Selasa, April 30, 2024

Ajip Rosidi dan Peran Pentingnya dalam Sejarah Sastra Indonesia

Malik Ibnu Zaman
Malik Ibnu Zaman
Penulis Lepas

Ajip Rosidi merupakan salah satu sosok yang tak terlupakan dalam dunia sastra Indonesia. Ajip dikenal sebagai seorang begawan sastra, budayawan, sejarawan, serta pelestari warisan budaya Nusantara. Ia merupakan salah satu sosok yang ikut andil dalam melestarikan bahasa dan sastra Sunda.

Arif Budiman misalnya dalam sambutannya di Buku Hidup Tanpa Ijazah yang Terukir dalam Kenangan (2008) mengatakan bahwa Ajip menulis baik puisi dan prosa sama katanya, puisi dan cerpen-cerpennya pun cukup merangsang para pembaca. Arif juga mengungkapkan bahwa Ajip merupakan salah satu penulis yang karyanya telah menarik hatinya. Lebih lanjut kakak dari Sore Hok Gie itu mengungkapkan bahwa saat itu Ajip merupakan generasi pengarang muda dan salah sangat muda usianya ketika berkarya.

Ajip Rosidi dilahirkan pada tanggal 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Cirebon, Jawa Barat. Dan wafat di usia 83 tahun di Magelang, Jawa Tengah.

Minatnya terhadap sastra sudah tumbuh sejak di kecil, ia senang membaca cerita rakyat surat kabar Sinar Madjalengka dan surat kabar Indonesia Raya. Bahkan tulisannya dimuat di rubrik kanak-kanak surat Kabar Indonesia Raya yang diasuh oleh Paman Raya.

“Aku mengirimkan tulisan dalam Bahasa Indonesia kepada Paman Raya. Betapa gembiranya Pak Kuwu waktu membaca tulisanku dimuat dengan mencantumkan alamat lengkap bahwa aku tinggal di rumahnya,” demikian tulis Ajip dalam bukunya Hidup Tanpa Ijazah yang Terukir dalam Kenangan (2008: 51).

Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia diajak oleh Kurnain Suhardiman untuk menjadi Redaktur Majalah Suluh Peladjar bersama dengan kawan sekelasnya Achmad Sjaerozie dan Azeni (Ajip Rosidi, 2008: 72). Saat itu sajak dan cerita pendek yang ia tulis sudah tembus ke media ternama saat itu seperti Zenith, Siasat, Mimbar Indonesia, Kompas, majalah Indonesia, dan lain sebagainya. Hingga ia tutup usia, kegiatannya tidak jauh dari dunia literasi, sebuah keistiqomahan yang patut untuk kita tiru.

Ada kisah menarik perihal Aji yang memutuskan untuk drop out, kisa tersebut ditulis dalam Buku Hidup Tanpa Ijazah (2008). Ketika Ajip bersiap menghadapi ujian nasional, situasi terasa gempar karena munculnya kebocoran soal ujian.

Banyak orang yang rela mengeluarkan uang besar untuk memperoleh akses ke soal-soal tersebut, bahkan ada yang menyuap guru-guru. Perdebatan pun muncul di berbagai media tentang manfaat sesungguhnya dari ujian tersebut. Ada pertanyaan yang mengemuka mengenai validitas ujian sebagai penilaian sejati atas prestasi siswa.

Pada usia yang masih muda, Ajip Rosidi, yang saat itu berusia 16 tahun, mengambil kesimpulan yang sangat mencengangkan. Ia menyadari bahwa beberapa orang tidak segan melakukan perbuatan yang merendahkan diri, seperti membeli soal ujian atau menyuap guru hanya untuk lulus ujian.

Namun, Ajip mulai mempertanyakan arti dari kelulusan itu sendiri. Kelulusan ujian sebenarnya untuk apa? Ia menyadari bahwa kelulusan ujian hanya bertujuan untuk memperoleh ijazah. Lalu, apa guna ijazah? Ijazah diperlukan untuk melamar pekerjaan. Selanjutnya, apa tujuan dari bekerja? Bekerja untuk dapat hidup. Dengan demikian, dalam pandangan Ajip, hidup seakan-akan tergantung pada selembar kertas bernama ijazah.

Keputusan dan kesimpulan Ajip itu mengguncangnya sendiri. Pada saat itu, ia telah aktif dalam dunia sastra selama empat tahun, mulai mengirimkan tulisannya, baik cerita maupun puisi, yang diterbitkan di berbagai koran dan majalah sejak ia berusia 14 tahun. Ajip merasa bahwa dengan pendapatan yang ia peroleh dari menulis, ia dapat hidup secara mandiri. Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri apakah seorang penulis benar-benar memerlukan ijazah formal untuk hidup.

Ajip akhirnya memutuskan bahwa ia tidak akan bergantung pada ijazah untuk menjalani hidupnya. Baginya, prestasinya sebagai penulis tidak harus terikat oleh ijazah. Ia meyakini bahwa tidak ada sekolah atau universitas yang dapat membimbingnya menjadi seorang penulis yang ulung.

Ia juga merasa bahwa pengalaman pribadinya menunjukkan bahwa gurunya dalam mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP dan SMA lebih banyak membaca daripada dirinya. Ajip mengambil keputusan untuk terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam bidang sastra dan penulisan melalui membaca dengan rajin.

Baginya, tidak perlu bersekolah tinggi karena ia telah menguasai dasar-dasar literasi. Buku-buku dapat dengan mudah dibeli atau dipinjam dari perpustakaan, dan dengan pengetahuan yang semakin luas, tulisannya akan menjadi lebih berbobot. Ajip yakin bahwa jika karyanya memiliki kualitas, orang-orang akan menghargainya sebagai seorang penulis.

Akhirnya, Ajip Rosidi menyadari bahwa yang paling penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat. Ia menyadari bahwa banyak orang yang memiliki ijazah tinggi dan menduduki posisi penting dalam masyarakat, tetapi tidak pernah menunjukkan prestasi pribadi yang signifikan.

Mereka mungkin dilupakan oleh masyarakat setelah mereka pensiun atau meninggal. Baginya, yang ingin ia capai adalah menjadi penulis yang dihormati dan diingat oleh orang-orang, bahkan setelah ia meninggalkan dunia ini. Dan ia percaya bahwa hal itu hanya dapat dicapai dengan kerja keras dan dengan menciptakan karya-karya yang berkualitas.

Mengambil langkah yang sangat berani, Ajip Rosidi memutuskan untuk keluar dari sekolah, atau yang dikenal sebagai “drop out.” Ia bahkan menulis surat pada gurunya dengan kartu pos yang berisi pernyataan bahwa ia tidak akan mengikuti ujian nasional karena ia ingin membuktikan bahwa ia bisa hidup tanpa perlu bergantung pada selembar ijazah. Keputusan ini sungguh luar biasa, terutama mengingat ia masih seorang remaja pada saat itu. Ajip membuat keputusan ini tanpa memberi tahu orang tuanya di Jatiwangi.

Memang terbukti Ajip bisa hidup tanpa ijazah, ia bukan seorang sarjana, tetapi bisa menjadi dosen di luar negeri. Karyanya pun diteliti untuk keperluan skripsi, tesis, disertasi hingga kini, bukan hanya oleh mahasiswa dalam negeri, tetapi juga luar negeri.

Mungkin banyak yang tidak tahu, Ajip selain seorang begawan sastra juga seorang sejarawan ulung. Karya-karyanya dalam bidang sejarah mencakup berbagai aspek, mulai dari sejarah sastra Indonesia hingga budaya dan tradisi. Dalam karyanya yang berjudul “Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia,” Ajip Rosidi menggambarkan perkembangan sastra di Indonesia dari masa ke masa. Buku ini telah menjadi rujukan penting bagi para pengkaji sastra Indonesia.

Buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia karya Ajip Rosidi merupakan sebuah karya penting yang merangkum perkembangan sastra Indonesia dari masa ke masa. Buku ini memberikan wawasan mendalam tentang sejarah sastra Indonesia, mengulas berbagai aliran sastra, karya-karya sastrawan terkemuka, dan konteks sosial dan budaya yang memengaruhi perkembangan sastra di Indonesia.

Buku ini merinci perjalanan panjang sastra Indonesia dari zaman kuno hingga zaman modern. Dalam buku ini, Ajip Rosidi menguraikan perkembangan sastra Indonesia dengan cermat, memberikan gambaran tentang berbagai aliran, genre, dan sastrawan yang berkontribusi dalam membangun warisan sastra Indonesia.

Malik Ibnu Zaman
Malik Ibnu Zaman
Penulis Lepas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.