Sabtu, April 20, 2024

Agama Sebagai Nafas Pancasila

Abdul Rasyid
Abdul Rasyid
Sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah Banjarharjo Brebes

Bila terlepas dari Tuhan Yang Maha Esa maka Pancasila akan menjadi Pancasalah yang menyesatkan atau membahayakan” Kasman Singodimedjo

Meskipun Indonesia telah menjadi sebuah negara yang ber-Pancasila puluhan tahun lamanya, nyatanya negara ini belum bisa lepas dari permasalahan atas nama agama, baik yang ditujukan kepada kelompok-kelompok minoritas agama, maupun kelompok yang dipandang tidak sepaham dalam satu agama hingga kini masih menjadi persoalan kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Gagal memahami sejarah dapat berakibat fatal bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini dan masa mendatang. Kemudian dapat berakibat pada terjadinya keretakan hubungan antar warga negara. Sebab dari sejarahlah kita belajar, agar kita tidak terjatuh pada lubang yang sama.

Pancasila yang semestinya dijadikan sebagai pedoman, penuntun dalam kehidupan di tengah masyarakat Indonesia yang beragam, mulai dari agama, suku, etnis, ras dan antar golongan justru kini sedang diuji kesaktiannya dengan dihadapkan pada permasalahan yang kompleks dan akut. Yakni, persatuan dan kesatuan dalam keberagaman.

Oleh karena itu, perlu kiranya kita menelisik keterkaitan antara Pancasila dan agama. Misalnya ketika sidang BPUPKI, menggunakan kesempatan emas itu, Ketua Pengurus Besar (sekarang Pimpinan Pusat) Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo (1890-1954) pada tanggal 31 Mei 1945 menawarkan gagasan Islam sebagai dasar negara.

Bagi Ki Bagus, Islam layak menjadi dasar negara, karena agama ini membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin serta menabur semangat kemerdekaan yang menyala-nyala. Selain itu, mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam yaitu sekitar 90 persen pada waktu itu.

Pada pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Dakwah dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2 Desember 1964, Bung Karno menegaskan bahwa negara yang berdasarkan Pancasila ini harus ber-Tuhan. “Karena itu dengan keyakinan, saya berkata,” ujar Bung Karno, “negara yang tidak menyembah kepada Tuhan, negara yang tidak ber-Tuhan, akhirnya akan celaka, lenyap dari muka bumi ini.”

Pada prinsipnya Ki Bagus Hadikusumo dan Bung Karno sama-sama menghendaki Negara Indonesia yang akan dibentuk itu membuka diri terhadap “intervensi wahyu”. Dengan gagasan yang berdekatan antara kedua tokoh tersebut, tidak mengherankan jika Panitia Delapan – yang dibentuk oleh BPUPKI yang memiliki tugas menginterventarisasi usul mengenai dasar negara – mencatat 7 usul mengenai dasar negara, dengan suara terbanyak menghendaki Ketuhanan (dengan berbagai kombinasi) sebagai dasar negara.

Oleh karena itu pula, sebenarnya tidaklah mengejutkan jika di dalam rumusan Preambule hasil Panitia Sembilan (pengganti Panitia Delapan) tanggal 22 Juni 1945 (yang dikenal sebagai Piagam Jakarta), Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya disepakati menjadi dasar yang pertama dari susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.

Tidak berhenti sampai di situ saja, perdebatan panjang pun tidak dapat dihindarkan. Dalam rapat BPUPKI pada 16 Juli 1945, rancangan Preambule dan batang tubuh UUD diterima – dalam kata-kata Ketua BPUPKI Dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat – “dengan suara sebulat-bulatnya.”

Tentunya penerimaan bulat itu tidak mungkin dilepaskan dari pengaruh dan wibawa Ketua Panitia Sembilan, Ir. Soekarno yang bersungguh-sungguh memasang badan mempertahankan rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dari berbagai kritik dan keberatan anggota BPUPKI. Inilah yang dilupakan oleh banyak orang ketika berbicara soal Piagam Jakarta. Entah bagaimana asal-usulnya, muncul kesan seolah-olah Piagam Jakarta itu identik dengan dan menjadi monopoli golongan Islam.

Muncul juga kesan seolah-olah golongan kebangsaan anti-Piagama Jakarta. Padahal fakta sejarah menunjukkan dengan seluruh kemampuan dan wibawa yang dimilikinya, Bung Karno mampu meyakinkan semua pihak untuk menerima rumusan hasil kerja Panitia Sembilan.

Berikut yang diucapkan oleh Bung Karno untuk meyakinkan semua anggota BPUPKI “Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah Saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan, supaya Indonesia Merdeka bisa lekas damai.”

Makna Ketuhanan Yang Maha Esa

Pancasila sudah final, semua sila yang ada sudah tidak perlu lagi diperdebatkan karena sudah disepakati bersama oleh para pendahulu kita. Di dalam perjalanannya, negara ini dihadapkan dengan problema yang tiada habisnya datang silih berganti.

Juga dengan konstitusi negara yang turut silih berganti mengikuti kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama pada periode-periode awal negara ini berdiri. Kendati konstitusinya berganti-ganti, akan tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa tetap dipertahankan sebagai dasar negara, sebagai sila pertama dari Pancasila. Demikian di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, begitu pula di dalam UUDS 1950.

Bagi Bung Hatta Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah fundamental moral. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik, sedangkan dasar peri kemanusiaan adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup daripada dasar-dasar yang memimpin tadi. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya dasar hormat dan menghormati antar agama masing-masing, melainkan pula menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Atau dalam kata lain, sila Ketuhanan lah yang menjiwai sila-sila lainnya.

Menurut Arnold Mononutu, seorang Nasrani dan tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) dalam pidato Konstituante: “Pancasila merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran Injil. Ketuhanan Yang Maha Esa bagi kami, pokok dan sumber dari sila-sila lain. Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila akan menjadi satu filsafat materialistis belaka.”

Atau seperti yang dikatakan oleh Perdana Menteri Djuanda dalam jawaban resmi atas pertanyaan KH. A. Sjaichu, anggota DPR dari Partai NU, mengenai makna konsideran Dekrit Presiden  5 Juli 1959: “…kepada perkataan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya’ sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan dengan syariat Islam.”

Bagi umat Islam NKRI adalah Daarul Ahdi, negara kesepakatan, dan umat Islam komitmen dengan kesepakatan ini. Maka tidak perlu ada yang mencoba-coba untuk merusak kesepakatan yang telah dibuat bersama ini dengan mengajukan cita-cita negara lain, selain Pancasila.

Perlu kiranya setiap warga negara memahami betul sejarah bangsanya agar tidak mudah mengatakan golongan atau kelompok yang berbeda dengannya anti-Pancasila dan merasa dirinya atau kelompoknya yang paling Pancasila. Juga tidak perlu muncul istilah dikotomis seperti Golongan Kebangsaan dan Golongan Islam, atau Kaum Nasional Sekuler dan Kaum Nasionalis Islami, karena sejatinya seluruh bangsa Indonesia yang memahami Pancasila secara secara utuh niscaya tidak akan mempertentangkan identitas dirinya sebagai anggota kelompok kepentingan dengan identitas dirinya sebagai warga negara.

Abdul Rasyid
Abdul Rasyid
Sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah Banjarharjo Brebes
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.