Ungkapan heroik di atas merupakan sebuah kata bijak dari seorang sastrawan Indonesia bernama Pramoedya Ananta Toer. Melalui kata tersebut, Pram ingin menggambarkan betapa peran dan kehadiran pemuda sangat penting dalam sejarah panjang pradaban bangsa Indonesia. Tanpa perjuangan kaum muda, mungkin sampai saat ini kemerdekaan Indonesia hanyalah sebuah wacana.
Membolak-balik lembaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kita akan senantiasa menemui kisah-kisah perjuangan hebat yang dimotori kaum muda. Bermula dari gerakan Kebangkitan Nasional Budi Utomo (1908), Sumpah Pemuda (1928), Perjuangan Kemedekaan Indonesia (1945), menumbangkan rezim Orde Lama (1966), peristiwa Malari (1974), sampai penurunan paksa rezim Orde Baru (1998). Hampir semuanya itu, berasal dari buah pemikiran serta gerakan pemuda
Berkaca pada sejarah tersebut, pemuda senantiasa memiliki efek yang luar biasa terhadap perubahan besar suatu negara atau bangsa. Semangat muda adalah semangat perubahan, kreatif, visioner, pekerja keras, serta mempunyai nilai positif dalam perubahan.
Hal itu mengamini apa yang dikatakan oleh Perdana Inggris, Benjamin Disraeli, bahwa “Almost everything that is great has been done by youth”. Hampir segala sesuatu yang hebat telah dilakukan oleh kaum muda.
Reposisi Perjuangan
Apabila generasi muda di zaman dahulu berjuang demi bangsa dan tanah air dengan mengangkat senjata di medan perang menghadapi Belanda maupun Jepang, generasi muda saat ini juga harus tetap berjuang demi bangsa dan negara dengan cara yang berbeda.
Perang fisik dan senjata telah usai, namun perjuangan untuk memajukan bangsa harus tetap berjalan. Salah satu jalan atau instrument perjuangan membangun bangsa di era milenial ini adalah melalui jalur kepemimpinan (leadership).
Pepatah Arab mengatakan ‘Syubbaanul yaumi rizaalul ghodi”, pemuda sekarang adalah pemimpin dimasa yang akan datang. Hal yang sama juga ada istilah dalam bahasa inggris yang berbunyi “Student Now, Leader Tomorrow”, hari ini pemuda/pelajar, besok pemimpin. Itu artinya, generasi muda merupakan warisan penting yang dimiliki oleh setiap bangsa atau negara.
Dalam “Kabinet Indonesia Maju”, Presiden Joko Widodo dan K.H Mar’uf Amin, telah melantik beberapa nama yang dianggap mewakili generasi muda. Seperti Wishnutama (42) tahun menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menpar-Ekraf); Erik Tohir (49) tahun sebagai menteri BUMN; Bahlil Lahadalia (43) tahun sebagai Kepala BKPM; dan Nadiem A Makarim (35) tahun sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Bahkan, Nadiem Makarim menjadi menteri paling muda dalam Kabinet Indonesia Maju.
Selain di tataran eksekutif, kehadiran sosok milenial (muda) juga terjadi juga pada lembaga legislative (DPR) periode 2019-2024. Dari jumlah 575 anggota yang dilantik, 52 orang di antaramya berusia di bawah 30 tahun. Tentu hal ini menjadi sebuah kemajuan dalam percaturan kepemimpinan di Indonesia. Sebuah pemandangan yang sulit kita temukan pada saat Orde Baru.
Di tengah derap perubahan dan laju informasi yang bergerak begitu cepat, kehadiran talenta-talenta muda di lingkaran pemerintahan perlu disambut baik. Paling tidak, mereka menjadi harapan baru dalam mengelola kebijakan (government policy) dan merespons tantangan demografi yang kini sudah di depan mata. Mengingat dalam lanskap politik Tanah Air kita saat ini, masih memiliki sederet permasalahan yang begitu sangat mengkhawatirkan.
Dalam hal kepemimpinan, politisi dan elit pemerintahan kita belum mampu melakukan pembangunan dan keteladanan politik seperti yang ditunjukkan oleh pendiri bangsa. Para politisi kita masih terjebak dalam pragmatisme politik menang dan kalah. Akibatnya, perbedaan pendapat, perbedaan pilihan politik, serta sudut pandang pemikiran menjadi sebuah fanatisme politik buta (political fanatism) yang tak ayal menimbulkan sebuah polarisasi gerakan yang memicu retaknya tenun kebangsaan.
Politik hari ini persis apa yang digambarkan Thomas Hobbes, hanya memberikan ruang bagi mereka yang terkuat, memberikan tempat bagi siapa pun yang tersiap. Kalau pemandangan primitif seperti ini tak dihentikan, kita sesungguhnya tengah menggali kubur sendiri untuk bersama-sama ditimbun dalam sejarah yang sepenuhnya tak layak untuk dikenang.
Selain itu, mental penjajah seperti korupsi, serakah, dan pendusta juga masih selalu menghiasi keseharian kita. Media massa di tanah air hampir tiap hari memberitakan masalah korupsi di negeri ini. Mulai dari penyelidikan kasus hingga vonis tersangka korupsi. Namun, apa yang sudah diberitakan media massa tersebut tak pernah membuat jera orang-orang serakah dan mereka yang tergila-gila memperoleh kekayaan dengan cara korupsi.
Tentu, hal ini sudah melenceng jauh dari prinsip pemimpin yang Pancasilais. Hal tersebut juga telah mengaburkan cita-cita kebangsaan Indonesia sebagaimana termaktub dalam Mukadimah UUD 1945, yaitu “terwujudnya negara Republik Indonesia yang ”merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur”, yang bisa dimaknai bahwa kemerdekaan itu didukung oleh empat pilar: kedaulatan, persatuan, keadilan, dan kemakmuran.
Meneguhkan Spirit Kebangsaan
Maka dari itu, meneguhkan kembali spirit kebangsaan dalam momentum “Sumpah Pemuda” merupakan kewajiban kita bersama sebagai warga Negara. Hal ini bisa kita jadikan sebagai ajang refleksi diri untuk kembali meingkatkan wawasan kebangsaan dan kesadaran nasional. Cita-cita persatuan dan keadilan menjadi hal fundamental yang harus kita pegang ditengah maraknya ideologi transnasional yang anti pancasila yang terus menggerogoti sendi NKRI.
Sementara itu, dalam hal keteladanan, para politisi dan elit pemerintah harus senantiasa berupaya pada pembangunan dan keteladanan politik seperti yang ditunjukkan pendiri bangsa. Kaum intlektual juga harus memberikan pencerdasan dan pemahaman kepada masyarakat dengan mengedepankan keteladanan dalam setiap usahanya. Karena dengan memberikan keteladanan, masyarakat akan lebih resfect terhadap pemimpinnya.
Pun demikian pada kehidupan rakyat, komitmen persatuan harus hidup. Masyarakat tidak boleh mudah terprovokasi berita hoaks, terpolarisasi akibat pilihan politik yang berbeda, dan tidak boleh mudah emosi ketika menghadapi isu identitas, agama, dan daerah. Karena komitmen yang utuh (full commitment) akan melahirkan cara pandang yang adil, toleran, dan rasional.
Ada sebuah diktum yang sangat terkenal di kalangan nahdliyyin yang berbunyi, “Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah” (memelihara budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang konstruktir). Kiranya melalui diktum tersebut, kita dituntut melakukan upaya-upaya konstruksi intelektualitas dan memiliki prinsip atau nilai perjuangan (fight values) untuk mendorong terjadinya transformasi kebangsaan kearah yang lebih baik.