Kamis, April 18, 2024

Pizza Syar’i di ‘Planet’ Bekasi

Hanafi Wibowo
Hanafi Wibowo
Pakar Sejarah Eropa. Editor dan Content Writer di Neo Historia. Co-Founder komunitas 'Aliansi Percinaan'

Kita sudah tak asing lagi dengan tekstur roti pipih yang lembut dan berminyak, dengan taburan peperoni yang kandungan umaminya telah di elevasi oleh asam glutamat yang terkandung dalam pasta tomat, berpadu dengan lelehan keju mozarella hangat, menjadi sebuah simfoni yang terasa mantap di lidah. Ya, itulah Pizza! Penganan yang telah mendunia seiring dengan globalisasi yang makin berdentum.

Pizza memulai debutnya sebagai makanan kaum papa di Kerajaan Napoli, Italia Selatan (Mezzogiorno). Pada masa itu, Pizza hanyalah jajanan kaki lima. Para pedagang Pizza berkeliling sambil berteriak menjajakan Pizza yang disimpan dalam loyang tembaga bernama scudo.

Sampai suatu hari, Raja Napoli, Ferdinand Antonio Pasquale Giovanni Nepomuceno Serafino Gennaro Benedetto de Bourbon (1751-1825), yang sedang blusukan pun terpincut untuk mencicipinya hingga ia ketagihan.

Sejak itu, ia rutin menyisihkan waktu untuk blusukan dan mencicipi setangkap Pizza yang dijual di warung milik Antonio Testa. Namun ketika sang Raja bertekad mengundang Testa untuk menjadi koki Pizza di istana, langkah itu ditentang oleh Istrinya, Ratu Maria Karolina Luise Josepha Johanna Antonia von Habsburg-Lothringen. Kakak dari Ratu Prancis, Marie Antoinette, itu merasa Pizza hanyalah hidangan rakyat jelata yang tak layak disantap oleh aristokrat yang bergengsi.

Barulah setelah cucunya, Ferdinand Carlo de Bourbon naik tahta, Pizza diterima masuk istana bahkan ia juga membayar Domenico Testa, putra dari Antonio Testa, untuk membangun oven Pizza di Dapur Istana. Akibatnya, para saudagar kaya dan pejabat kerajaan mulai menyerbu kedai Pizza.

Resep Pizza kemudian disebarkan ke seluruh Italia hingga Eropa, lalu dibawa ke benua Amerika oleh para imigran Italia. Dari Amerika, Pizza menyebar hingga pelosok terjauh bumi dan dapat dinikmati oleh masyarakat luas tanpa memandang suku ataupun golongan.

Kendati kerap dipersepsikan sebagai makanan yang kurang menyehatkan raga, Pizza sudah tidak asing lagi dalam kehidupan kita. Pizza kini telah menjadi dagangan laris di pelbagai macam pujasera, dari mulai waralaba internasional seperti Pizza Hut dan Domino, hingga kafe mungil yang dapat memproduksi Pizza dengan harga miring.

Namun kali ini, jenis Pizza yang unik telah hadir di Mall Sumarecon yang terletak di ‘Planet’ Bekasi. Pizza yang kelahirannya dibidani oleh Desvanto Rosatiawan ini, ia klaim sebagai satu-satunya Pizza yang telah melewati proses ruqyah dan Quranic Quantum Healing serta dibanjiri secara kontinyu oleh cahaya gelombang Al Quran.

Desvanto optimis, Pizza buatannya bukan hanya enak dari segi rasa, namun juga mampu menginjeksikan elemen-elemen positif kepada fisik serta jiwa orang yang menyantapnya. Karena, Pizza tersebut sudah naik maqom meninggalkan level kuliner profan menuju level kuliner transendental.

Pembaca pasti tercengang mendengarnya. Tak cukup sampai disitu, Diva Pizza, label produk yang dipilih oleh Desvanto juga memasang slogan yang tak kalah menggegerkannya: “Halalin dulu, biar ga deg-degan terus” & “Halalin Pizza kamuh”.

Slogan yang sekilas mirip dengan propaganda gerakan nikah muda itu berpotensi mengundang polemik dan problematika. Seolah, pizza-pizza yang lebih dahulu dijual oleh sejumlah waralaba papan atas, juga oleh industri rumahan, belum layak dianggap sebagai produk halal kendati telah mengantongi sertifikat dari MUI, sehingga konsekuensinya, tak semestinya masuk kedalam perut umat Islam di Indonesia.

Sebenarnya, Crossover antara industri kuliner dan elemen syariat Islam, bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, hal serupa pernah dilakukan oleh HefChicken, waralaba ayam cepat saji yang menurut kabar, dipelopori oleh Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Dr. Adian Husaini.

Selain tampil beda dengan pemilihan bahan yang bersifat organik, HefChicken juga sesumbar bahwa bumbu yang mereka pakai diracik oleh seorang lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, dan setiap hari ayam mereka mendengarkan lantunan murottal.

Walau terdengar ganjil, rasa ayam goreng mereka, ternyata tidak buruk dan triangulasi kerenyahan kulitnya, hampir semagis dengan ayam goreng merk Rocky Rooster yang populer di kalangan mahasiswa Universitas Binus. Pertanyaannya, apa urgensinya memasukkan unsur-unsur Syariat Islam kedalam industri Boga? Wabil chusus dalam kasus Diva Pizza.

Pertama, sejak reformasi berderu kencang, elemen syariat Islam mulai memenuhi ruang publik kita. Dari mulai maraknya sinetron religi di layar kaca, semakin banyak kaum hawa yang tergerak menyampirkan hijab syar’i untuk menutupi lekuk sintal tubuhnya, serta munculnya pendakwah generasi baru yang beroperasi dalam lapisan muslim perkotaan seperti Abdul Somad Batubara dan Felix Siauw. Yang dilakukan oleh Diva Pizza hanyalah mengikuti trend pasar yang makin religius.

Kita bisa melihat dari segi pemilihan diksi slogan: “Halalin dulu, biar ga deg-degan terus” & “Halalin Pizza kamuh”. Konsumen yang merasa perlu untuk menjadi lebih sholeh dan lebih kaffah dalam berislam, digelitik nuraninya, tersugesti untuk merenungkan status kehalalan Pizza yang biasa mereka santap dan untuk itu, Diva Pizza menyediakan jalan keluarnya berupa Pizza Syar’i.

Kedua, menjamurnya usaha makanan siap saji. Segmentasi pasar menengah keatas sudah di monopoli oleh Pizza Hut dan Domino. Sedangkan golongan marjinal lebih memilih menyantap hidangan di Warung Tegal (Warteg) ataupun membeli ayam goreng cepat saji kaki lima. Apalagi, kini sudah ada jasa Gofood yang melipatgandakan kapasitas ekspansi mereka. Karenanya, Diva Pizza tidak bisa meresikokan diri dengan bertarung di segmentasi kelas yang sama.

Apalagi masyarakat Indonesia, cenderung lebih menyukai nasi ketimbang roti untuk makan tiga kali sehari. Bagaimana restoran pizza baru bisa bersaing, selain dengan mematok harga yang tak mencekik dompet? Tentu saja dengan bermain pada ranah eksistensi kualitas keber-agama-an.

Ketiga, Desvanto Rosatiawan sebagai individu yang berkecimpung dalam ranah Quranic Quantum Healing, melihat potensi untuk mendemonstrasikan daya gedor ayat-ayat suci Al-Quran terhadap segala anasir negatif, dengan membubuhkannya pada salah satu varian kuliner yang kerap dilabeli sebagai Junk Food, yakni Pizza.

Terakhir, kita paham, Bekasi tak hanya terkenal dengan suhu panas akibat paparan gas buang industri serta kesemerawutan tata ruang kotanya, hingga kota penyangga Jakarta ini disematkan status oleh publik di Jagat Mayantara sebagai ‘Planet’, namun juga melegenda sebagai lumbung suara bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Otomatis, di ‘planet’ ini pasti terdapat sejumlah besar konstituen muslim konservatif yang boleh jadi akan tertarik dengan apa yang ditawarkan oleh Diva Pizza.

Karenanya, eksistensi Pizza Diva diantara gugus waralaba penganan siap saji, dapat kita maknai sebagai format ijtihad gigih dari seorang wirausahawan metropolitan, serta berpeluang menambah panjang daftar khazanah keajaiban di ‘Planet’ Bekasi.

Maka dari itu, bagi para penikmat kuliner, tak ada salahnya membelokkan roket sejenak menuju ‘Planet’ Bekasi guna mencicipi sepotong Diva Pizza, siapa tahu dapat menorehkan aksen rasa baru pada hidup yang kerap diliputi kesemenjanaan.

Hanafi Wibowo
Hanafi Wibowo
Pakar Sejarah Eropa. Editor dan Content Writer di Neo Historia. Co-Founder komunitas 'Aliansi Percinaan'
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.