Perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat tentu membawa inovasi yang tak terhingga di dalamnya. Perkembangan tersebut bahkan sampai pada titik manusia mengembangkan teknologi bernama Artificial Inteligent atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan kecerdasan buatan.
Tapi sebagai orang Indonesia tentu membahas teknologi saja tidaklah menarik jika dibandingkan dengan membahas hal konyol seputar kemampuan Bahasa Inggris capres hingga cucu presiden atau test dna bagi presiden. Oleh karena itu saya ingin mengajak anda membahas masa depan politik ideologi dan relasinya dengan teknologi informasi, menarik bukan? Tapi tunggu dulu biar lebih panas bagaimana jika politik ideologinya adalah Sosialisme, sudah cukup panas?
Bagi masyarakat Indonesia hari ini tentu sosialisme adalah momok menakutkan, asumsi akan masyarakat sekuler yang mengedepankan rasionalitas dan logika ditambah dengan narasi kesetaraannya tentu membuat takut masyarakat Indonesia yang memang maniak status sosial dan kedudukan.
Namun tentu hal ini berbeda jika ditanyakan dengan para penggerak masa lalu seperti Soekarno, Hatta hingga Sjahrir bahkan hingga tokoh macam Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi dimana sosialisme adalah jalan keluar dari penindasan yang dilakukan oleh orang seperti anda eh maksudnya oleh para penjajah yang rasis dan kelewat irasional.
Lalu dari mana kita mulai semuanya? Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul akhir dari sejarah menyebutkan bahwa berakhirnya Perang Dingin dan bubarnya Uni Soviet merupakan akhir dari sosialisme dan kemenangan demokrasi barat dan hal ini tentu ditentang dengan keras oleh David Harvey hingga James Veltmeyer dengan mengatakan bahwa perjuangan kelas tidak berakhir karena Globalisasi dan Neoliberalisme justru membawa dampak negatif yang begitu banyak.
Benar saja tahun 1994 Tentara Pembebasan Zapatista melakukan revolusi bersenjata melawan kekuasaan modal di Mexico dan membuat dunia terkejut. Namun yang banyak dilupakan semua orang adalah bagaimana kita harus kembali membaca tulisan Karl Marx di bukunya yaitu Das Capital.
Dalam buku satu disebutkan bahwa salah satu cara kaum pemodal menaikan laba adalah dengan meningkatkan efisiensi produksi dengan memodernisasi alat produksi lalu apa hubungannya semua ini dengan A.I? tentu saja ada. Cobalah untuk berpikir mana yang lebih efisien dengan mempekerjakan buruh yang perlu upah dan biaya tambahan lainnya atau menggunakan robot yang dikontrol satu orang dan kecerdasarn buatan dimana si pemodal hanya perlu membayar biaya pemeliharaan saja?
Tentu anak kecil pun tau robot dengan kecerdasan buatan jauh lebih efisien daripada buruh. Dan disinilah titik pembahasan akan Sosialisme yang digadang tak akan mati karena perjuangan kelas tidak berakhir hanya karena Uni Soviet runtuh, apakah para pemikir Sosialisme sudah berpikir secara dialektis menjawab tantangan akan adanya jutaan buruh yang tersingkir oleh A.I dan berbagai macam kebijakan reformis seperti kredit usaha mikro dan subsidi lainnya?
Bukannya dengan A.I justru situasi yang diharapkan kaum Sosialis justru semakin matang? Bagaimana bisa? Untuk menjawabnya mari membuka lembaran buku Ideologi Jerman karya Marx yang membahas tentang pertentangan kelas juga buku Leon Trotsky yaitu Revolusi Permanen.
Dalam Ideologi Jerman pertentangan kelas disebutkan sebagai motor sejarah terjadi karena terpenuhinya 3 faktor saling berkaitan yaitu kekuatan produksi atau kekuatan si pemodal vs buruh, relasi produksi atau hubungan antara si pemilik dan pekerja dan sumber daya produksi. Jika 3 faktor ini terpenuhi maka pertentangan kelas akan tercipta dengan sendirinya, tidak percaya?
Coba tengok Revolusi Prancis dahulu. Dengan kekuatan produksi dan hubungan produksi yang semakin dikuasai oleh pemodal akibat tuntutan efisiensi sebagaimana saripati kapitalisme tentu kelas buruh akan semakin tertentidas oleh teknologi A.I dan hasilnya buruh yang tak bisa bersaing akan ditendang sehingga situasi ini jika tidak dijawab akan menimbulkan polarisasi, pertanyaanya akan jatuh kemana? Fasisme atau Sosialisme? Jawabannya hanya kesiapan dari para SJW yang tau apakah mereka sudah melakukan reorganisasi dalam menjawab tantangan ini.
Hal ini tentu menjadi jawaban ilmiah atas perkataan Francis Fukuyama yang lupa jika kontradiksi internal kapitalisme akan membawa kehancurannya dan bukan berarti kapitalisme menang namun situasi objektif saja yang belum membuat terjadinya kontradiksi internal yang begitu kuat.
Dengan adanya prinsip efisiensi dan berkembangnya A.I justru kontradiksi malah benar-benar lahir dari kapitalisme itu sendiri. bahkan hal ini luput dari analisis David Harvey dan James Veltmeyer bahwa justru pertentangan kelas tidak berakhir hanya karena adanya pemberontakan namun pertentangan kelas justru lahir secara ilmiah karena perkembangan teknologi itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan Leon Trotsky? Trotsky menyebutkan dalam Revolusi Permanen bahwa masyarakat Sosialis hanya tercipta jika intensifikasi atau peningkatan alat produksi dimana industri manufaktur di kota dan produksi agro industri sudah tak berjarak sehingga kelas memudar dengan sendirinya dimana petani melebur menjadi pekerja sama seperti buruh.
Hal inilah kemudian dijawab dengan lahirnya A.I dimana A.I yang sekarang mampu melakukan efisiensi produksi industri manufaktur tentu tak butuh lama sebelum akhirnya melakukannnya di ranah agro industri. Jika ini terjadi maka gigit jarilah Francis Fukuyama dengan kapitalisme dan demokrasi barat yang dia bela itu.
Sungguh sangat menarik memang namun sesungguhnya tulisan berbelit ini hanya diawali dari teori materialisme dialektika dimana faktor materiil selalu menjadi awal sebelum ide ada atau kehidupan yang merubah kesadaran manusia bukan sebaliknya. Dengan adanya A.I maka tentu ini adalah sebuah kontradiksi dalam dialektika materialisme Karl Marx yang akan merubah kehidupan dan menjadi titik awal polarisasi masyarakat kedalam kelas tertentu ketika A.I mengambil alih kerja buruh hingga karyawan kantor.
Dalam akhir tulisan ini, penulis ingin mengajak para SJW untuk berpikir dan melakukan otokritik apakah anda mampu menjawab situasi ini? Dimana perkembangan teknologi informasi justru malah menjadi stimulus akan lahirnya situasi diamana revolusi memungkinkan terjadi, yang seram adalah ketika para SJW tidak siap dan malah dan gagap dengan perkembangan teknologi dan terus melakukan cara konvensional yang justru membuat masyarakat jatuh kedalam Fasisme, masyarakat yang putus asa tentu mudah jatuh kedalam Fasisme bukan?
Italia hingga Jerman tentu menjadi contoh nyata. Jadi bagaimana kerak-kerak Sosialisme? Apakah anda akan terus mempertahankan cara-cara konvensional disaat perkembangan A.I telah berhasil menciptakan musik sendiri hasil kreasi kecerdasan buatan? Dan untuk cebong dan kampret apakah anda paham dengan hal seperti ini?