasi penelitian perlu digeser dari penelitian ke bisnis. Selain didorong untuk publikasi di jurnal internasional (luaran publish or perish), penelitian juga harus diarahkan untuk menghasilkan prototipe, paten, dan produk yang siap dihilirisasi. Skema pendanaan internal universitas bisa memprioritaskan riset-riset terapan dengan potensi komersial.

Faktor kedua adalah Kelembagaan Informal, yakni Membangun Budaya Inovasi. Jika faktor formal adalah kerangka, maka faktor informal adalah “jiwa” yang menggerakkannya. Aspek budaya dan norma tak tertulis ini seringkali menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan yang sesungguhnya.

Sikap Akademisi terhadap Kewirausahaan harus dibenahi. Masih ada anggapan bahwa kegiatan bisnis akan “mengotori” kemurnian dunia akademik. Stigma ini perlu diubah. Kewirausahaan harus dipandang sebagai bentuk lain dari pengabdian masyarakat dan penerapan ilmu yang mulia, sejalan dengan nilai-nilai Islam yang juga mendorong umatnya untuk menjadi pedagang yang adil dan inovatif.

Panutan (Role Models) dan Sistem Penghargaan di Univerditas harus ada. Universitas perlu menyoroti kisah sukses “dosen-preneur” atau “mahasiswa-preneur”. Memberikan penghargaan dan pengakuan setara antara prestasi publikasi ilmiah dan keberhasilan mendirikan startup atau melisensikan teknologi akan mengirimkan sinyal kuat bahwa kewirausahaan adalah jalur karir yang dihargai. Sistem penilaian kinerja dosen (Beban Kinerja Dosen) dapat direvisi untuk mengakomodasi luaran-luaran wirausaha.

Kepemimpinan universitas (rektor dan para dekan) memegang peranan sentral. Komitmen dan visi pimpinan untuk mendukung budaya kewirausahaan akan menentukan alokasi sumber daya dan arah kebijakan. Tanpa dukungan dari atas, inisiatif dari bawah akan sulit bergerak. Adanya aturan formal tidak cukup jika implementasinya birokratis dan kaku. Proses pengajuan izin, penggunaan fasilitas laboratorium untuk pengembangan produk, atau pencairan dana harus cepat dan transparan. Birokrasi yang berbelit akan mematikan semangat inovasi sebelum sempat bersemi.

Wawan Novianto
Wawan Novianto
Dosen IAIN Kerinci, founder CND Publisher dan penulis buku "Strategi Bersaing di Era VUCA" terbitan Grafindo
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.