Selasa, April 23, 2024

Memimpin adalah Menderita

Muhammad Qhadri
Muhammad Qhadri
Mahasiswa Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Andalas. Ketua Kombad Justitia, Fakultas Hukum, Universitas Andalas periode 2018/2019

“Leiden is lijden!”. Memimpin adalah Menderita. Begitulah bunyi pepatah kuno Belanda yang dikutip oleh Mohammad Roem dalam karangannya berjudul “Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita” (Prisma No 8, Agustus 1977).

Roem mengutip pepatah Belanda tersebut bukan tanpa alasan. Namun ada suatu bentuk hubungan kausalitas yang kuat antara kepemimpinan dan penderitaan itu sendiri. Dalam tulisannya Roem mencoba menggambarkan betapa zuhudnya laku hidup seorang Agus Salim.

Bagi Roem kondisi kehidupan Agus Salim di luar dari apa yang dibayangkannya. Sebagai seorang tokoh berpengaruh, hidup berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain sudah jadi kebiasaan. Tak jarang ketika hujan datang atap rumah kontrakan bocor.

Bersama anak-anaknya, Agus Salim menampung air hujan dalam baskom yang kemudian digunakan untuk main kapal-kapalan. Kemelaratan diupayakan tetap dihiasi dengan kegembiraan. Begitulah cara bagi seorang Agus Salim mengajarkan arti kesederhanaan kepada anak-anaknya.

Kisah hidup Agus Salim tersebut terdengar begitu romantik dan nyaris utopis. Kisah Agus Salim tadi terdengar seperti seorang pertapa atau orang suci yang sudah selesai dengan perkara-perkara yang bersifat duniawi. Terdengar seperti kisah dongeng ataupun pewayangan. Namun sayangnya semua kisah tersebut benar adanya.

Dalam konsepnya yang ideal, pemimpin sering kali tampil heroik, berwibawa dan tidak mengenal rasa takut. Pemimpin sering kali digambarkan sebagai juru selamat yang akan menyelamatkan rakyatnya dari kesengsaraan dan penderitaan. Terkadang juga terdengar klenik seperti juga mampu menyembuhkan penyakit.

Mitologi terkait Kesatrio Piningit adalah salah satu kisah kepemimpinan yang dimitoskan Tentu saja imaji yang terbangun dalam angan-angan rakyat bisa saja berbeda-beda, tapi satu kesamaannya yang jelas: semuanya menggambarkan sosok yang sempurna dan hampir adimanusia.

Indonesia sebagai negara yang menganut retorika demokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sejatinya harus menjadikan diktum tersebut sebagai prinsip yang elementer dalam bernegara.

Dalam konteks ini, para pemimpin yang akan mengisi kursi di pemerintahan selaku pejabat yang memangku jabatan dalam fungsinya sebagai penyelanggara negara haruslah melewati mekanisme yang konstitusional terlebih dahulu, yakninya dipilih melalui pemilihan umum.

Mekanisme yang ditempuh–idealnya tentu saja, harus dapat berlangsung secara jujur dan adil. Pemimpin yang lahir dari cara-cara yang demokratis diharapkan mampu membaca dan menyuarakan dengan fasih setiap kehendak rakyat yang memberi mandat kepadanya.

Mandat yang lahir dari rahim rakyat adalah amanat yang harus diterima sebagai sesuatu yang sakral dan suci. Hanya dengan cara menanam konsep dan keyakinan yang demikianlah cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dapat terwujud.

Melalui rincian gaji dan tunjangan anggota DPR RI yang telah diatur dalam Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR RI, kita dapat melihat bahwasannya para pemimpin kita sangat dijamin hidup dan penghidupannya. Dari tunjangan beras sampai fasilitas kredit mobil ditanggung oleh negara. Begitu pun dengan presiden dan jajaran menterinya.

Uang rakyat yang dipergunakan untuk menjamin kehidupan para pejabat kita semata-mata dianggarkan dengan harapan para pemimpin kita tak lagi memikirkan masalah-masalah yang sifatnya duniawi atau badaniah semata. Persoalan apakah uang sekolah anak belum terbayar atau besok mau makan apa harusnya bukanlah hal yang perlu dipusingkan lagi sebagai sebuah masalah, sehingga kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dapat direalisasikan.

Abraham Maslow dalam bukunya “A Theory of Human Motivation” menjelaskan sebuah teori psikologi yang dikenal sebagai Hierarki Kebutuhan Maslow atau yang sering dikenal sebagai Piramida Maslow.

Dalam teorinya Maslow mencoba menjelaskan bahwa kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi dapat terpenuhi. Kebutuhan ditingkat terendah adalah kebutuhan fisiologis (phsysiological needs) yakninya merupakan kebutuhan untuk mempertahankan hidup manusia secara fisik.

Kebutuhan-kebutuhan itu seperti kebutuhan akan makanan, minuman, tempat berteduh, tidur dan oksigen (sandang, pangan, papan). Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, kebutuhan selanjutnya yang harus terpenuhi ialah kebutuhan akan rasa aman (safety/security needs), Kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang (social needs), kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) dan kebutuhan akan aktualisasi diri (self-actualization needs).

Pada perkembangannya, lima peringkat kebutuhan itu diperluas lagi menjadi tujuh peringkat lewat penambahan dua kebutuhan lagi pada B-Needs, yakni kebutuhan estetis (aesthetic needs) dan kebutuhan kognitif (cognitive needs) di bawah kebutuhan “aktualisasi diri”. Namun piramida ini belum berakhir.

Di titik puncak Maslow menempatkan posisi yang bersifat transendental. Posisi transendental adalah posisi ketika seseorang telah selesai dengan dirinya sendiri. Telah selesai dengan diri sendiri maksudnya ialah diposisi ini manusia tidak lagi memperhatikan kebutuhan akan kenikmatan badaniah ataupun duniawi dalam memandang hidup.

Dia menjelma menjadi seseorang yang mengisi kehidupannnya dengan kebajikan, memberikan pencerahan dan menolong sesama makhluk hidup lainnya bila dilanda suatu persoalan. Dia dipandang seolah sebagai seorang pertapa, avatar ataupun seorang begawan.

Agus Salim mungkin menjadi satu dari sekian tokoh yang dapat menjadi pengecualian dalam keberlakuan teori ini. Teori piramida Maslow seolah tidak mampu menjelaskan “fenomena” yang ada pada diri beliau. Namun laku hidup beliau yang sederhana dan telah merasa cukup pada dunia perlu untuk teladani dan direnungi bersama.

Siap menjadi pemimpin berarti kita telah siap pula untuk menderita. Menderita yang sifatnya fisik maupun batin. Menjadi pemimpin harus siap menerima semua pendapat mulai dari yang baik dan membangun hingga pada pendapat pahit yang hanya bisa disimpan di dalam hati.

Seperti apa yang pernah diucapkan Gus Dur:

Dalam hidup nyata dan dalam perjuangan yg tak mudah, kita bukan tokoh dalam dongeng dan mitos,yang gagah berani dan penuh sifat kepahlawanan. kita,yang bukan tokoh mitos, yang punya anak istri dan keluarga, mengenal rasa takut. Tapi bahwa meskipun takut kita jalan terus,dan berani melompati pagar batas ketakutan tadi, mungkin disitu harga kita ditetapkan.”

Muhammad Qhadri
Muhammad Qhadri
Mahasiswa Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Andalas. Ketua Kombad Justitia, Fakultas Hukum, Universitas Andalas periode 2018/2019
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.