Kontestasi pemilu kemarin sangat seru dan panas. Berbagai pihak saling menunjukkan dan menguatkan identitasnya. Salah satu identitas yang paling banyak dipakai adalah Nahdliyin atau Nahdlatul Ulama (NU). NU seperti mawar yang mekar ketika pemilu, lalu layu tak bersua bila kepentingan sudah terpenuhi.
Begitulah realitanya, siapa yang tidak tergiur menggaet suara NU yang anggotanya berjumlah sekitar 150 juta. Berbagai cara dilakukan para kontestan untuk menggaet suara mereka, seperti menggandeng orang tersohor di NU, mengaku si paling NU, bahkan menggunakan jabatan organisasi NU-nya untuk berkampanye.
Fenomena ini selalu terjadi setiap 5 tahun sekali dan kerap ditemui dalam kontestasi pemilihan. Pemilu kemarin juga serupa, malah lebih seru melihat pertarungan intens adu identitas dari kalangan tersohor NU. Bisa kita amati saling serang antara Gus Muhaimin atau biasa dikenal dengan Cak Imin dengan Ibu Khofifah baru-baru ini.
Serangan pertama datang dari Cak Imin menanggapi masuknya ibu Khofifah ke TPN 02 “Orang yang punya ideologi NU pasti istiqomah ke AMIN, saya meragukan ke-NU-annya kalau tidak pilih AMIN”. Ketua Umum PP Muslimat NU itupun membalas serangan dengan sabda “ Jadi kalau saya Ketua Umum PP Muslimat NU lalu kemudian ada yang meragukan ke-NU-an saya, harus dibalik”. Seru sekali pertarungan klaim identitas ini.
Sebenarnya adu klaim ini tidak terjadi satu atau dua kali, selalu terjadi dalam kalangan NU. Pertarungan klaim ke-NU-an antar PKB dan PPP juga sering terjadi. PKB sendiri mengaku partai yang lahir dari rahim NU, anak tunggal NU, serta alat penyalur politik NU. Sementara, PPP membantahnya dengan mengklaim juga, bahwasannya PPP di bentuk resmi oleh Partai NU, serta dalam perjalanan sejarahnya selalu berbakti ke NU. Saling klaim ini membuat saya bertanya, sebenarnya yang paling NU itu siapa sih? Mengapa semua mengklaim si paling NU?
Apabila bersandar pada Khittah 1926, jawabannya tidak ada si paling NU. Khittah 1926 adalah fondasi atau pedoman pertama warga NU dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku. Dalam sejarahnya, Khittah 1926 mengalami pasang surut sampai kehilangan pengaruh karena NU terjun ke dalam politik praktis tahun 1945 dengan ikut terlibat mendirikan Partai Masyumi. Kemudian, karena terjadi konflik internal antara golongan NU dan golongan modernis, akhirnya NU membentuk partai NU.
Mengamati skripsi Muhammad Khaerul Hadi, karena membludaknya masalah politik di masa orde baru, NU kembali ke Khittah 1926. Di masa orde baru, partai NU mengalami penyederhanaan dengan bergabung bersama Parmusi, Perti, dan PSII menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Penggabungan inilah yang menjadi permasalahan bagi NU, yang mana peran beserta kepentingan NU tersingkirkan di PPP. Pada akhirnya berujung konflik internal dengan di tandai terbelahnya NU dalam dua kelompok: Pertama, kelompok yang di pimpin oleh K.H As’ad Syamsul Arifin (kelompok Situbondo, dan kelompok yang di pimpin K.H Idam Cholid (kelompok Cipete). Kembalinya NU ke Khittah 1926 di pelopori oleh kelompok Situbondo dalam Muktamar ke-27.
Poin penting Khittah 1926 adalah NU secara organisasi tidak lagi masuk dalam politik praktis. Sesuai Khittah 1926, NU berpolitik secara kebangsaan dan kenegaraan yang lebih bergerak di bidang kemanusiaan, sosial, dan agama. Kalau mengutip sabda Ketua Umum PBNU sekarang, KH. Yahya Cholil Staquf, orang NU ingin masuk politik praktis, jangan bawa nama NU, bawalah kapabilitas diri sendiri. Dari sini bisa di bilang NU menolak keras politik identitas. Mungkin Khittah 1926 masih ditegakkan oleh NU yang di tandai kenetralan PBNU di pemilu, meski beberapa elitnya diam-diam konsolidasi dukungan.
Penjelasan singkat Khittah 1926 menunjukkan tidak ada si paling NU dari kalangan NU yang terjun ke politik praktis. Si paling NU patut di berikan kepada warga NU yang tetap lurus berjuang melalui politik berwawasan kebangsaan dan kenegaraan.
Mereka yang bersikap Tawassuth (lurus di tengah-tengah kehidupan), I’tidal (berlaku adil), Tasamuh (sikap toleran dalam perbedaaan pandangan), Tawazun (sikap seimbang dalam berkhidmah), dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar (mondorong yang baik, mencegah segala hal yang merendahkan kehidupan) lebik layak untuk di semati si paling NU. Intinya warga NU yang mengajar, berdakwah, bertani, mengaji, dll lebih NU daripada yang terjun ke politik praktis. Sekarang malah kebalik, mereka yang terjun ke politik praktis saling mengklaim si paling NU.
Politik praktis memang tidak cocok untuk NU. Kalau melihat pondasi awalnya, NU bertujuan untuk mengajarkan cara bermasyarakat, bukan untuk merebut kekuasaan. Buktinya tradisi-tradisi NU banyak yang mengandung nilai persaudaraan, sehingga tidak heran mereka bisa solid hingga kini. Kepentingan politik praktis justru menggerus kesolidan itu dengan polarisasi yang terjadi. Akibatnya, nilai persaudaraan NU menjadi samar, mereka malah cenderung terlihat sebagai pundi-pundi suara yang di rebutkan. Ironis, kesolidan mereka malah di politisasi segelintir orang.
Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan pesan untuk menggaungkan Khittah NU 1926. Membawa nama NU dalam politik praktis bukanlah arah juang NU. Keluarlah dalam perangkap buaian ucapan politisi yang mengatasnamakan NU atau ulama NU. Politik NU bersifat jangka panjang, yang lebih mengarah ke perjuangan menjaga eksistensi NKRI dan ajaran ahli sunnah wal jamaah.