Judul tulisan ini terinspirasi dari cerita dosen penulis yang beberapa waktu lalu memberi kuliah evaluasi pendidikan. Cerita ini sangat menggelitik untuk para guru yang memberi pembelajaran dengan mindset kognitif oriented. Juga mengharukan sekaligus memalukan, karena kurang jelinya seorang guru dalam melihat kondisi dan mendidik anak didiknya di sekolah.
Ceritanya seperti ini, ada anak didik sekolah dasar yang hampir setiap hari mengantuk dan melamun, bahkan tidak jarang sampai tertidur di kelas. Karena kebiasaanya itu, oleh gurunya dan bahkan teman–temanya di kelas di-bully dengan mengatakan kepada anak itu sebagai tukang tidurlah, tukang ngelamunlah, dst. Sungguh malang anak itu, tidak bisa terbayang bagaimana sedihnya anak itu dengan bully-an yang ditujukan kepadanya.
Kebiasaan anak itu berlangsung cukup lama, kisaran tiga tahun. Dari kelas satu sampai kelas tiga sekolah dasar. Belakangan sang guru secara tidak sengaja menemukan berkas rapor TK anak didiknya tadi di almari tempat penyimpanan berkas anak didik. Dan terbesit dalam pikiran sang guru bahwa rapor TK kan mendeskripsikan secara detil mengenai anak itu. Seperti tingkah laku, larat belakang, cara berjalan, dll. Sehingga sang guru penasan terhadap deskripsi anak didiknya yang sering ngantuk dan melamun tadi.
Di meja kerjanya sang guru membaca pelan-pelan lembaran deskripsi yang menjelaskan secara detil mengenai anak itu. Tapi tiba-tiba ada yang aneh. Sang guru tersedak-sedak, menangis sampai mengeluarkan air mata, melewati pipi hingga air mata sang guru menetes di rapor TK anak itu.
Ternyata dalam deskripsi dalam buku rapor TK anak itu menceritakan bahwa anak itu saat masuk sekolah dasar sudah yatim, yang artinya ayahnya sudah meninggal. Kondisi anak yang yatim mengakibatkan anak itu cenderung minder dan malu, bahkan terkadang muncul gelagat seperti iri terhadap teman-temanya yang masih punya keluarga yang utuh. Hal yang lumrah untuk anak yatim seusianya hingga muncul perilaku seperti itu.
Selanjutnya di ceritakan pula, di akhir masa TK nya bahwa ibunya juga mulai sakit-sakitan. Akibatnya anak itu harus menjaga ibunya sampai larut malam. Lalu efeknya, di siang hari saat di sekolah anak itu sering ngantuk, melamun sendiri, dst. Sudah barang tentu batin anak itu sungguh merana, coba bayangkan di saat seharusnya anak seusia itu bermain gembira bersama teman-temanya dengan tanpa ada beban, sedangkan anak itu sungguh berat beban yang harus ia terima.
Setelah melihat semua deskripsi anak itu, sang guru sungguh menyesali apa yang telah ia lakukan kepada anak itu. Sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Akhirnya di hari-hari berikutnya sang guru mulai mendekati dan menjalin emosi terhadap anak itu. Tidak seperti dahulu yang cenderung kasar pada sang anak didiknya itu. Bahkan sang guru berusaha keras untuk menggali kehidupan yang di jalani anak itu. Setelah beberapa saat, akhirnya sang guru mendapati bahwa ibunya belum kunjung sembuh dari sakitnya.
Lebih lanjut sang guru juga memberi treatment pada anak itu berupa pendampingan khusus di luar jam sekolah untuk membenahi pelajaran yang banyak tertinggal. Tidak sampai disitu saja, sang guru juga sering menjenguk ibu dari anak didiknya itu dengan memberi support juga bantuan pengobatan semampunya.
Singkat cerita, tidak lama kemudian anak didiknya itu berangsur-angsur mulai menemukan dirinya kembali. Layaknya seorang anak yang riang gembira dan tidak terlalu tampak kegelisahan yang sempat ia tunjukkan sebelumnya. Dan dari pengalaman sang guru terhadap anak didiknya yang suka mengantuk dan melamun itu akhirnya sang guru banyak belajar bagaimana seharusnya mendidik anak seusia mereka dan bagaimana metodologi yang tepat untuk mengajar anak seusia mereka.
Jangan hanya fokus pada transfer knowledge
Dari cerita itu seharusnya guru zaman now harus berbenah diri. Dalam mendidik jangan hanya terfokus pada transfer knowledge, tapi juga harus memperhatikan dari sisi afektif maupun psikomotorik. Terlebih sekarang sudah menuju tahun 2018, dimana teknologi semakin canggih.
Dan sudah menjadi realitas umum anak-anak di tahun 2017 ini sudah tidak asing lagi dengan apa yang dinamakan dengan gawai, bahkan gawai ini sudah menjadi lifestile atau bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan anak didik. Sehingga guru zaman now juga tidak boleh gaptek. Kalau gaptek bagaimana mengetahui pengaruh gawai terhadap para anak didik. Dan bisa dikatakan zaman ini sudah masuk zaman kreativitas dan inovasi alias out of the box.
Kritik Ken Robinson dalam buku karangan Ahmad Baedowi berjudul “Celak Edu 1, Esai – Esai Pendidikan 2008-2012” (2012), masih sangat relevan. Dia mengatakan, kebanyakan guru di sekolah saat ini menganggap badan dan tangan mereka hanya sebagai alat transportasi kepala mereka yang penuh rumus-rumus dan terkadang membingungkan.
Kritik Ken Robinson tadi menurut penulis masih relevan terhadap sebagian guru di zaman now. Ketika guru masih seperti yang dikatakan Ken, guru yang mindset-nya masih seperti itu bisa membuat guru itu sendiri maupun anak didiknya mati rasa, anti sosial, dan bisa jadi guru itu arogan dalam bertindak kepada anak didiknya. Misalnya dengan sangat tidak mentolerir sedikit kesalahan anak didik yang menerapkan rumus yang sudah diberikanya. Itu adalah contoh arogansi seorang guru yang bisa saja mematikan nalar kreativitas anak didiknya.
Didukung dengan pendapat Akif Khilmiyah dalam buku “Pendidikan Islam, Revolusi Mental dan Integrasi Keilmuan” (2014), yang mengatakan bahwa selama ini proses pembelajaran pendidikan islam di sekolah dasar cenderung diajarkan secara verbalistik dengan pendekatan doktrinasi semata.
Pembelajaran agama islam cenderung mengutamakan kecerdasan intelektual daripada kecerdasan emosional dan sosial. Anak lebih dihargai karena rangking dan nilai ujian, sehingga mata pelajaran PAI tidak mampu menjalankan fungsi sosialisasi dan desiminasi nilai-nilai kebaikan kepada siswa.
Bagi orang yang mengamati soal isu pendidikan tentu masih ingat pidato Presiden Jokowi di forum diskusi peringatan Hari Sumpah Pemuda di Istana Bogor, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Beliau mengatakan, kita memang sudah terlalu lama, pendidikan kita ini monoton. Selain itu, penulis mengutip dari dari news.detik.com (11 September 2017), Presiden Jokowi melontarkan usulan adanya jurusan meme di Undip, di depan ribuan mahasiswa peserta Dies Natalis ke-60 Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Sudah tepat menurut penulis, Presiden Jokowi mendorong adanya inovasi-inovasi di dunia pendidikan, mengingat memang selama ini pendidikan kita masih stagnan dan monoton dari berbagai segi. Terutama dalam hal ini adalah orientasi proses pengajaran yang dilakukan oleh para guru di Indonesia.