Selasa, April 16, 2024

Rasisme Bukan Kredo Kebudayaan

Faqihul Muqoddam
Faqihul Muqoddam
Seorang pegiat psikologi sains

Meredanya polemik pemilihan presiden tidak lantas membuat Indonesia aman dari berbagai bentuk pertikaian yang menggeluti masyarakatnya sendiri. Hari ini kita dihadapi oleh problem lain yang senantiasa sulit untuk dihindarkan, yakni perihal rasisme.

Terlepas dari problem tersebut, pada dasarnya Indonesia merupakan negara dengan 714 suku dan memiliki lebih dari 1.001 bahasa daerah seperti disampaikan Jokowi saat debat keempat pilpres 2019 yang dikutip dari kompas (30/03/2019).

Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan suku bangsa terbanyak di dunia. Cukup membanggakan mengingat semboyan republik ini masih tetap bhinneka tunggal ika yang menjunjung tinggi keberagaman.

Besarnya jumlah suku bangsa tentu menjadi tantangan tersediri bagi negara ini, sebab, semakin banyak budaya yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, maka semakin besar pula peluang timbulnya pertikaian antar ras (yang meliputi tampilan fisik, rambut, mata, warna kulit, bentuk tubuh, dan segala unsur keturunan) dan etnik (meliputi adat-istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya).

Gesekan-gesekan antar individu maupun kelompok pun juga akan sering terlihat di berbagai wilayah. Tidak hanya dalam skala besar seperti antar wilayah dan negara, gesekan juga rentan terjadi dalam skala mikro antar individu di tempat kerja maupun dalam keluarga.

Munculnya ketidaksepahaman dari masing-masing pribadi menurut Adorno merupakan sesuatu yang wajar. Sebab hal tersebut muncul dari kepribadian otoriter. Setiap manusia menurutnya memiliki kepribadian otoriter namun dengan intensitas yang berbeda.

Manusia yang cukup fanatik dengan kelompoknya sendiri dan menegasikan kelompok lain merupakan bentuk dari manusia dengan kepribadian otoriter yang tinggi. John W Berry biasa menyebut tipe ini dengan separation untuk menyebut seseorang atau kelompok yang cukup lekat dengan budayanya dan menjauhi interaksi dengan budaya lain.

Sebaliknya, seseorang dengan tipikal kepribadian otoriter yang rendah cenderung menghargai perbedaan kelompok lain dalam menjalin keharmonisan dalam masyarakat. Berry biasa menyebutnya dengan integration.

Tindakan rasisme beberapa hari yang lalu terhadap migran asal Papua mengingatkan kita kembali pada beberapa konflik etnis dan ras yang sudah berlalu, seperti konflik sampit antara suku Dayak dengan Madura pada tahun 2001, konflik antar agama di Ambon pada 1999, konflik antar suku di Papua dan beberapa konflik atas nama etnis dan ras lainnya di Indonesia.

Perbedaannya, jika konflik-konflik terdahulu sudah berupa tindakan represif, sedangkan yang sekarang masih berupa sentiment negatif dan kekerasan rasisme secara verbal yang berpeluang untuk muncul ke permukaan menjadi suatu konflik besar antar ras. Jika kita berpikir dampak dari kejadian tersebut, sudah terlalu banyak korban jiwa yang terjadi dan beberapa kerugian material lainnya akibat konflik yang terjadi sebelum-sebelumnya.

Dalam perspektif psikologi sosial, setiap orang atau kelompok manusia cenderung melakukan indentifikasi sesuai kelompoknya masing-masing. Hal ini disebut dengan in group dan out group. Identifikasi in group terjadi karena dilandasi perasaan simpati, fanatik, dan menganggap dirinya menjadi bagian dari kelompok yang dimilikinya. Sebaliknya, identifikasi out group bersumber dari perasaan berbeda dengan kelompok lain dan cenderung memunculkan dikotomi antar golongan.

Pengklasifikasian seperti ini yang kemudian kerap menimbulkan sikap etnosentrisme antara kedua kelompok tersebut dan berpeluang menciptakan konflik kebudayaan. Hal ini yang melatarbelakangi timbulnya tindakan rasisme terhadap para migran yang berasal dari Papua beberapa waktu yang lalu.

Yang perlu dijauhi sebenarnya agar dapat terhindar dari konflik antar ras adalah menghilangkan prasangka kita terhadap orang atau kelompok lain. Hal ini yang menjadi sebab utama munculnya sikap diskriminasi yang berujung pada tindakan rasisme pada kelompok di luar kita.

Seperti yang dijelaskan oleh Gordon Allport dalam bukunya the nature of prejudice bahwa prasangka merupakan sikap negatif seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain berdasarkan cara menggeneralisasi dan pengalaman yang salah. Prasangka menjadi penghambat utama komunikasi antar budaya, khususnya bagi pendatang yang baru melakukan kontak pertama dengan masyarakat dominan. Dengan prasangka, maka akan semakin tampak jurang pemisah antara in group dan out group para pelaku rasisme dan korban dari perlakuan tersebut.

Secara struktural, masyarakat Papua yang pergi untuk mendapatkan Pendidikan dan pekerjaan di berbagai daerah selalu berperan sebagai golongan minoritas. Golongan ini selalu menjadi masyarakat kedua di tengah-tengah masyarakat dominan, sehingga mereka rentan teralienasi dan mendapatkan perlakuan berupa segregasi hak oleh masyarakat tuan rumah. Tindakan rasisme merupakan bentuk dari perlakuan segregasi.

Lebih jauh, Liliweri dalam bukunya “Prasangka dan Konflik” mengemukakan bahwa rasisme umumnya terbagi menjadi dua, yakni secara individu dan secara konstitusional. Secara individu kerapkali datang dari segelintir masyarakat terhadap ras lain, sedangkan secara konstitusi, rasisme atau perlakuan segregasi dihasilkan dari berbagai kebijakan yang diterapkan di wilayah tertentu oleh pemerintah resmi.

Tindakan rasisme yang diperoleh oleh masyarakat Papua cenderung mengarah pada tindakan rasisme individual. Sebab hal itu ditimbulkan oleh segelintir orang yang memiliki prasangka negatif kepada masyarakat Papua sebelumnya.

Entah disengaja atau tidak, perlakuan tersebut cukup mencederai keberagaman masyarakat kita serta dapat membangunkan kembali polemik kelas masyarakat yang menjadi gejala kita sejak dahulu. Di beberapa kasus, tindakan rasisme secara simultan dibarengi dengan sebuah perlawanan yang diikuti elemen masyarakat lain yang cukup peduli terhadap kesamaan hak. Upaya tersebut sekaligus sebagai respon dari buruknya kondisi sosial manusia.

Pertikaian antar kelompok seringkali dilandasi atas dasar SARA yang selalu menjadi problematika umat secara global. Beberapa kasus diskriminasi oleh masyarakat kulit putih terhadap masyarakat kulit hitam selalu menjadi isu hangat di berbagai negara eropa hingga saat ini.

Hal itu terlihat dari beberapa tuntutan dalam bentuk demonstrasi yang tidak sedikit muncul di berbagai surat kabar cetak dan media sosial sehingga  menunjukkan bahwa masalah ini bukan masalah sepele dalam dunia globalisasi. Buntut panjang dari kasus tersebut lantas muncul di beberapa negara lain, khususnya Indonesia yang notabenenya sebagai negara yang heterogen.

Bagaimanapun, rasisme selalu menjadi luka lama polemik humanisme yang selalu muncul akibat arogansi dari beberapa pihak superior. Ini merupakan tugas kita bersama dalam tetap menjaga ukhuwah satu sama lain, tugas kita dalam menjamin hak-hak golongan minoritas, serta merupakan kewajiban kita dalam menciptakan nuansa kasih sayang antar sesama. Sekali lagi, rasisme bukan sebuah kredo kebudayaan yang patut dilestarikan dari masa ke masa, generasi ke generasi.

Faqihul Muqoddam
Faqihul Muqoddam
Seorang pegiat psikologi sains
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.