Rabu, Agustus 20, 2025

Afiliasi Keren Lebih Penting Dari Namamu

Sidik Permana
Sidik Permana
Saya merupakan seorang freelancer, pengajar, dan pembelajar. Aktif menulis dan mengomentari. Saya aktif di Komunitas Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung dan Komunitas Narasi Jabar.
- Advertisement -

Jangan berkecil hati! Tulisan-tulisan karyamu yang gagal publis bisa jadi bukan karena jelek (mungkin), tetapi memang kamu bukan siapa-siapa. Fenomena inilah yang membuat kita para pemula sulit menembus meja dan hati editor media raksasa. Bahasanya, “anda siapa?”. Masalah ini dialami banyak pemula, termasuk saya, terutama ketika karya tersebut dikirim ke media besar konvensional dengan langganan penulis besar, afiliasinya. Biasanya, profesor, akademisi andal, orang bertitel panjang dan kredensial jelas, hingga mantan presiden Republik Indonesia.

Tulisan pemula susahnya setengah mati, walau substansi bisa jadi mendekati kualitas tulisan orang ternama. Penasaran, mengapa bisa muncul hal seperti itu? Seburuk itukah tulisan kami, pemula, atau sistem yang tidak memungkinkan pemula bersinar? Atau, risiko ekonomi kalau tidak menerima tulisan dari orang yang “bernama”?

Konon Hanya Untuk Orang Terpilih

Husnuzonnya, bahwasanya tulisan yang bagus berkualitas tinggi itu harus masuk kriteria evaluasi kelas kakap sekelas guru besar dan Kecerdasan Artifisial (AI). Jelaslah, tulisan berkualitas yang muncul di etalase media konvensional Indonesia adalah tulisan-tulisan yang lolos kurasi ketat berstandar tinggi editor dengan jam terbang tinggi. Lagipula, editor media besar tidak mungkin menghabiskan waktu untuk memperbaiki tulisan yang kurang layak, baik secara tata kepenulisan dan substansinya. Tidak salah ketika saya menyebut bahwa orang yang tulisannya dipublikasi adalah orang pilihan.

Saya harus menuntut guru Bahasa Indonesia di sekolah, termasuk saya sendiri, karena kurang belajar ketika sekolah untuk membuat esai hebat berkualitas guru besar. Kita bisa menilai, secara sadar, alasan di balik gagalnya karya dimuat di media konvensional, misalnya jelek dan kurang layak berada di etalase opini para penulis bernama andalan media. Jadi, menulislah dengan baik, bila perlu sempurna. Bahkan, tulisan kita harus mengalahkan rekomendasi AI premium. Bila tulisan kita masih mendapatkan coretan merah dari anak SMA, jangan berharap tulisan kita menyaingi tulisan profesor dan masuk radar media konvensional, misalnya “penunjuk arah mata angin”.

Hipokrasi Sistem Penghancur 

Sebenarnya, pandangan di atas adalah versi prasangka baik yang bisa dilayangkan. Tapi, berdasarkan kisah dari seorang kolega saya, membuat saya terkejut tentang sistem penerbitan di media konvensional. Sebut saja A, seorang penulis andal. Tulisannya banyak diterbitkan di berbagai media lokal hingga internasional—setahuku terakhir di Jerman. Bila dibandingkan saya, tentu bagaikan langit dan inti bumi.

Namun, pernah suatu ketika, beliau mencoba mengirimkan tulisan tanpa titel dan afiliasi yang mentereng. Alhasil, tulisannya pun ditolak mentah-mentah dan menyakitkan (tanpa kabar), padahal tulisannya sudah menjadi standar penulisan internasional. Kemudian, dia mencoba menjadi editor dari beberapa tulisan orang untuk dikirim ke media terkenal di Indonesia yang sama, bahkan menyunting substansinya agar lebih menjual. Anehnya, tulisan hasil editnya berjumlah 3 lolos kurasi hingga terbit. Usut punya usut, ketiga penulis memiliki afiliasi mentereng, yang secara rasional tidak mungkin ditolak karena dapat menaikkan pamor media tersebut.

Saya berasumsi liar, bahwasanya tulisan bagus tidak menjamin mendapatkan akses di media konvensional, tapi afiliasi kita yang belum mendapatkan perhatian. Lagipula, media mana yang akan menolak tulisan dari seorang profesor, philosophy of doctor (Ph.D), atau mantan presiden seperti Megawati Soekarno Putri yang menulis untuk kolom opini Kompas tahun 2024?

Sebuah uji coba sederhana yang pernah saya lakukan adalah dengan membuat tulisan dengan tema dan kualitas serupa dengan penulis top Indonesia. Kemudian, saya minta orang menilainya tanpa tahu siapa penulis dan latarnya, hasilnya cukup mendapatkan pujian, setidaknya. Namun, dengan tulisan yang sama, saya coba kirimkan ke media yang terkenal dengan “sulitnya” bagi seorang amatir yang tidak jelas kredensialnya. Memang, riset ini tidak metodologis, tetapi uji coba ini setidaknya memberikan gambaran tentang adanya barier tidak langsung yang membatasi para amatir merusak ekosistem elitis yang dibangun media, bahkan di institusi lain.

Memang, tidak ada data untuk memvalidasi soal sulitnya penulis tidak berkredensial untuk dipublikasi media besar. Namun, keyakinan tumbuh bahwa hal itu tidak mungkin terjadi karena ini merupakan rahasia umum yang memang menjadi “aturan tidak tertulis” media, terutama yang memiliki jam kerja tinggi di bisnis media.

Saya memahami bahwa afiliasi bukan sekadar soal kredibilitas, tetapi juga objek kapital yang menjadi pertimbangan media meningkatkan lalu lintas (engagement) pembaca dan mengklik laman yang bisa dimonetisasi. Semua kembali pada nafas bisnis, lumrah dan sah, namun menjadi kesakitan tersendiri bagi para pemula yang ingin menjadi bintang di panggung kepenulisan. Bayangkan, seorang freelancer, Ibu Rumah Tangga, atau pemikir yang tidak berafiliasi dengan siapapun, namun memiliki keresahan yang dikaryakan secara epik dalam tulisan yang berkualitas, dan tulisannya harus berakhi di folder terlupakan Personal Computer (PC).

- Advertisement -

Afiliasi itu memang sepenting itu. Bahkan, Mayan Navon (2025) berusaha menjawab, apakah afiliasi kelompok mendominasi evaluasi otomatis anggota kelompok individu, bahkan ketika informasi evaluatif diagnostik tentang individu tersedia? Hasilnya, afiliasi kelompok cenderung memengaruhi penilaian awal, terutama apabila informasi individu masih terbatas dan ketika informasi individu lebih banyak diberikan, maka orang akan mengoreksi penilaian awal, tetapi terlihat dipengukuran eksplisit daripada implisit (bertahan).

Gampangnya begini, kalau terdapat orang yang afiliasinya adalah profesional lulusan Harvard University atau petinggi dari suatu lembaga riset terkemuka, mana mungkin harus dibandingkan lebih lanjut dengan penulis yang menulis afiliasinya sebagai “publik” atau “pekerja harian lepas”? Sejak awal, kita sudah dikalahkan oleh status afiliasi, bahkan mungkin tidak ditoreh sama sekali. Tidak salah, kredensial memberikan kekuatan kesan bahwa tulisan yang dibuat mereka “keren”, “bagus”, dan “tidak perlu diragukan lagi”.

Dengan demikian, alih-alih menyalahkan sistem moral yang cacat seperti ini, mungkin ada baiknya sedari dini meningkatkan kualitas portofolio karya kita, khususnya kepenulisan. Misalnya, dengan terus menulis dan evaluasi, diikuti dengan perbandingan antarkarya dan kembali belajar bab menulis esai di masa sekolah. Berharap, suatu hari karya kita mendapatkan sorotan dan akhirnya menarik hati para editor media besar untuk melirik tulisan menohok tentang sistem semacam ini. Saya paham rasa kesal tersebut, wajar, apalagi bila tulisan kita diabaikan sama sekali. Marah, wajar, terlebih semua waktu telah didedikasikan untuk menulis 600-1000, namun berakhir dengan “mohon maaf, tulisan anda tidak bisa dimuat” atau karena “bukan siapa-siapa”. Namun, itu bukan berarti kita berhenti berkarya. Oleh karena itu, temukan media yang sesuai dan yakin tulisan kita dihargai, terus asah kemampuan, diiringi doa keberhasilan tembus publikasi.

Sidik Permana
Sidik Permana
Saya merupakan seorang freelancer, pengajar, dan pembelajar. Aktif menulis dan mengomentari. Saya aktif di Komunitas Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung dan Komunitas Narasi Jabar.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.