Kamis, Oktober 3, 2024

2024, Tahun yang Penting bagi Demokrasi Global

Syihasarahil Al Dazfa Chairan
Syihasarahil Al Dazfa Chairan
Mahasiswa Hubungan Internasional dari Sakarya University di Turki yang senang Kucing

Pemilu Raya 2024 Indonesia diadakan, dengan jumlah DPT dalam negeri serta luar negeri sebanyak 204.807.222 dan 1.750.474. Ini menjadi pesta demokrasi rakyat kelima dalam sejarah Indonesia sejak masa Reformasi. Tentu saja, 2024 ini merupakan tahun yang penting dan penuh momentum bagi masyarakat Indonesia.

Bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk seluruh dunia. Bagaimana tidak, kalau kita cari di laman pencarian Google dengan kata utama “Pemilu 2024 di dunia”, terutama jika kita mencarinya dengan bahasa Inggris, kita bisa menemukan fakta bahwa sekitar 64 negara di dunia yang akan melaksanakan pemilu pada tahun 2024 ini, lima negara diantaranya merupakan anggota G20 yaitu Indonesia, Afrika Selatan, India, Rusia, dan Amerika Serikat.

Kalau diteliti dengan jelas, tiga dari negara tersebut termasuk dalam top lima negara dengan populasi terbanyak di dunia, yang tentu saja memberikan urgensi betapa pentingnya memilih pemimpin yang tepat bagi negara-negara tersebut tahun ini.

Pentingnya pemilu untuk lima negara ini disebabkan oleh gejolak sosiopolitik yang tengah terjadi di masing-masing masyarakat mereka. India tengah menghadapi penggeseran ideologi negara secara riil menjadi sesuatu yang esensinya adalah nasionalisme Hindu, dibuktikan dari serangkaian penyerangan terhadap kelompok Muslim India yang disertai penghancuran beberapa tempat ibadah mereka, dibarengi dengan pernyatan Perdana Menteri Modi untuk menggantikan nama “India” menjadi “Bharat”, yang menimbulkan kontroversi dikarenakan penggantian namanya dianggap tidak perlu dan berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Polarisasi juga tengah terjadi di Amerika Serikat yang mana masyarakatnya mulai memberikan rasa tidak puas dengan masa Joe Biden yang dianggap membiarkan inflasi meroket tinggi, respons Perang Rusia-Ukraina serta Invasi Palestina yang lemah dan tidak tepat sasaran, dan membengkaknya gerakan sayap kanan-anti kiri yang mulai memberikan suara lebih kepada Donald Trump. Berkaitan dengan perang, Rusia sendiri sedang dalam posisi yang sulit, mengingat mereka masih berhadapan dengan Ukraina dan hampir seluruh Barat dalam serangannya terhadap Ukraina yang menyebabkan terasingnya posisi negara yang dipegang oleh Putin ini di panggung dunia.

Afrika Selatan sendiri tengah menghadapi krisis yang paling genting di antara lima negara ini. Mati lampu yang berkepanjangan menjadi krisis terbesar di negara ini, disebabkan oleh manajemen tidak baik dari perusahaan listrik negeri mereka yaitu Eskom yang sarat akan penyalahgunaan dana untuk kepentingan pribadi para pemegang perusahaannya.

Krisis ini bisa mengancam keberlangsungan masyarakat Afsel yang masih memiliki angka inequality yang tinggi setelah runtuhnya apartheid. Indonesia tampaknya mempunyai segala permasalahan, dimulai dari minimnya diversifikasi sektor perekonomian negara, sistem pendidikan yang semakin terkomersialisasikan, serta potensi polarisasi politik antar pemilih pada tahun ini.

Yang perlu diperhatikan dari pemilu lima negara ini adalah siapapun pemimpin berikutnya akan menentukan atau menjadi faktor penggerak arus ideologi dunia. Kenapa begitu? Unipolarisme yang langsung terjadi setelah keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1990-an meletakkan dunia di bawah kekuasaan tunggal Amerika Serikat, menyebabkan negara adidaya ini bisa melakukan apa yang diinginkan tanpa pengawasan dan pencegahan yang ketat.

Tentu saja, penolakan besar datang dari dunia setelah perang dan invasi yang dikerahkan oleh AS terhadap Timur Tengah. Berbarengan dengan itu, di antara negara berkembang mulai muncul pemikiran bahwa sudah waktunya untuk melepaskan keterikatan yang terlalu erat dengan Barat dan melahirkan dunia baru yang berbasiskan multipolarisme.

Pemikiran ini semakin direalisasikan dengan kian menguatnya organisasi-organisasi antarpemerintah, diantaranya seperti BRICS dan ASEAN. Harapan akan multipolarisme pun tampaknya semakin menguat dengan ledaknya Perang Rusia-Ukraina dan Invasi Palestina, yang menyebabkan sentimen anti-Barat semakin membesar dan penuntutan keadilan serta penyelesaian perang bagi para korban dari agresi militer yang dilancarkan oleh negara Rusia dan Israel yang disertai penuntutan pertanggungjawaban kepada pendukung mereka.

Jika kita teliti lebih lanjut, nasib dunia ditentukan oleh negara mana saja yang bakal menuruti dan semakin mendekati Barat, mengetahui segala tindakan Barat yang sangat mencurigakan beberapa tahun terakhir ini, atau berada di pihak yang cenderung ingin berdiri sendiri bersama dengan negara lain. Sekarang, 64 negara akan menentukan nasib masa depan dunia, antara nasib yang memihak kepada yang sudah unggul atau pihak yang cenderung berusaha unggul tanpa yang sudah menang duluan.

Syihasarahil Al Dazfa Chairan
Syihasarahil Al Dazfa Chairan
Mahasiswa Hubungan Internasional dari Sakarya University di Turki yang senang Kucing
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.