Dalam kondisi dehidrasi panas pekat Kota Jakarta, melalui Rapat Pleno DPP IMM saya diangkat menjadi Sekretaris Bidang Seni, Budaya dan Olahraga DPP IMM Periode 2018–2020 (Lihat SK Nomor : XXIV/A-1/2018 Tentang Pengesahan DPP IMM Periode 2018-2020), seketika membayangkan masa depan olahraga Indonesia.
Menpora Imam Nahrawi tidak jarang melebarkan dada menghadapi sejumlah kasus yang mengaitkan nama beliau di dalamnya, sebut saja kasus kemah apel pemuda yang menyeret Ahmad Fanani, atau kasus Ketua KONI Pusat yang juga menyeret nama beliau.
Berkaitan dengan itu, dalam tulisan ini saya secara khusus akan mengangkat tentang kondisi persebakbolaan Indonesia, secara spesifik kita bicara tentang awal sejarah, kejadian sekarang (problematika), dan konstruksi ideal di masa mendatang.
Ingatan di SSB KB
Di balkon lantai 4 sekretariat DPP IMM, sembari menghirup udara tak segar, memori saya kembali ke belakang, tepatnya 12 tahun silam, kira–kira saat itu saya masih menjadi peserta didik di SMP Advent Kota Bitung.
Bersamaan dengan teman sekelas lainnya saya mendaftar, dan mengikuti SSB KB (sekolah sepak bola Kota Bitung), di bawah asuhan Pak Muhammad, prestasi terbaik saya pada puncaknya saya bisa mengisi line up U–17 Bitung FC dalam pertandingan seleksi piala Soeratin, yang pada akhirnya kami kandas dan tidak bisa melanjutkan ke kompetisi utama.
Di SBB KB inilah kami di ajarkan bukan hanya teknik, taktik, dan strategi sepak bola, lebih dalam lagi kami belajar mengenai sejarah persepakbolaan. Semisal, sepak bola yang pertama kali di temukan di Tiongkok, sampai pada pengembangan sepak bola di Indonesia yang di inisiasi oleh Soeratin, seorang pahlawan kemerdekaan yang membentuk PSSI dan menjadi ketua PSSI pertama.
Soeratin Menangis Melihat PSSI
Ketika menyebut Soeratin, di benak para Pesepakbola Junior pasti terlintas sebuah kejuaraan yang diadakan oleh PSSI. Padahal, sejatinya kata Soeratin diambil dari nama pahlawan kemerdekaan, yakni Soeratin Soesrosoegondo. Berkat jasa beliaulah kemudian lahir PSSI yang saat ini menjadi induk persepakbolaan Indonesia.
Bukan rahasia lagi, jelas sudah banyak media mainstream yang mempublikasikan sejarah berdirinya PSSI. Tepatnya, pada tahun 1930 PSSI sudah terbentuk, mendahului kemerdekaan negara Indonesia. Semangat kemerdekaanlah yang kemudian melatar belakangi ketua umum PSSI pertama ini mendirikan PSSI.
Tragisnya, perjuangan Soeratin melalui PSSI hanya sampai pada “pintu gerbang kemerdekaan Indonesia”, sedangkan hari ini PSSI tidak mampu berbuat apa–apa. Jangankan berkembang, malah kita melihat hari ini PSSI digerogoti dengan skandal pengaturan skor, serta problematika dinamika internal yang jelas menghancurkan marwah PSSI.
Sejenak saya terhanyut dalam nuansa abstrak dalam sebuah hayalan singkat. Soeratin terbangun dari tidur panjangnya, Beliau berjalan dari TPU Muslimin Sirnaraga Bandung menuju Kantor PSSI yang di geledah itu. Beliau menangis dan berkata.
“Mental terjajah membuat kalian haus kekuasaan dan menjadi pengumpul harta, sehinggah kalian menjadi lupa substansi dari perjuangan PSSI.”
Sepak Bola Indonesia
Soal sepak bola Indonesia, enggan saya bicara liga yang terkena skandal pengaturan skor itu. Khususnya saya berbicara tim nasional saja. Pasalnya, sejak tahun 1938 sampai dengan sekarang timnas Indonesia tidak pernah lagi merasakan atmosfir piala dunia, selain itu saya menganggap prestasi itu tidak bisa diklaim, karena itu masih ada keterlibatan Belanda dalam pembinaannya. Selain itu, nama timnya juga belum Indonesia.
Seyogianya Indonesia yang menempati jumlah penduduk terbanyak nomor 4 di dunia bisa memaksimalkan potensi persepakbolaan yang ada, mulai dari SDM, fasilitas latihan, stadion yang mumpuni, serta pelatih kelas dunia, hal ini guna mengoptimalkan potensi pemain muda Indonesia, hinggah bisa berkiprah di kancah dunia.
Secara psikologi, hari ini masyarakat Indonesia ada pada fase pesimis, artinya jangankan bermimpi untuk menjadi juara piala dunia, bahkan masuk babak penyisihan pun terasa enggan untuk bermimpi, hal itu karena prestasi tim sepakbola Indonesia yang selalu merosot di kancah Asia.
Sebenarnya jika PSSI serius, ini hanya persoalan waktu saja. PSSI bisa meniru Asociación Uruguaya de Futbol (Asosiasi Sepak Bola Uruguay) yang telah terbukti mengangkat harkat dan martabat Uruguay lewat Sepak Bola. Sederhananya, Uruguay mampu mendistribusi pesepak bolanya di liga–liga bergengsi yang ada di Eropa, sebut saja salah satunya Luis Suarez, meskipun mereka bukan negara yang kaya.
Saran saya, PSSI yang saat ini bisa di katakan ada pada dinamika terburuk dalam kancah persepakbolaan Indonesia, harus bisa berbenah mulai dari sekarang. Mulai dari Komite Perubahan Sepak Bola Nasional (KPSN) yang harus bertindak netral dalam proses KLB PSSI.
Meski demikian, selain meyakini bahwa Komjenpol M. Iriawan alias “Iwan Bule” pantas memimpin PSSI, seiring dengan keyakinan itu, terselip sebuah harapan agar beliau dapat mengantarkan persepakbolaan Indonesia mencapai puncak prestasinya.