Minggu, November 3, 2024

Menakar Disertasi Seks di Luar Nikah

Muhammad Rodinal Khair Khasri
Muhammad Rodinal Khair Khasri
Peneliti di Collective Academia/ Dosen di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada; sekarang berdomisili di Yogyakarta. Kontak: muhammadrodinal@gmail.com
- Advertisement -

Belakangan ini, publik diributkan oleh fenomena yang cukup unik dan berani yaitu seorang doktor yang berhasil mempertahankan disertasinya yang terbilang kontroversial.

Selain pembahasan tentang seks masih menjadi tabu di kalangan umat beragama, ataupun masyarakat primordial lainnya, ternyata mencari formula untuk mengatur seks pada konteks kekinian pun menjadi lebih ketat karena bersinggungan dengan aturan baku dalam hukum Islam (syari’at).

Alih-alih ingin menelurkan pemikiran transformatif tentang hukum zina dan berkontribusi bagi hukum positif di Indonesia, disertasi Abdul Aziz ini justru menimbulkan kegaduhan baik di kalangan awam sampai kalangan cendekia.

Awal mula mengapa disertasinya menjadi kontroversial, karena menggunakan konsep Milk Al Yamin, sebuah konsep Muhammad Syahrur, seorang cendekia muslim asal Suriah. Sederhananya, konsep itu berpretensi untuk melegitimasi hubungan seks non-marital sebagai hal yang sah secara hukum Agama Islam (syari’at). Meskupun menyertakan syarat dan batasan tertentu, konsep semacam itu tetap kontroversial.

Jika ditelisik lebih dalam lagi, konsep tersebut sebetulnya tidak hanya berangkat dari diskursus teologis, namun juga hendak menarasikan kebebasan manusia untuk memenuhi hasrat biologisnya. Untuk membangun basis moral, Syahrur lebih dekat pada konsep moral kaum liberalis yang mengedepankan pada kesepakatan “transaksional” antar individu sebagai representasi ranah privat.

Jadi, hubungan seks non-marital dilegitimasi dengan moralitas “transaksional” atau dalam diskursus etis juga dekat dengan prinsip act-consequentalism di mana sesuatu dinilai buruk atau amoral sejauh ada tindakan lain yang dapat menghasilkan konsekuensi yang lebih baik.

Oleh sebab itu, dalam konteks disertasi Abdul Aziz, hubungan seks secara suka sama suka (voluntary) dapat dibenarkan secara syari’at. Hal ini karena ia mengacu pada demarkasi ruang publik dan privat.

Seks di ruang publik seperti penyebaran video porno, adalah tindakan yang dalam prinsip act-consequentalism merupakan oposisi biner yang mengimplikasikan adanya tindakan alternatif yang memiliki konsekuensi lebih baik, baik dari segi biologis maupun pada ranah hukum agama. Konsekuensinya, justifikasi zina hanya berlaku bagi tindakan yang bermain di ranah publik.

Milk Al Yamin dalam pengertian umumnya merupakan “budak yang dinikahi.” Oleh Syahrur direinterpretasi dan diliberasikan ke dalam pengertian seks non marital yang sah. Permasalahannya menjadi semakin pelik ketika Abdul Aziz menganalogikan konsep Milk Al Yamin kepada pemaknaan yang identik dengan kawin kontrak dan nikah mut’ah. Hal itu tentu semakin menyulut kontroversi terlebih di Indonesia yang mayoritas Sunni sangat sensitif dengan apapun yang berbau Syi’ah.

Konsep Milk Al Yamin jika dilihat dari sudut pandang liberalisme misalnya, sah-sah saja. Namun ternyata aturan main di dalam agama tidak serta-merta demikian. Agama memang mendorong manusia untuk berpikir.

- Advertisement -

Meminjam pemikiran Ali Syari’ati tentang Rausyan Fiqr, bahwa kaum intelektual memiliki peran penting sebagai aktor perubahan yang menuntut untuk tidak phobia pada sains dan hal-hal yang berbau revolusioner. Namun, tentu saja corak epistemologinya (bangunan pengetahuan) tidak sesederhana dan sesimpel rasionalisme dan empirisme, seperti yang mendominasi tradisi intelektual saintis.

Agama memiliki aturannya sendiri, yaitu aturan yang mengkolaborasikan wahyu (al-Qur’an dan Hadis) dengan akal manusia. Permasalahannya adalah pada sejauh mana buah pemikiran transformatif dapat merepresentasikan dialektika wahyu dan akal. Hal inilah yang pasti akan dihadapi ketika kita hendak mereorientasikan pemahaman keagamaan pada konteks zaman sekarang.

Nah, saya melihat titik lemah disertasi itu yakni pada pemahaman dasar atau basis epistemologis di dalam mengontekstualisasikan teks Wahyu perihal hubungan seks non-marital.

Jika melihat pada rujukan utamanya, yakni pemikiran Muhammad Syakhrur, perlu diperjelas lagi tentang latar belakang yang memengaruhi pemikirannya tersebut, karena reorientasi pemahaman keagamaan yang diidealkan oleh Abdul Aziz dalam disertasinya itu adalah pada ranah hermeneutis. Oleh sebab itu, aspek historisitas dan tradisi menjadi hal yang penting untuk dibahas.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Muhammad Syakhrur sebagai konseptor, di dalam menelurkan konsepnya pasti terikat oleh tradisi di mana ia hidup. Tradisi itu meliputi tradisi dalam kultur sosial masyarakat dan tradisi intelektual. Bisa dilihat bahwa Muhammad Syakhrur merupakan seorang profesor teknik sipil.

Maka tidak heran jika alur berpikirnya sangat metodis. Metode yang digunakannya pun kental dengan nuansa ilmu pasti yang landasan epistemologisnya tidak sepenuhnya sejalan dengan epistemologi Islam yang dibangun oleh para teolog Islam klasik sampai kontemporer.

Hal yang juga perlu diperhatikan yaitu bahwa Syahrur mengonsepsikan Milk Al Yamin dengan menggunakan pendekatan hermeneutika hukum yang diterapkan pada kajian filologi, sehingga ia pun sama sekali menolak pemaknaan teks Wahyu yang tekstual. Ia bertumpu pada pemahaman yang bersifat sinkronis atau pada waktu yang sekarang.

Padahal, Islam sejatinya tidak menolak interpretasi tekstual karena bagaimanapun porsi tekstualitas dan non-tekstual di dalam memahami teks Wahyu haruslah seimbang. Di sinilah letak kontroversinya.

Oleh karena itu, tidak heran jika dalam disertasinya, Abdul Aziz menjadikan humanisme liberal sebagai acuan moral alternatif yang notabene kontradiksi dengan humanisme teosentris. Hal itu bisa dilihat dari kuatnya narasi kebebasan individual di dalam disertasi tersebut, serta demarkasi yang ketat antara ruang publik dan ruang privat.

Untuk memperkuat narasi emansipatorisnya, Abdul Aziz mengambil contoh hukum rajam bagi pelaku zina di Aceh. Menurutnya, hal semacam itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga mereduksi nilai humanisme.

Lalu, apakah tawaran disertasi itu dapat benar-benar diterapkan di Indonesia?

Muhammad Rodinal Khair Khasri
Muhammad Rodinal Khair Khasri
Peneliti di Collective Academia/ Dosen di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada; sekarang berdomisili di Yogyakarta. Kontak: muhammadrodinal@gmail.com
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.