Jumat, April 26, 2024

Masyarakat Adat dan Tuntutan Politik Fundamental

Ernesto Teredi
Ernesto Teredi
Peneliti di Lembaga Terranusa Indonesia

Saat ini publik menyaksikan bagaimana gerakan masyarakat adat atau indegeneity di Indonesia sudah masif. Sesungguhnya demokrasi membutuhkan suplemen gerakan politik yang dilakukan oleh kelompok indegeneity, seperti konsep Beetham (1999) demokrasi argumen utamanya adalah kontrol popular atas urusan publik. Dan rakyat harus memberi tuntutan politik melalui gerakan kolektif.

Pada tahun 1999, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Indonesia mengeluarkan diktum yang sangat provokatif: Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak akan mengakui negara. Diktum tersebut menandakan revivalisasi indegeneity di Indonesia. Dalam konteks politik global kebangkitan indegeneity sebenarnya terjadi di banyak negara, misalkan saja di Amerika Latin.

Tentu saja kebangkitannya tak hadir begitu saja. Melainkan akumulasi dari kejadian-kejadian historis yang dialami oleh indegeneity, yang mana kejadian hadir dalam wajah pembangunan sangat hegemonik, yang implikasinya akan  mengancam eksistensi dari kelompok indegeneity.

AMAN dan pejuang indegeneity di Indonesia, sudah mengajukan berbagai tuntutan politik sejak lama. Dalam kaca mata politik, ini merupakan political engagement, yang mana satu komunitas terlibat langsung dengan negara dalam memberi tuntutan politik. Sehingga tuntutan politik yang disuarakan selalu fundamental.

Untuk mencapai tuntutan politik tersebut, maka pada tahun 2014 AMAN mendukung penuh pencalonan dari Jokowi dan Jusuf Kalla. Dalam negosiasi politik yang dibangun akhirnya Jokowi menjanjikan akan mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat dalam masa pemerintahannya.

Kendati demikian, hingga sampai saat ini janji Jokowi belum terealisasikan. Alih-alih merealisasikan janjinya, justru yang terjadi belakangan ini dengan adanya konflik masyarakat adat dalam melawan ekspansi kuasa sektor swasta di ranah lokal masih saja terjadi.

Tuntutan Politik

Sepaham penulis tuntutan dari indegeneity di Indonesia bertujuan untuk mengakui dignitas, serta hak-hak ulayatnya. Dalam Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat, tentunya memiliki basis argumen yang kokoh.

Selain secara antropologi politik sudah dipertimbangkan, misalnya memiliki kebajikan dan lokalitas yang adil, sosiologis yang humanis, dll, juga mengenai konsep keaslian mengenai indegeneity.

Tujuan dari perjuangan dengan menghadirkan RUU Masyarakat Hukum Adat untuk memproteksi diri dari kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelumnya. Sehingga dalam konsep masyarakat adat, wilayah adatnya bukanlah semata-mata mengenai tanah, hutan, dan air. Semua hal tersebut tidak pernah berdiri sendiri, tetapi terhubung satu sama lain yang membentuk nilai, tradisi, pengetahuan, hingga kepercayaan masyarakat adat, Cahyadi (2019).

Dengan kata lain tuntutan yang termanifestasi dalam draft RUU Masyarakat Hukum Adat yang digarap dengan serius oleh AMAN dan pejuang  lainnya, bukan tanpa alasan. Namun selalu melihat dan lahir dari satu konteks kehidupan masyarakat adat. Itu inti poin perjuangan dari kelompok indegeneity saat ini.

Selain itu penting untuk diketahui bahwa secara gamblang dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18b ayat (2) yang menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya, yang akan diatur dalam UU.

Dengan kata lain, tuntutan politik dari indegeneity memiliki pendasaran yang kuat. Baik secara legal, sosiokultural, antropologis politik, dll. Artinya draft RUU Masyarakat Hukum Adat bertujuan untuk kebaikan. Bukan untuk keburukan. Sehingga sangat tidak elok dan tidak masuk akal jika pemerintah selalu mengulur-ulurkan tuntutan politik dari indegeneity.

Selain karena tuntutan yang memiliki basis argumentasi yang jelas, maka refleksi yang tak kalah penting adalah tuntutan politik juga lahir karena berbagai persoalan yang menimpa kelompok indegeneity selama ini.

Coba bayangkan saja, kasus kekerasan yang menimpa masyarakat adat, berdasarkan data dari Vote for Forest dikutip dari (Tirto.id) pada tahun 2018 terjadi 326 konflik sumber daya alam yang melibatkan sekitar 176 ribu jiwa masyarakat adat. Kekerasan ini pada akhirnya akan membahayakan keberadaan indegeneity itu sendiri, sekaligus bisa digiring kedalam viktimisasi.

Benturan Kepentingan

Untuk merealisasikan tuntutan politik di atas tentunya bukan pekerjaan mudah. Kesulitan bukan karena rezim tidak menginginkan untuk mengesahkan. Namun karena ada kepentingan yang saling tarik menarik di belakang rezim. Rezim dan sektor swasta bekerja bersama untuk mempersulit RUU Masyarakat Hukum Adat.

Tentu dalam konteks ekonomi politik, kita bertanya siapa memperoleh apa? Siapa menguasai apa? Dua pertanyaan ini, menggambarkan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adat.

Sebagai contoh pada tahun 2017 kemarin, masyarakat adat penunggu di Desa Bangun Rejo, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara tengah menghadapi konflik perampasan tanah yang dilakukan oleh PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II).

Terlepas konfliknya seperti apa, bagi saya pribadi, realitas itu tidak pernah netral dan objektif, selalu ada resistensi karena dominasi relasi kuasa. Sehingga perlawanan yang dilakukan komunitas indegeneity, selalu lahir dari ketertindasan terhadap kehidupan mereka.

Sehingga konflik antara masyarakat adat dengan sektor swasta, menggambarkan bahwa bagaimana komunitas indegeneity bermasalah dengan penguasa ekonomi. Dan penguasa ekonomi ini memiliki hubungan erat dengan pemerintah, atau apa yang sering disebut korporasi politik.

Benturan kepentingan antara pemerintah dan sektor swasta bukan hal yang baru. Ada banyak prefrensi peristiwa, terkait penguasaan ekonomi dalam urusan kebijakan di belahan bumi. Kalau menggunakan bahasa yang agak kiri sedikit itulah wajah kapitalisme. Selalu hadir memiliki otoritas untuk memandu berjalannya sebuah rezim. Dan parahnya lagi, kepandiran dari praktik kapitalisme ini telah dianggap menjadi objektivitas sosial yang  alamiah yang tidak lagi memiliki determinasi negasi terhadap dirinya (Robet, 2010, 30-31).

Mengasah Harapan

Dengan memahami dasar dari tuntutan politik dari kelompok indegeneity di Indonesia. Serta mengetahui apa yang menjadi kendala walaupun sifatnya masih terbatas, maka yang penting saat ini adalah apa yang harus diperjuangkan terus dalam ketidakpastian politik dari para pengambil keputusan.

Tentunya berharap pada Jokowi merupakan hal yang inheren dalam perjuangan politik saat ini. Dan presiden Jokowi seharusnya mengeluarkan sikap tegas dalam menentukan tuntutan politik yang ada dari indegeneity. Namun politik selalu melampaui hal-hal prosedural yang ditetapkan.

Dengan kata lain, sambil berharap pada sang presiden, kita harus kembali ke argumen Beetham bahwa inti dari demokrasi yakni adanya kontrol popular dalam urusan publik. Untuk itu pejuang indegeneity  di Indonesia tetap pada jalan perjuangan yang sama, yakni secara terus menerus mengorganisir rakyat, mengadvokasi. Lalu terus melakukan lobi, negosiasi, dengan berbagai jejaring untuk tercapainya tuntutan politik yang sudah dirumuskan.

Ernesto Teredi
Ernesto Teredi
Peneliti di Lembaga Terranusa Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.