Minggu, November 24, 2024

Raja Perempuan di Mataram, Mungkinkah?

AJ Susmana
AJ Susmana
Penulis
- Advertisement -

Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin menulis: “Raja wanita sama-sama merupakan kutukan bagi tradisi bina-negara Hindu, Buddha, Islam dan Cina”.

Tapi, masyarakat-masyarakat Austronesia, yang mencakup Polynesia dan Madagaskar berikut Indonesia serta Filipina, lebih cenderung mendudukkan wanita bangsawan di tahta kerajaan dibandingkan dengan kelompok-kelompok  penduduk besar lainnya.

Sulawesi, yang urutan kelahirannya selalu dipentingkan daripada jenis kelamin dalam menentukan pengganti raja, mungkin merupakan suatu kasus ekstrem. Enam dari tiga puluh dua raja Bone (kerajaan Bugis terluas) sejak kebangkitannya di abad ke-14 adalah wanita.

Tatkala James Brooke mengunjungi negara Bugis tetangganya, Wajo, ia menjumpai bahwa empat dari enam arung (penguasa) besar adalah wanita. Di mana pengaruh India (atau di Vietnam, pengaruh Cina) lebih kuat, terutama di istana-istana Benua yang lebih bermegah-megah, wanita raja jarang terdapat.

Siam belum pernah menunjuk wanita sebagai raja dan Vietnam serta Birma jarang sekali melakukannya. Di Asia Tenggara yang muslim, model raja Islam yang pria tampak akhirnya lebih berlaku sekitar tahun 1700; dan sedikit sekali raja wanita sesudah itu.”

Dengan sekilas pengetahuan penggalan historis yang disampaikan Anthony Reid mengenai raja-raja wanita di atas, sederhana saja, kita bisa menjawab pertanyaan: Raja Perempuan di Mataram, Mungkinkah?

Jawabnya: mungkin. Kehadiran raja-raja perempuan di Nusantara adalah fakta yang menyejarah dan tidak bisa dihapuskan walau semakin ke sini semakin sedikit yang tampil. Dalam konteks suksesi raja di Mataram ke depan, raja perempuan di Mataram pun mungkin mengingat begitu getolnya HB X membuka jalan bagi putrinya: GKR Pembayun  untuk menduduki takhta Kraton Yogyakarta.

Pada tahun 2015, HB X memberikan gelar Mangkubumi kepada Pembayun dan  hambatan legalitas hukum yang merujuk pada UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY yang mengisyaratkan bahwa calon gubernur yang terpilih harus laki-laki sudah tidak ada.

Di samping itu kita bisa mendengar dari berbagai pernyataan GKR Hemas yang mendukung kemandirian perempuan dan dunia modern yang memberikan tempat bagi perempuan untuk tampil memimpin.

Justru hambatan utama untuk tampilnya raja perempuan di Mataram, datang dari internal Kraton sendiri dengan berbagai alasan dan dalih di seputar tradisi, adat-istiadat maupun agama.

- Advertisement -

Masyarakat Jogja bila masih berpijak dan percaya pada keistimewaan Yogyakarta tentu akan menerima raja: tanpa peduli jenis kelaminnya sebagai hasil musyawarah keluarga Kraton tersebut.

Untuk apa ribut-ribut mempermasalahkan suksesi Kraton, toh masyarakat Jogja tak terlibat dan berpartisipasi selayaknya masyarakat demokratis yang memilih pemimpinnya. Sebagai kawula Mataram, bersiaplah menerima hasil sebagaimana ditegaskan HB X dalam sabdatama, bahwa estafet takhta di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan urusan internal: ora isa sopo wae, ngungkuli utowo ndhuwuri mungguhing kraton. Tidak seorang pun boleh melebihi kewenangan kraton.

Tentu saja adanya pergolakan dalam suksesi raja di salah satu cabang Dinasti Mataram ini akan menarik kekuatan luar untuk “turut campur”. Terlebih cabang yang satu ini yaitu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah cabang yang mempunyai kewenangan politik sebagai Gubernur Provinsi Yogyakarta; berbeda misalnya dengan suksesi di Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang tidak punya implikasi langsung  terhadap politik.

Di masa dahulu, bahkan  pergolakan  dalam soal suksesi raja Mataram bisa mengundang VOC, Perusahaan Dagang Belanda untuk turut campur dan menentukan hasil musyawarah kraton dalam memilih raja.

Ketika semakin tak berkuasa di hadapan penjajahan Belanda, suksesi Kraton pun bisa diatur oleh penjajah Belanda. Pemberontakan Diponegoro, 1825 – 1830, yang dikenal sebagai perang Jawa adalah juga akibat dari suksesi Kraton yang mulai menyerah terhadap tekanan penjajah dan penumpasan terhadap orang-orang yang tidak setuju terhadap hasil suksesi kraton itu pun berhadapan dengan penjaga rust en orde Pemerintahan Hindia Belanda.

Tentu situasi hari ini berbeda dengan situasi di bawah kolonialisme. Kewenangan Kraton Yogyakarta Hadiningrat telah dilindungi dan ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Keistimewaannya pun diterima dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah RI (pusat) tentu tak akan seperti Gubernur Jendral Belanda di Batavia yang main atur-atur  pemilihan raja-raja di Mataram sesuai kepentingannya. Dengan begitu suksesi Kraton di Yogyakarta bisa benar-benar berjalan di atas landasan musyawarah keluarga Kraton.

Bila musyawarah itu memenangkan GKR Pembayun sebagai Raja Yogyakarta tentu ini merupakan peristiwa bersejarah bagi kawula Mataram Yogyakarta dan Dinasti Mataram itu sendiri. Ini semacam revolusi istana yang dimenangkan faksi modern dalam keluarga Kraton Yogyakarata.

Sebab, bila kita menengok sejarah raja-raja Mataram dan raja-raja pendahulunya sebagaimana tertulis dalam Babad Tanah Jawi, kita tidak akan menemukan satu pun raja perempuan.

Walaupun Sultan Agung menyatakan diri sebagai pewaris sah dari raja-raja Majapahit; pun dalam Babad Tanah Jawi  tercantum raja besar Majapahit Hayam Wuruk dan  kita mengerti bahwa Tribhuwana Tunggadewi adalah raja perempuan sebelum Hayam Wuruk, ternyata para pujangga Mataram tak memasukkannya sebagai bagian dari raja-raja pendahulu Dinasti Mataram.

Artinya Dinasti Mataram dalam sejarahnya yang panjang itu memang tak menghendaki tampilnya perempuan menjadi Raja Mataram.

AJ Susmana
AJ Susmana
Penulis
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.