Meminjam istilah Heidegger, teknologi adalah enframing, yaitu rangkaian teknis yang dibuat manusia untuk mengungkap kebaruan/tujuan. Teknologi tak lagi sebatas identitas peradaban kultural, ia merasuk dalam peradaban rasional. Relasi manusia dengan mesin menjadi primer, sementara relasi antar manusia sebagai subjek bertubuh menjadi sekunder.
Evolusi teknologi memperlihatkan bahwa teknologi adalah perpanjangan tubuh manusia, dan akhirnya menjadi perpanjangan imajinasi yang mampu merealisasikan fantasi sebagaimana dikemukakan Jean Baudrillard, di mana lewat tangan teknologi cerdas, segalanya menjadi virtual digital lalu dengan mudah digandakan menjadi hiper-realitas. Perubahan tersebut mungkin hanya utopis semata berabad-abad lalu, sebagaimana banyak disajikan dalam film Hollywood atau buku science fiction.
Manusia begitu takjub dengan kecerdasannya karena berhasil melahirkan kecerdasan buatan ras mesin, hingga akhirnya dampak negatif penggunaan teknologi cerdas menjadi tak terhitung lagi kasusnya, merugikan manusia lainnya.
Mulai dari hoax, penyalahgunaan konten privat, rusaknya ekologi dan pencemaran lingkungan, hingga gangguan mental akibat kecanduan teknologi. Banyak oknum memanfaatkan teknologi melewati batas etis dan norma sosial yang berlaku demi meraup keuntungan pribadi, merekalah penumpang gelap teknologi.
Pada awalnya, pengembangan teknologi berpusat pada kebutuhan bertahan hidup, kemudian berkembang, meminjam istilah Heidegger, menjadi perhimpunan berbagai ada yang membingkai kehidupan manusia menjadi realitas teknologi. Semisal peristiwa pemadaman listrik di Jakarta beberapa waktu lalu.
KRL tidak bisa beroperasi, kegiatan bisnis yang memerlukan konektivitas menjadi terganggu dan menimbulkan banyak kerugian, masyarakat cashless society yang terbiasa bertransaksi lewat uang-uang virtual menjadi kebingungan karena koneksi tidak stabil atau komputer mati butuh daya. Begitulah, segala aktivitas manusia modern dilakukan dengan listrik dan teknologi.
Sebagaimana Kevin Kelly pernah mengemukakan bahwa manusia sudah sedemikan dilingkupi oleh teknologi. Sementara masing-masing teknologi membutuhkan banyak teknologi lain agar bisa terus beroperasi. Konektivitas berbagai teknologi yang saling bergantung ini menyebabkan manusia menjadi organisme virtual. Manusia tak lagi hanya dikenal sebagai binatang yang berfikir, pun predikatnya bertambah menjadi binatang yang menggunakan alat.
Menurut survei Asosiasi Penyelenggaraan Jasa Internet Indonesia (APJII) 2017, pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 143,26 juta. Aplikasi yang paling banyak diakses adalah gim, belanja online dan media sosial yang mayoritas diakses melalui smartphone. Dalam survei juga menyebutkan rata-rata kita menyentuh layar smartphone 2.600 kali setiap hari.
Mereka yang lebih agresif bisa menyentuh lebih dari 5.000 kali sehari. Sebagaimana model bisnis Facebook dan Google yang menuntut sentuhan dan perhatian pengguna aplikasi, fenomena ini memunculkan istilah baru “attention-based economy”, yaitu ekonomi yang dibangkitkan oleh perhatian para pengguna, meski sebatas memencet tombol “like” di Facebook atau “love” di Instagram.
Dewasa ini, pengembangan kecerdasan buatan dan mesin mulai memantapkan posisinya di kancah bisnis internasional dan mengancam eksistensi manusia. Persaingan lapangan pekerjaan berubah tidak hanya melibatkan manusia namun juga mesin dan robot.
Berdasarkan rilis terbaru McKinsey Global Institute memprediksi tidak kurang dari 50 persen pekerjaan yang sekarang ada bisa diotomatisasi pada 2055, dan mesin akan mengambil sekitar 60 persen pekerjaan manusia. Mungkin istilah “Ambil mesinnya, buang orangnya” akan menjadi momok besar dalam dunia industri masa depan.
Irving Good pada 1965 memprediksi akan ada ledakan kecerdasan dimana mesin lebih cerdas dari manusia dan mampu merancang mesin yang lebih cerdas lagi. Menurut Ray Kurzweil, eksekutif Google, pada 2020 komputer akan mampu meniru cara kerja otak, 2029 komputer menyamai kecerdasan manusia, dan 2045 singularitas akan terjadi.
Singularitas teknologi adalah hipotesis tentang menunggalnya manusia (homo sapien) dengan mesin super-cerdas yang memicu ledakan kecerdasan dan melahirkan manusia jenis baru (homo deus), di mana manusia dan mesin tidak dapat dibedakan lagi; hibrid. Pada masa ini, manusia hibrid mampu merekayasa gen dan memahami cara kerja bio-molekul dalam tubuh manusia.
Sehingga manusia bukan hanya dapat menaklukkan berbagai penyakit kronis atau genetik seperti kanker dan jantung koroner, melainkan juga mampu memperpanjang harapan hidup hingga melawan kematian, seolah melampaui otoritas Tuhan.
Lalu bagaimana perkembangan teknologi di Indonesia? Indonesia masih berada di posisi menjadi pasar yang konsumtif. Mayoritas peralatan teknologinya masih di impor dari negara-negara maju dengan alasan transfer pengetahuan, namun nyatanya melalaikan kemampuan dalam negeri untuk memulai produksi sendiri.
Memang, banyak program pemerintah yang mengklaim hendak mendorong industri kreatif di tanah air. Proyek TKDN (Teknologi Kandungan Dalam Negeri) terkesan hanya kesepakatan bisnis belaka, tidak sampai menopang perkembangan teknologi dalam negeri apalagi hingga produksi masal untuk dipasarkan. Terbukti, adakah produk elektronik, industri maupun rumahan yang bermerk asli Indonesia mampu menguasai pangsa pasar?
Padahal teknologi adalah prasyarat peradaban. Sebab label “peradaban” selalu diidentifikasi dari jejak peninggalan budaya material teknologinya. Tentu saja jejak sains pun merupakan penilaian konkrit. Lalu apakah Indonesia akan tetap dikenal sebagai negara berperadaban di masa depan jika masih ketergantungan mengimpor teknologi? Bahkan baru-baru ini sampai rektornya pun hendak di impor.
Peristiwa crowdfunding pesawat R-80 karya B.J Habibie lewat kitabisa.com merupakan bukti bahwa masyarakat kita mengapresiasi dan sangat ingin membantu mensukseskan pembuatan pesawat R-80. Fenomena ini, seharusnya bisa membangkitkan kesadaran akan pentingnya suatu bangsa dalam menguasai teknologi.
Para inovator sudah ada, apresiasi masyarakat juga sangat besar, tinggal bagaimana peran pemerintah kedepannya untuk mewadahi dan mewujudkan ide-ide cemerlang rakyatnya. Jangan sampai peneliti dan ilmuwan Indonesia lari ke luar negeri karena kurangnya dukungan pemerintah.
Kesadaran pentingnya suatu bangsa menguasai teknologi (sekali lagi bukan hanya mengimpornya) tidak akan semata-mata terbentuk tanpa peran utama pemerintah, di samping pula peran masyarakat dan investor.
Sebab regulasi dan ketersediaan dana untuk riset dan produksi merupakan faktor vital. Sehingga lewat momen Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) 2019 ini yang mengambil tema “Iptek dan Inovasi Dalam Industri Kreatif 4.0” dengan subtema “Industri Kreatif 4.0 untuk Kemandirian dan Daya Saing Bangsa” dan tagline “Inovasi, Bangun Bangsa”, semoga tak sekedar perayaan seremonial belaka yang dirayakan tiap tanggal 10 Agustus berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 71 Tahun 1995.
Tapi dapat menjadi suatu momentum kesadaran seluruh elemen bangsa akan pentingnya pendidikan dan penelitian yang bisa menyongsong Indonesia menjadi bangsa yang berdikari menciptakan kebutuhan alat teknologinya sendiri.