Menulis adalah proses merangkai kata, menjadi sebuah kalimat, kemudian disusun menjadi satu paragraf, dan disatukan menjadi suatu bentuk tulisan utuh. Menulis juga sejatinya adalah proses mengembangkan ide, dan mengikat ilmu. Seperti yang dikatakan oleh Ali Bin Abi Thalib, “ikatlah ilmu dengan menulis”. Menulis bisa juga menjadi sarana mengukur pemahaman, sejauh mana kita paham terhadap suatu fenomena.
Menulis adalah jalan menuju keabadian. Dengan menulis, nama kita akan terus diingat dan tidak akan hilang dari peradaban, seperti apa yang telah dipesankan oleh Pramoedya Ananta Toer, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Syarat untuk menjadi seorang penulis sebenarnya mudah, yaitu banyak membaca. Seorang penulis memang dituntut untuk banyak membaca agar memiliki banyak referensi ide dan perbendaharaan kata. Maka membaca adalah hal yang harus dijaga secara konsisten bagi penulis. Agar nalar kritis dan kemampuan berpikir tetap terjaga. Sehingga mampu mengelola data, dan fakta menjadi sebuah ide.
Menulis merupakan sebuah proses yang menyenangkan, apabila ide bisa mengalir dengan lancar tanpa hambatan. Namun bisa juga menjadi proses yang menjengkelkan, ketika ide mengalami kebuntuan. Tidak tahu hendak menuliskan apa. Kadang kebuntuan itu hadir ketika di tengah atau di akhir tulisan. Tapi tidak jarang juga terjadi di awal paragraf ketika hendak mengawali tulisan. Kondisi inilah yang disebut dengan “writer’s bock”, atau kebuntuan menulis.
Writer’s block memang menjadi momok bagi para penulis. Bukan hanya bagi penulis pemula, bahkan wartawan, atau penulis profesional sekalipun sering mengalami kondisi ini. Ibarat sedang berjalan di jalan yang gelap, tidak tahu hendak kemana kaki melangkah. Jika tidak cerdas mencari ide, kebuntuan ini bisa menjadi alasan penulis untuk menyerah dalam berkarya. Tapi bagi penulis yang gigih, writer’s block ini merupakan tantangan, seberapa jauh ide mampu membuat gagasan baru agar keluar dari kebuntuan.
Lancar berbicara, belum tentu lancar menulis. Pun sebaliknya, lancar menulis belum tentu lancar berbicara. Karena menulis dan berbicara merupakan dua hal yang berbeda, tetapi memiliki muara yang sama: menyampaikan ide dan gagasan. Dua kondisi ini tidaklah salah, yang lancar berbicara namun sulit untuk menulis bisa diasah menjadi seorang debator atau juru bicara. Dan yang lancar menulis tentu harus diasah menjadi seorang penulis. Namun yang terbaik diantaranya adalah lancar keduanya: berbicara dan menulis.
Seorang penulis dari Mesir, Alaa-Al Aswany, mengatakan bahwa menulis dan kebuntuan itu adalah, “konflik antara apa yang mau kau katakan, dan apa yang bisa kau katakan”. Sebab apa yang kita pikirkan, belum tentu bisa dituliskan. Karena untuk menulis, perlu menggunakan pilihan kata yang sesuai dengan apa yang hendak kita sampaikan, sekaligus enak untuk dibaca.
Bagi orang yang berkecimpung di dunia tulis menulis, writer’s block ini merupakan hal yang biasa. Siapapun pasti pernah mengalaminya. Bahkan, penulis-penulis ternama kelas dunia sekalipun. JK.Rowling pernah mengalami writer’s block ketika mengarang buku Harry Potter dan The Chamber of Secrets. (Idn.Times.com). Dan Brown, seorang novelis yang terkenal dengan karyanya Da Vinci Code juga sering mengalami kebuntuan saat menulis novel-novelnya.
Tokoh-tokoh yang saya sebutkan diatas hanya contoh kecil dari sekian banyak penulis-penulis hebat yang mengalami writer’s block. Tapi apakah kebuntuan itu lantas membuat mereka berhenti menulis? Tentu tidak, sebab menyerah bukanlah pilihan. Berbagai carapun dilakukan, untuk bisa keluar dari kebuntuan dan kembali menemukan insprirasi. Bahkan tak jarang dilakukan dengan cara-cara yang tak biasa.
Sebut saja Dan Brown, salah satu caranya untuk mengatasi kebuntuan ketika menulis adalah dengan terapi inversi untuk bisa rileks kembali. Ia akan memakai sepatu boot khususnya dan bergantung dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Ia akan melanjutkan menulis sampai merasa betul-betul rileks. Selain Dan Brown, penulis Victor Hugo bahkan harus melepas semua pakaiannya agar tidak bisa kemana-mana, dengan begitu ia merasa dipaksa untuk mencari inspirasi.
Bukan hanya itu, novelis Perancis, Honore de Balzac menghabiskan hingga 50 cangkir kopi setiap hari untuk bisa terus menulis. Sehingga kadang ia tidak bisa tidur saat sedang menulis karyanya. Cara ini juga dilakukan oleh Voltaire yang menghabiskan 40 cangkir kopi dalam sehari untuk mendapatkan inspirasi. Selain itu, bahkan cara ekstrim untuk menemukan inspirasi pernah dilakukan oleh Aaron Sorkin, penulis skenario The West Wing dan The Social Network. Aaron Sokin mengaku pernah mematahkan hidungnya saat menulis. Hal ini dilakukan agar dirinya bisa menyatu dengan dialog yang ditulisnya.
Bagi saya sendiri, cara yang biasa saya lakukan ketika mengalami kebuntuan menulis adalah melihat ke alam seperti melihat ke arah langit, pohon, daun, rumput, atau hewan-hewan yang ada di sekitar saya. Cara ini akan membuat saya cukup rileks untuk dapat menulis kembali. Saya yakin, pembaca atau penulis-penulis lain juga memiliki caranya sendiri untuk bisa keluar dari belenggu kebuntuan saat menulis.
Meskipun writer’s block kerap jadi penghambat untuk menulis, bukan berarti itu menjadi alasan untuk tidak berkarya. Semua itu hanya soal pembiasaan. Menulis juga membutuhkan pembiasaan dan latihan. Bukankah pisau semakin sering diasah akan semakin tajam? Semakin banyak dicoba, semakin besar peluang untuk bisa. Ketika sulit untuk menemukan ide, cobalah perbanyak bacaan untuk mencari referensi. Tapi ketika buntu dalam menulis, maka cobalah untuk menulis kebuntuan itu sendiri. Sama seperti tulisan ini, yang lahir karena kebuntuan penulis. Hehe.